Jumat, 18 September 2009

Bisnis Warnet [3]

Pengusaha Warnet di Plasa Tunjungan
’’Jika Tak Paham IT Jangan Harap Untung’’

Bisnis warnet ternyata merupakan bisnis yang tidak terlalu menguntungkan bagi Harry Budianto, pemilik ABA Communication, warnet yang berada di Plasa Tunjungan (PT) Surabaya. ’’Usaha ini akan lebih menguntungkan jika dibarengi dengan usaha lain seperti wartel dan fotocopy.’’

Ketika pertama kali mendirikan usaha ini pun Harry memulainya dari bisnis wartel yang berada di PT 1 lantai dasar. Selang tujuh bulan kemudian baru wartel. Proses pendirian bisnis ini terbilang cukup panjang. Setidaknya, ada tiga hal penting yang harus dipertimbangkan. Pertama adalah target dan kondisi pasar tempat usaha.

’’Bagi saya ini sangat penting. Sebab, percuma membuka usaha ini kalau ternyata pasarnya sepi. Saya dulu melakukan survei selama setahun untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan pasar ,’’ ujar Harry.

Survey yang dilakukan ini mencakup letak dan sewa outlet yang diinginkan, tingkat kebutuhan pasar akan bisnis ini, target bisnis maksimal, lama waktu pelayanan dan hal-hal teknis seperti berapa komputer yang akan disediakan.
’’Saat itu saya lihat bisnis ini menguntungkan. Tapi, setelah dikurangi total pengeluaran ternyata untungnya tidak seberapa walaupun tidak pernah rugi,’’ lanjutnya.

Untuk itu, memang dibutuhkan bisnis sampingan. ’’Yang paling cocok adalah wartel. Karena setelah chatting biasanya pelanggan mencari telepon umum,’’ tukas Harry.

Selain pasar, koneksi atau jaringan (network) yang dipilih sangat berperan. Koneksi yang dipilih dalam hal ini adalah fasilitas Internet Service Provider (ISP). Di Surabaya telah banyak tersedia ISP. Seperti, Telkom, D-Net, Pesat Net atau Rad-Net.

’’Bisnis ini kan bisnis jasa. Jadi harus disediakan koneksi yang tidak pernah putus (selalu lancar) agar pelanggan puas. Cara paling aman adalah menyediakan minimal 2 ISP. Kalau bisa 3 atau 4 ISP malah lebih bagus,’’ papar pria yang memilih D-Net dan Speedy sebagai koneksi bisnis ini.

Fungsinya, bila koneksi provider utama terhambat, maka dapat segera dihubungkan dengan koneksi lainnya. ’’Terus terang, ini adalah problem yang sering ditemui dalam usaha warnet. Kalau tidak tanggap biasanya dikomplain sama pelanggan-pelanggan bule,’’ lanjut Harry yang memiliki dua cabang warnet di PT 3 lantai 5 dan SPI ini.

Pemilih provider juga harus dipertimbang dari segi biaya. Yang dicari tentu provider yang memiliki koneksi lancar tetapi harganya lebih murah. Ini juga harus disesuaikan dengan kapasitas jaringan dan jumlah komputer yang disediakan. Sebab, program system yang digunakan oleh penyedia provider kini menggunakan sistem unlimited (berlangganan). ’’Kalau dulu kan menggunakan program system billing. Jadi jumlah pembayarannya disesuaikan jumlah waktu pemakaian. Kalau sekarang sistemnya dipakai atau tidak dipakai setiap bulan tarifnya sama,’’ ungkapnya.

Perhitungannya, setiap komputer membutuhkan 20 KBPS (kilo bytes per second). Sehingga, dari 30 komputer yang disediakan dibutuhkan dana sekitar Rp10 juta hingga Rp 15 juta untuk kapasitas 512 MBPS.

Hal lain yang tak kalah penting adalah masalah technical support. Setidaknya dibutuhkan seorang teknisi untuk menyediakan program-program baru berdasarkan kecanggihan teknologi dan untuk memperbaiki trouble teknis yang kerap terjadi. Seperti menyedian program webcam (kamera web), handsfree untuk melakukan chatting dengan suara atau membersihkan virus.

’’Namanya juga layanan umum. Terkadang ada tangan-tangan jahil yang mengacak-acak program yang telah tersedia atau menginfeksi virus. Nah, hal-hal seperti ini kita harus punya program antisipasinya,’’ sambungnya.

Rumitnya program teknis tersebut membuat pengusaha warnet harus memahami betul konsep IT. Termasuk tanggap akan teknologi informasi yang semakin canggih. ’’Kalau tidak memahami IT secara teknis jangan harap bisa untung. Yang ada malah rugi karena keuntungan ludes dipakai untuk perbaikan.’’ [NUY HARBIS]

0 komentar: