Sabtu, 26 September 2009

Usaha Penggilingan Gabah Keliling: Petani Panen Ikut Panen


Selama masih ada petani menanam padi, mesin giling [huller] pasti dibutuhkan. Dulu, untuk jadi pengusaha penggilingan padi mesti punya modal lebih besar [daripada yang dibutuhkan sekarang], karena mesti memiliki mesin giling standard an memiliki lahan yang cukup.

Oh, tidak hanya itu. Punya lahan pun, jika lokasinya tidak memungkinkan pasti akan menemui kendala. Karena, selain mengeluarkan limbah [debu] dan kebisingan suaranya juga bisa mengganggu dan menimbulkan protes dari para tetangga. Kurang praktis pula, karena mesin model lama itu mesti menunggu pemilik gabah kering membawa gabahnya untuk digilingkan.

Sekarang, ada mesih giling berjalan [portable huller] yang bisa dibawa ke mana-mana, mendatangi pemilik gabah. Jadi, pemilik mesin giling bisa lebih proaktif menjemput bola, eh, gabah!

Nursalim [35] warga Desa Karangsoko Trenggalek, memulai usaha penggilingan keliling dengan modal modal Rp 10 juta. Uang itu dibelikan mesin giling yang telah dirakit pada rangka mobil sehingga dapat dijalankan layaknya sebuah mobil.

Saling Menguntungkan
Pada bulan-bulan sebelum panen raya tiba biasanya setiap dua hari sekali Nursalim berkeliling kampung untuk melayani pelanggannya. Bagi Nursalim saat panen raya tiba merupakan saat-saat yang ditunggu untuk mendapatkan rezeki dari jasa penggilingannya.

Setelah panen biasanya petani akan segera menggilingkan hasil panennya karena rata-rata petani menjual hasil panennya dalam bentuk beras. Itu mendatangkan keuntungan tersendiri bagi para pemilik Portable Huller, juga bagi petani yang tidak usah mengeluarkan biaya transport untuk ankutan ke tempat penggilingan.

Aktifitas yang biasanya hanya dilakukan setengah hari akan menjadi sehari penuh, pendapatannya pun lumayan. Nursalim yang pada hari-hari biasa hanya mampu mengantongi pendapatan Rp 15 – Rp 20 ribu, pada musim panen bisa pulang membawa hasil mencapai Rp 100 ribu/hari.

Daripada Buruh Tani
Bagi petani sendiri ternyata ongkos penggilingan ini tidak terlalu memberatkan. Setiap karungnya dengar berat antara 40 - 50 kg hanya dikenai ongkos giling sebesar Rp 5.000. Namun, bila bekatulnya diberikan pada pemilik gilingan ongkos gilingnya hanya sebesar Rp 1.000/karung.

Dari hasil gilingannya ini bila dibandingkan saat Nursalim masih menjadi pekerja serabutan [buruh bangunan, buruh-tani] yang belum tentu bisa dipastikan hasilnya karena kadang bekerja dan kadang tidak, ternyata roda ekonomi keluarganya mulai tertata.

Yang jelas, setiap berkeliling ayah satu anak ini pasti pulang membawa uang.

’’ Pokoknya mau berkeliling kampung , sedikit banyak ada hasil. Memang, bila sedang sepi pulang membawa Rp 10.000, sudah untung, tutur Nursalim. [PUR]

0 komentar: