Jumat, 25 September 2009

13 Tahun Membakar Jagung


Panen Rupiah Saat Libur Sekolah

Berjualan kecil-kecilan seperti jagung bakar di tempat wisata rupanya cukup menguntungkan. Siti Zaenab (39) misalnya yang telah 13 tahun memasarkan jagung bakarnya di tempat wisata Sengkaling. Untuk menyiasati agar tetap untung, ia hanya berjualan saat ramai pengunjung saja. Penasaran bagaimana kisahnya?


13 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menekuni suatu pekerjaan. Tapi itulah yang dilakukan Siti Zaenab yang membuka stan jagung bakar di kawasan Taman Wisata Sengkaling, Malang. Ia cukup beruntung lantaran tinggal di Kelurahan Sengkaling, dirinya bisa menyewa sebuah stan untuk menggelar dagangannya sejak 1994.

’’Pihak Departemen Sengkaling memberi prioritas bagi warga Kelurahan Sengkaling untuk berjualan disini,’’ aku Zaenab kepada Peduli.

Apalagi, sang suami telah 23 tahun mengabdikan diri sebagai karyawan manajemen sebuah rokok yang mengelola tempat wisata ini. Sehingga, ia bisa mendapatkan lokasi stan yang cukup strategis yaitu di jalan protokol tempat bermain Sengkaling. Tapi, kemudahan ini tak lantas membuatnya terbebas dari biaya sewa yang harus ditanggungnya lho. Setiap bulan, Zaenab harus mengeluarkan uang Rp 200 ribu untuk stannya. Cukup murah memang. Tapi, kalau dihitung dalam setahun tarif sewa stannya mencapai Rp 2,4 juta.

’’Tapi, penghasilannya cukup lumayan untuk bantu-bantu suami membesarkan anak,’’ ujarnya seraya tersenyum.

Buktinya, setiap hari Zaenab mampu menghabiskan rata-rata 150 biji jagung bakar setiap harinya. Malah, saat libur sekolah, Lebaran atau Natal dan tahun baru pendapatannya meningkat 2 kali bahkan hampir 3 kali lipat karena jagung bakarnya laku 300 hingga 400 biji. Bila dihitung dengan rupiah, omzet per harinya rata-rata Rp 300 ribu per hari.

Penghasilannya ini diperoleh dari selisih harga jagung baker yang cukup lumayan. Bila jagung bakarnya dijual seharga Rp 2.000, maka harga beli per jagung mencapai tak sampai Rp 400. ’’ Saya biasa beli 1 ombyok (isi 22 biji-Red) seharga Rp 8.000,’’ akunya.

Tapi, tak semua jagung layak dijual lho. Terkadang ada beberapa yang biji jagungnya jarang.Namun, ia juga tak perlu keluar ongkos untuk trasportasi lantaran jagung yang dibelinya diantar langsung ke rumah. Sehingga, pada saat libur sekolah Zaenab bisa panen penghasilan dengan membawa pulang Rp 700 ribu saban hari.

’’Paling ramai kalau pas libur panjang sekolah, tahun baru, Lebaran Saya bisa bawa pulang Rp 700 ribu per hari. Paling sepi Saya hanya dapat Rp 200 ribu itu kalau hari biasa. Tapi, larisan biyen mbak (sebelum krismon-Red). Kalau dulu Saya bisa dapat rata-rata Rp 700 ribu sampai 800 ribu per hari,’’ ungkap ibu dua anak ini.
Menurut Zaenab, omzetnya yang menurun drastis ini banyak disebabkan adanya krisis moneter yang mengakibatkan sepinya pengunjung tempat wisata Sengkaling.

’’Tingginya kebutuhan hidup membuat orang jarang berkunjung ke tempat-tempat wisata. Paling banter pas liburan sekolah dan hari libur saja,’’ sambungnya.

Selain itu, jenis dagangannya yang semakin berkurang juga menjadi penyebab berkurangnya pendapatan Zaenab. Pasalnya, dulu ia juga menyediakan minuman seperti soft drink atau teh dingin sebagai pelengkap. Meski tak banyak dapat untung, namun Zaenab bisa mendapatkan harga beli dua kali lipat lebih murah dari distributor pilihannya. Jika setiap botolnya seorang penjual mendapat Rp 200 Zaenab mampu membawa pulang Rp 400. ’’Tapi sudah 1 bulan ini semua minuman dikelola dari pihak manajemen Sengkaling. Jadi Saya nggak bisa belanja lebih murah Rp 200 dari luar. Makanya Saya putuskan nggak berjaulan minuman lagi,’’ papar Zaenab yang kini mengganti dagangannya dengan cilok (pentol mini-Red) ini.

Meskipun demikian ia tetap bersyukur karena usahanya ini mampu membatu keuangan keluarga untuk membesarkan dua orang anaknya yang kini duduk di bangku kelas 2 SMP dan 3 SMA. Kuncinya hanya satu, yaitu pandai-pandai memilih hari paling ramai untuk menggelar dagangan.

’’Nggak perlu berjualan setiap hari kalau nggak mau malah rugi besar. Cukup hari sabtu dan Minggu, tanggal merah sama libur sekolah saja. Wong kalau hari biasa sepi pengunjung. Rugi tenaga dan kulakan jagungnya kalau nekad jualan ,’’ terang penjual yang mulai berdagang sejak pukul 06.00 sampai 17.00 WIB ini.

Alhasil, ia tak pernah membuka stan jagung bakarnya di kawasan ini pada hari biasa selain hari libur. Khusus saat libur sekolah ada bulan Juni–Juli, Zaenab meluangkan waktunya untuk berjualan setiap hari non stop selama sebulan. Bagaimana, Anda ingin mencoba bisnis kecil-kecilan ini? [NUY HARBIS]

0 komentar: