Jumat, 18 September 2009

Bisnis Warkop sangat Menggiurkan

Bisnis warung kopi (warkop) sepertinya terlihat sepele. Namun, tak ada yang mengira bila ternyata bisnis ini sangatlah menguntungkan. Dengan modal tak banyak, bisnis ini mampu mencapai BEP (balik modal) dalam jangka waktu dua bulan. Keuntungannya pun cukup tinggi dan makin berlipat saat musim hujan tiba. Seperti apakah bisnis ini?

Saat mentari telah beranjak pergi, berbagai tenda pinggir jalan yang menjajakan segelas kopi hangat dan gorengan atau makanan ringan seperti roti bakar atau mie goreng pun mulai dibuka. Sudut-sudut kota pun semakin ramai dipenuhi orang yang sekedar ingin menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi.

Di Surabaya contohnya. Beberapa kawasan seputar trotoar di jalan Panglima Sudirman, Dharmahusada, Prof Dr Mustopo, Tunjungan atau Embong Malang banyak dipenuhi orang terutama anak muda. Suasana ini tentu akan lebih ramai saat Sabtu, Minggu dan hari libur. Terutama bila jarum jam menunjukkan angka diatas pukul 21.00 WIB. Tua muda tumplek blek untuk nongkrong hingga pagi menjelang. Dentuman musik yang mengalun atau televisi yang tersedia mampu mengurangi kepenatan usai beraktivitas seharian.

Di Gresik, kebiasaan untuk cangkruk sambil menghirup kopi panas bahkan telah menjadi tradisi. Ada anggapan yang berkembang disana bahwa tidur takkan nyenyak sebelum ngopi. Alhasil, masyarakat Gresik pun selalu meluangkan waktu untuk selonjoran beberapa saat di warung kopi terdekat sebelum beranjak tidur, tak terkecuali dengan para pejabat pemerintah daerah disana. Bahkan, ada beberapa warkop di kawasan Randu Agung yang menjadi langganan Kepala Dinas dan pemerintah daerah Gresik. Sampai-sampai, warkop tersebut pun digunakan sebagai kampanye ajang PILKADA (pemilihan kepala daerah) beberapa waktu lalu. Sebut saja kawasan Randu Agung, Benjeng, Balong Panggang, Sidayu, atau Dukun. Tak heran, jumlah warkop di Gresik tercatat mencapai lebih dari 13 ribu.

Soal menu tak melulu kopi. Di Gresik memang lebih mengutamakan kopi yang diracik beraneka ragam. Seperti kopi di campur ginseng, jahe, atau campuran lain yang rasanya tak kalah sedap. Banyak pula dari mereka melengkapinya dengan gorengan, mie rebus, atau malah makanan berat seperti nasi bungkus. Sama halnya dengan pedagang warkop di Surabaya.

Mereka rata-rata mengaku tak membutuhkan banyak modal. Untuk memulai bisnis ini, jumlah yang dibutuhkan hanya berkisar Rp 5 juta. Jumlah tersebut merupakan biaya untuk mengelola warung yang hanya menyediakan minuman seperti kopi, teh dan minuman hangat lain tanpa makanan. Contohnya seperti membeli tenda terpal, gelas, serta kursi dan meja panjang sederhana yang terbuat dari kayu.

’’Modal saya waktu buka 1996 dulu Rp 2 juta. Modal segitu sudah termasuk beli bahan bikin ketan, dan kolak kacang hijau, kopi susu serta STMJ. Kalau sekarang ya sampai Rp 5 juta lebih,’’ ujar Siti Khotimah yang membuka warkopnya di depan Pabrik Gudang Garam Bungurasih.

Saat Siti mendirikan usahanya kawasan Bungurasih masih sangat sepi. Toh, ia dapat mengantongi Rp 200 ribu setiap malam. Selalu ada saja orang lewat yang mampir ke warkopnya. Penghasilannya setiap malam itu ia gunakan untuk kulakan lagi kesokan harinya sebesar Rp 120 ribu. Sisanya adalah keuntungan bersih yang bisa disimpannya. Jika dihitung matematis, maka omzetnya mencapai Rp 6 juta dengan tingkat keuntungan mencapai 40 persen.

Di Gresik lain lagi. Dengan modal Rp 5 juta mampu menyediakan minuman hangat komplit dengan nasi bungkusnya. Meski omzetnya hanya berkisar Rp 4.500.000, namun keuntungan bersih yang diperolehnya setiap bulan mencapai Rp 2.500.000 hingga Rp 3 juta. Itu berarti, jumlahnya 67 persen lebih. Hasil tersebut akan mencapai berlipat-lipat saat ajang piala dunia digelar beberapa waktu lalu. Begitu pula bila musim penghujan tiba. Lebih-lebih bila di sewa untuk kampanye PILKADA.

Tak heran, bila usaha tersebut mampu membuahkan hasil berupa rumah, kendaraan dan keperluan rumah lainnya, biaya naik haji, atau sebagai modal untuk usaha lain. Tapi tentu, butuh tenaga ekstra untuk menjaga warung di malam hari. Kuncinya hanya ulet dan telaten. Asalkan menjalaninya dengan ulet dan telaten, keuntungan besar pun ada di tangan.

’’Saya bisa beli tanah di daerah Bungurasih Tengah seharga Rp 20 juta setelah berjualan tiga tahun dan bangunannya selesai 2001 menghabiskan sekitar Rp 75 juta,’’ aku Bu Ndut, begitu ia disapa.

Wah, sangat menggiurkan bukan? [NUY HARBIS]

0 komentar: