This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 25 Mei 2008

Awas, Arisan Fiktif

SIDOARJO - Hati-hati dengan penipuan berkedok arisan. Polsek Krian menahan Marupah, 44, yang dilaporkan menipu sebelas orang dengan berkedok arisan. Perempuan warga Desa Watugolong, Kecamatan Krian, itu membawa uang arisan Rp 27,6 juta.



Menurut Kapolsek Krian AKP Kadarisman, Marupah ditahan setelah ada laporan dari Achmad Muadin, 39. Muadin merupakan salah seorang korban Marupah yang dirugikan Rp 2,5 juta. Dia membawa bukti kuitansi pembayaran arisan kepada Marupah.

Penipuan berawal ketika Marupah menawari korban-korbannya ikut arisan. Mereka kemudian bersedia membayar karena dijanjikan kurang dari satu tahun uang tersebut kembali dan diberi keuntungan. Tapi, ditunggu-tunggu, uang itu tidak pernah kembali. "Marupah tidak menepati janji," kata Kadarisman menirukan ucapan Muadin. (nuq/roz

Jawa Pos Rabu, 14 Mei 2008

Jumat, 16 Mei 2008

Siapakah ’Pelaku Pembunuhan’ Itu?

Sekitar pukul 09.49 WIB, rombongan ini melintas di wilayah Ngawi, Jawa Timur menuju Sragen, Solo. Namun saat berada di perbatasan Ngawi-Sragen, tepatnya di kawasan hutan Widodaren, sepeda motor besar yang tunggangi Sophan menghantam lubang besar. Seketika itu juga, sepeda motor tersebut oleng dan akhirnya terjatuh. [dari: detik.com]


Semoga arwah seniman yang juga politisi itu diterima di sisi-Nya. Banyak hal bisa dicatat dari kejadian ini. Salah satu di antaranya, adalah bahwa pihak mana yang memegang amanat membangun dan merawat jalan raya, dan membiarkannya rusak berlubang-lubang seperti itu, secara tidak langsung adalah ’’pelaku pembunuhan’’ atau terlibat dalam urusan ’hilang’-nya nyawa/jiwa orang, manusia, bukan hanya Sophan Sophiaan, tetapi juga sekian banyak jiwa yang lain. [pembaca peduli]

Perempuan Perkasa Pembuat Koral


Kulit wajah dan tangannya tampak jelas telah termakan usia, berkerut-kerut, keriput. Namun semua itu bukanlah halangan bagi Manijah (70) untuk bekerja sebagai pemecah batu.


Perempuan setua dia mestinya sudah tidak lagi melakukan pekerjaan berat. Tetapi, bersama dengan teman-temannya yang kebanyakan perempuan (di Dusun Pathuk, Desa Ngadimulya, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek) menekuni pekerjaan memecah batu (membuat koral). Itu pekerjaan yang lazimnya dilakukan laki-laki. Mungkin Anda kepengin nyeletuk, ’’Wah, ini emansipasi juga!’’ Tetapi, percayalah, Raden Ajeng Kartini pun tak pernah memimpikan emansipasi yang seperti ini.

Koral atau kerakal (untuk ukuran lebih kecil disebut kerikil) dibutuhkan untuk pengecoran, sebagai campuran semen dan pasir.

Untuk membuat koral diperlukan alat berupa amer (hamer) atau palu besi. Palu yang dipakai Manijah tampak sudah sangat aus saking lamanya diadu dengan batu. Dengan palu itulah Manijah meremukkan batu seukuran kepala, kadang juga seukuran kepala kerbau, menjadi kerakal atau koral.

Bayangkanlah, orang lain, perempuan lain seusia dia biasanya sudah ’pensiun’ walau tanpa uang jaminan, atau menjadi penghuni panti jompo. Memang, produktivitasnya tidak setinggi tenaga-tenaga yang lebih muda. Namun demikian, ia telah menyuguhkan pemandangan kepada kita, inilah sosok perempuana perkasa yang tak mau menyerah begitu saja di hadapan kehidupan yang keras, yang makin hari makin keras. Inilah wajah Indonesia yang lain.

’’Maklum nak tenaga saya sudah tidak kuat lagi ya paling banter sehari dapat 3 blek (kaleng, Red). Itu pun kalau batu yang mau dibelah telah ada. Karena batu-batu ini mengambillnya dari sungai dan saat ini mulai sulit untuk mengambilnya,’’ ujarnya dalam bahasa Jawa.

Dengan 3 kaleng koral, Manijah akan mendapatkan Rp 6.000 (1 kaleng dihargai Rp 2.000). Tidak banyak bukan? Tetapi Manijah tidak punya pilihan lain. Hanya menjadi penghancur batu itulah yang bisa ia lakukan dan menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Untuk hal ini, orang-orang di sekitar situ pun punya istilah yang cukup ’mengerikan’, ’’Kami orang-orang yang memakan batu.’’

’’Pekerjaan ini sudah saya jalani sejak masih muda, dan memang peluang yang ada di Pathuk ini adalah membuat koral, sebab lokasinya yang dekat dengan sungai yang banyak terdapat batu sebagai bahan baku untuk dibuat koral, serta pengerjaanya pun cukup hanya dengan modal tenaga,’’ tutur Manijah.

Perempuan yang memiliki dua orang anak yang semuanya telah berumah tangga sendiri-sendiri ini tampaknya tidak mau merepotkan kedua anaknya. ’’Selama saya masih kuat dan mampu untuk bekerja saya tidak mau merepotkan anak saya. Biarlah saya tetap seperti ini yang penting saya bisa ikhlas menjalaninya,’’ ujarnya bijak.

Selain Manijah memang ada beberapa perempuan lain di Pathuk yang juga menjadi pemecah batu. Namun, rata-rata usia mereka jauh di bawah Manijah.

Biasanya, penjualan koral yang mereka hasilkan mereka lakukan secara kolektif. Misalnya ada pembeli membawa mobil pick-up, itu memerlukan 60 kaleng koral (isi standar untuk sebuah mobil pick-up). Biasanya tidak ada satu orang yang bisa memenuhi permintaan sebanyak itu. Karena itulah mereka harus menghimpun koral mereka untuk dijual secara kolektf.

Tampak sekali bahwa kerukunan dan kebersamaan antarpembuat koral sangat terjaga. [Majalah Peduli/PURWO]

Perempuan Perkasa Pembuat Koral

Kulit wajah dan tangannya tampak jelas telah termakan usia, berkerut-kerut, keriput. Namun semua itu bukanlah halangan bagi Manijah (70) untuk bekerja sebagai pemecah batu.


Perempuan setua dia mestinya sudah tidak lagi melakukan pekerjaan berat. Tetapi, bersama dengan teman-temannya yang kebanyakan perempuan (di Dusun Pathuk, Desa Ngadimulya, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek) menekuni pekerjaan memecah batu (membuat koral). Itu pekerjaan yang lazimnya dilakukan laki-laki. Mungkin Anda kepengin nyeletuk, ’’Wah, ini emansipasi juga!’’ Tetapi, percayalah, Raden Ajeng Kartini pun tak pernah memimpikan emansipasi yang seperti ini.

Koral atau kerakal (untuk ukuran lebih kecil disebut kerikil) dibutuhkan untuk pengecoran, sebagai campuran semen dan pasir.

Untuk membuat koral diperlukan alat berupa amer (hamer) atau palu besi. Palu yang dipakai Manijah tampak sudah sangat aus saking lamanya diadu dengan batu. Dengan palu itulah Manijah meremukkan batu seukuran kepala, kadang juga seukuran kepala kerbau, menjadi kerakal atau koral.

Bayangkanlah, orang lain, perempuan lain seusia dia biasanya sudah ’pensiun’ walau tanpa uang jaminan, atau menjadi penghuni panti jompo. Memang, produktivitasnya tidak setinggi tenaga-tenaga yang lebih muda. Namun demikian, ia telah menyuguhkan pemandangan kepada kita, inilah sosok perempuana perkasa yang tak mau menyerah begitu saja di hadapan kehidupan yang keras, yang makin hari makin keras. Inilah wajah Indonesia yang lain.

’’Maklum nak tenaga saya sudah tidak kuat lagi ya paling banter sehari dapat 3 blek (kaleng, Red). Itu pun kalau batu yang mau dibelah telah ada. Karena batu-batu ini mengambillnya dari sungai dan saat ini mulai sulit untuk mengambilnya,’’ ujarnya dalam bahasa Jawa.

Dengan 3 kaleng koral, Manijah akan mendapatkan Rp 6.000 (1 kaleng dihargai Rp 2.000). Tidak banyak bukan? Tetapi Manijah tidak punya pilihan lain. Hanya menjadi penghancur batu itulah yang bisa ia lakukan dan menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Untuk hal ini, orang-orang di sekitar situ pun punya istilah yang cukup ’mengerikan’, ’’Kami orang-orang yang memakan batu.’’

’’Pekerjaan ini sudah saya jalani sejak masih muda, dan memang peluang yang ada di Pathuk ini adalah membuat koral, sebab lokasinya yang dekat dengan sungai yang banyak terdapat batu sebagai bahan baku untuk dibuat koral, serta pengerjaanya pun cukup hanya dengan modal tenaga,’’ tutur Manijah.

Perempuan yang memiliki dua orang anak yang semuanya telah berumah tangga sendiri-sendiri ini tampaknya tidak mau merepotkan kedua anaknya. ’’Selama saya masih kuat dan mampu untuk bekerja saya tidak mau merepotkan anak saya. Biarlah saya tetap seperti ini yang penting saya bisa ikhlas menjalaninya,’’ ujarnya bijak.

Selain Manijah memang ada beberapa perempuan lain di Pathuk yang juga menjadi pemecah batu. Namun, rata-rata usia mereka jauh di bawah Manijah.

Biasanya, penjualan koral yang mereka hasilkan mereka lakukan secara kolektif. Misalnya ada pembeli membawa mobil pick-up, itu memerlukan 60 kaleng koral (isi standar untuk sebuah mobil pick-up). Biasanya tidak ada satu orang yang bisa memenuhi permintaan sebanyak itu. Karena itulah mereka harus menghimpun koral mereka untuk dijual secara kolektf.

Tampak sekali bahwa kerukunan dan kebersamaan antarpembuat koral sangat terjaga. [Majalah Peduli/PURWO]

Dituntun lewat HP, Tato Wajah

Lima Babinsa Jadi Korban Hipnosis HP

SURABAYA - Sihir lewat handphone ternyata bukan isapan jempol. Buktinya, lima anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) jajaran Kodam V/Brawijaya menjadi sasaran orang-orang tak bertanggung jawab itu.



Mereka dituntun melalui handphone untuk menato wajah. Jahatnya lagi, tato tersebut merupakan tato permanen yang tidak mudah dihapus, kecuali lewat operasi plastik.

Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Bambang Suranto menceritakan modus operandi tukang sihir itu. Mereka menelepon prajuritnya dan mengaku dari kepala staf Kodim (Kasdim) Gresik. Karena merasa yang memerintah adalah atasan, para prajurit itu mengikuti saja. Mereka juga tak sadar bahwa perintah tersebut tak masuk akal.

Penelepon, kata Bambang, memandu anggota Babinsa tersebut sampai di tempat tukang tato. Ketika pulsanya habis, orang yang mengaku Kasdim tersebut bahkan mengisinya dan memandu sampai ke tukang tato yang menghabiskan waktu puluhan menit.

Begitu sampai, tukang tato menolak karena tidak pernah menato wajah orang. Tapi, "Kasdim" itu meminta untuk berbicara langsung dengan tukang tato. "Anda tolong tato wajahnya. Ini perintah. Yang penting Anda terima bayaran," ujar Bambang seperti yang diakui lima Babinsa yang menjadi korban sihir lewat telepon tersebut.

Akhirnya, tukang tato pun meladeni. Tapi, anehnya, setelah ditato, di antara Babinsa itu ada yang tidak sadar sampai tiga hari. "Begitu sadar, korban melapor kepada Kasdim Gresik bahwa perintahnya sudah dilaksanakan," ungkap Bambang.

Karena Kasdim merasa tidak pernah menyuruh, dia bingung melihat wajah anak buahnya yang nyaris tak bisa dikenal tersebut. Babinsa yang ditato pun terkejut.

Tapi, tidak semua yang ditelepon Kasdim gadungan itu diikuti oleh Babinsa. Ada pula anggota yang tidak mempan dengan ilmu hitam lewat telepon tersebut. "Di antaranya ada juga yang tidak mempan ke tukang tato," jelasnya.

Yang mencurigakan, lima anggota Babinsa yang ditato itu berasal dari Kodim dan Korem yang berbeda. Karena itu, diduga ada unsur tertentu, sehingga meresahkan lingkungan prajurit. Untuk melacak, Pangdam telah memerintah intelijen. Sekarang, Kodam V/Brawijaya bekerja sama dengan PT Telkom sedang mencari penelepon tersebut.

Bambang menyatakan, telepon gelap yang sedang beredar sekarang sengaja dilakukan oleh pihak tertentu yang tidak menginginkan masyarakat tenang. Hal itu sama dengan yang terjadi pada 1965, yakni ada tangan tanpa badan yang dimasukkan ke pintu-pintu warga untuk minta uang Rp 1.000. Ternyata, saat itu lakonnya adalah PKI. "Modusnya sama seperti yang terjadi pada ’65 dulu," ungkapnya. (din/nw)

Jawa Pos, Sabtu, 17 Mei 2008

Jumat, 09 Mei 2008

JENJANG KARIR SEORANG BURUH


Oleh: DR H SOEKARWO [SEKDAPROV JATIM]

Jutaan orang Indonesia menghabiskan lebih-kurang seperempat masa hidupnya untuk menempelkan pantatnya di bangku pendidikan formal untuk mendapatkan gelar sarjana. Memang ada sebagian kecil yang belajar sambil bekerja, tetapi bagian yang jauh lebih besar adalah mereka yang selama sekitar 20 tahun [TK + SD + SMP + SMU + PT = 2 + 6 + 3 + 3 + 4 = 18 tahun, itu jika lancar] hanya menempelkan pantat mereka. Begitu dinyatakan lulus sebagai sarjana mereka pun langsung menghambur ke dalam barisan amat panjang untuk dapat memasuki lowongan kerja di kantor-kantor, dan pilihan pertama mereka biasanya adalah kantor-kantor milik pemerintah. Menjadi pegawai negri. Begitulah.



Menjadi pegawai negri dirasa banyak orang sebagai ’’anugerah terindah’’, sebagai ketiban pulung, dan walau bergaji kecil, kata mereka, jaminan hari tua telah ada [karena kelak mendapatkan uang pensiun]. Maka, ketika menjadi pegawai negri, mereka merasa mapan: aman dan nyaman. Rasa aman dan rasa nyaman demikian, ternyata tak selamanya bermakna positif. Terutama, jika karena rasa aman dan nyaman itu orang lalu jadi gampang ’mengantuk’ dan bahkan gampang terlelap. Maksudnya, orang tak lagi kreatif, sebab kreativitas justru sering muncul dari kegelisahan, bukan dari kemapanan.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa menjadi pegawai negri itu kurang atau bahkan tidak baik. Barulah jadi persoalan ketika yang tumbuh di dalam pola pikir masyarakat adalah bahwa semulia-mulianya orang itu ialah jika menjadi pegawai negri. Dan, itulah yang kita saksikan sekarang. Setiap tahun sarjana baru dan sarjana lama [yang bertahun-tahun mengantri karena berulang-ulang gagal dalam penjaringan calon pegawai negri] berebut lowongan kerja di kantor-kantor atau instansi pemerintah. Tragisnya, banyak pula yang bertahun-tahun menunggu saatnya ’’ketiban pulung’’ itu sambil berpangku tangan. Artinya, mereka menumpuk sebagai pengangguran intelektual, karena tidak mau [merasa malu] jika tidak bekerja sebagai pegawai negri, atau setidak-tidaknya jadi orang kantoran. Itulah akibat pola pikir salah masyarakat kita.

Maka, banyak pula yang mempertanyakan, mengapa seolah-olah lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita sekarang ini terkesan memroduksi pengangguran intelektual. Di sinilah kualitas sejati seseorang diuji.

Kita lalu menyaksikan pula pemandangan, sekian banyak lulusan sekolah menengah yang karena menyadari posisinya lalu mau bekerja apa saja, menjadi buruh, atau berusaha mandiri dengan modal sangat kecil. Tentu saja ada yang gagal, atau mesti menempuh jalan yang sangat panjang untuk menjadi orang yang disebut sukses. Tetapi, bukankah itu masih jauh lebih baik daripada para sarjana yang merelakan berpuluh tahun hanya untuk mengantri menjadi pegawai negri, bahkan seolah baru tersadar setelah usianya dinyatakan sudah terlalu tua untuk bisa menjadi pegawai negri?

Dari Buruh ke Pengusaha

Menariknya, tak jarang pula lulusan sekolah menengah yang cepat berhasil, karena pada dasarnya memang mereka memiliki jiwa kewirausahaan yang bagus, yang bahkan makin terasah oleh keadaan. Apalagi, tidak ada peraturan yang ketat mengenai jenjang karir di dunia wirausaha. Bisa jadi, seseorang yang pada tahun lalu masih bekerja sebagai buruh, hari ini sudah memiliki buruh alias sudah jadi pengusaha. Hebatnya lagi, tak sedikit pengusaha berijasah SMA yang mempekerjakan para sarjana.

Sebagai gambaran yang nyata, seingat saya, orang nomor satu di Grup Jawa Pos, Dahlan Iskan, pada tahun 1980-an ketika Kapal Tampomas Tenggelam, ia masih bekerja sebagai wartawan yang bekerja untuk majalah Tempo. Artinya, ketika itu ia masih seorang buruh. Lalu ia mendapatkan kesempatan masuk dan membenahi Jawa Pos [masih di tahun 1980-an]. Dan Dahlan Iskan tak memerlukan banyak tahun untuk membalik keadaan Jawa Pos sebagai koran pagi yang di Surabaya saja semula berada jauh di bawah bayang-bayang koran sore Surabaya Post, menjadi koran pagi terkemuka. Kini, bahkan Jawa Pos telah menjadi koran nasional [yang terbit di Surabaya] dan memiliki ratusan anak perusahaan [itu baru yang bergerak di bidang penerbitan media cetak] yang tersebar di seluruh Indonesia.

Begitulah, karir seorang buruh yang memiliki jiwa kewirausahaan yang bagus bisa melesat sedemikian cepat. Sementara, ketika orang memutuskan untuk menjadi pegawai negri, untuk naik pangkat/golongan rata-rata perlu waktu 4 tahun. Kita bisa menghitung, jika dengan ijasah sarjana masuk menjadi pegawai negri dengan pangkat/golongan 3A, perlu secepat-cepatnya 16 tahun masa kerja untuk mencapai golongan 3D. Apalagi mereka yang masuk pegawai negri dengan ijasah SMA dan yang sederajat, yang harus memulai dari golongan 2A [perlu 16 tahun untuk sampai pada 2D], dan perlu persyaratan administratif yang cukup berat untuk kemudian memasuki golongan 3.

Tabungan dan Rencana

Begitu pula urusan gaji. Gaji pegawai negri sudah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan seorang pengusaha, ia boleh menentukan sendiri berapa gaji yang harus ia terima.

Maka, jangan pernah merasa kecil hati karena masih menjadi buruh. Tuhan telah menganugerahkan kepada kita potensi dan peluang. Apakah kita akan menyia-nyiakannya? Maka, jangan pernah berhenti belajar. Hal yang tak kalah pentingnya bagi para pekerja, terutama yang bekerja di rantau [luar negri] adalah: punya tabungan dan punya rencana.

Seberapa pun banyaknya tabungan, jika tanpa rencana kemungkinan besar hanya akan pulang ke tanah air kemudian menggerogoti diri sendiri, dan dalam tempo yang sangat singkat akan tidak punya apa-apa lagi, kembali seperti keadaan ketika dulu memutuskan berangkat bekerja di luar negri. Demikian pula, betapa pun bagusnya sebuah rencana, jika makin lama bekerja [sebagai buruh] tabungan tidak semakin bertambah, peluang terbesarnya, kelak, adalah jadi pemimpi. []

Sumber: Berita Indonesia