Jumat, 18 September 2009

Kecil Barangnya tetapi Gede Untungnya

Sebuah warung ala pedesaan lengkap dengan dagangannya: kerupuk, minuman dalam botol, hingga dispenser air mineral tersaji di sebuah meja. Jangan tertipu, karena ini hanya sebuah miniatur. Ukurannya hanya ½ X ½ meter persegi. Yang menarik, semua dibuat sangat mirip dengan aslinya. Tak salah bila miniatur warung pedesaan yang mengambil setting warung asli Jawa ini diminati para pejabat sebagai cinderamata.

’’Miniatur ini memang paling laris dibeli oleh para pejabat hingga menteri untuk buah tangan tamu negara yang berkunjung ke Indonesia,’’ tutur Ineke Kartika Dewi (39) membuka perbincangan.

Ide membuat miniatur ini tercetus ketika Ineke masih tinggal di Semarang. Lulusan Unika Sugriyo Pranoto Semarang ini awalnya tertarik dengan ketrampilan seorang temannya membuat boneka dari clay. Ineke pun akhirnya minta diajari hingga 3 bulan kemudian ia sudah mahir membuat aneka miniatur buah-buahan dari bahan dasar clay.

Tercetuslah ide membuat miniatur warung, ketika ia menyaksikan sebuah acara TV dimana seorang pejabat memberikan cinderamata kepada tamu asingnya berupa wayang.

’’Kok souvenir yang diberikan selalu wayang, masak tidak ada hal lain yang lebih menarik?’’ tanya Ineke dalam hati.

Ineke kemudian mencoba membuat miniatur rombong bakso. Dengan modal awal Rp 50 ribu Ineke mencoba membuat rombong bakso lengkap dengan pentol bakso dan mie semirip mungkin. Teman-teman Ineke memuji karya Ineke yang memang sangat mirip dengan aslinya, bahkan kemudian membelinya.

Setelah menikah dan pindah ke Surabaya, Ineke pun penasaran untuk mecoba membuat miniatur yang lain. Mulailah ia membuat miniatur rombong mie ayam, miniatur pedagang pop corn, miniatur warung lesehan, hingga miniatur warung nasi.

Go International
Kini omzet Ineke per bulan mencapai Rp 80 juta dengan 8 pegawai. Karya Ineke juga sudah merambah ke mancanegara, di antaranya Jepang, Amerika, Australia, hingga Arab Saudi.

Sayangnya, menurut Ineke, bahan dasar clay masih harus diimpor dari Jepang sehingga biaya produksinya lumayan mahal. ’’Bahan clay ini hanya dibuat oleh Jepang, disini tidak ada,’’ ungkapnya.

Dari Jepang Ineke pernah menerima pesanan miniatur pasar tradisional. Biaya produksinya mencapai Rp 20 juta dengan waktu penggarapan 2,5 bulan untuk membuat ’’pasar’’ seukuran meja.

’’Yang paling susah bikin orang pakai kebaya lengkap dengan jarik dan kondenya,” kenangnya ramah. Selain itu membuat miniatur nasi juga cukup sulit. Dibutuhkan waktu sehari hanya untuk membuat semangkok kecil nasi putih.

Indisutri rumahannya yang diberi nama Lucu-Lucu ini kini tergabung dalam Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Surabaya yang berkantor di Jl. Arief Rahman Hakim No 99 Surabaya.

Ineke mengaku sangat terbantu dengan keberadaan Dekranasda yang bisa memfasilitasi UKM-UKM untuk berpromosi kepada masyarakat calon pembeli. [KD]

0 komentar: