Jumat, 18 September 2009

Memutar Roda Perekonomian Keluarga dengan Beternak Kambing


Kotoran kambing digunakan untuk memupuk tanaman. Karena dipupuk, tanaman tumbuh subur dan menghasilkan pula bahan makanan bagi kambing. Karena makanannya terjamin, kambing pun tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Untung pun dipetik!

Di pedesaan, hampir setiap keluarga memiliki kandang ayam dan kandang kambing. Tak peduli apakah keluarga petani, buruh, pamong desa (yang rata-rata juga bekerja sebagai petani), maupun pegawai negeri (guru, mantri puskesmas, dan lain-lain), beternak ayam dan kambing seolah tak bisa mereka tinggalkan. Akan terlihat begitu ’sepi’ jika di sekitar rumah tidak ada suara ayam dan kambing.

Berbeda dengan ayam yang hampir tiap tahun dihadang aratan (wabah), kambing jauh lebih aman. Paling-paling gudhig yang menyerang kambing, itu pun gampang diatasi. Selain itu, orang-orang di pedesaan suka beternak kambing, karena kambing-kambing itu bisa jadi semacam tabungan yang ’bunga’-nya (nilai keuntungannya) cukup bagus. Sewaktu-waktu perlu uang mendadak, kambing bisa dijual. Begitulah biasanya. Tetapi, kini banyak orang yang mulai beternak kambing dengan manajemen yang lebih tertata, dengan selalu mencatat modal, biaya pemeliharaan, dan kemudian berapa keuntungannya.

Bambang Sumarsono, seorang karyawan Koperasi Unit Desa Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, memberikan beberapa catatan kepada Peduli seputar peternakan kambing yang telah lama digelutinya. Usaha ternak kambing bisa dilakukan untuk penangkaran, penggemukan, atau gabungan dari keduanya.

’’Untungnya memang tidak besar. Kalau kita menggemukkan,’’ kata Pak Son –begitu biasanya ia disapa, ’’dari satu ekor kambing, setelah dikurangi biaya perawatan dan makanan sekitar Rp 100 ribu, dalam 4 bulan bisa diambil keuntungan Rp 50 ribu.’’ Artinya, jika kita punya 100 ekor, dalam 4 bulan akan mendapatkan keuntungan bersih Rp 5 juta atau Rp 1.250.000/bulan.

Tetapi, jangan pesimis karena hanya melihat uang sesedikit itu. Sebab, ada produk sampingan, yang seharusnya diitung pula sebagai keuntungan, yakni kotorannya yang bisa dimanfaatkan/dijual sebagai pupuk kandang. Asal tahu saja, kualitas pupuk dari kotoran kambing nilainya jauh di atas kotoran kerbau atau sapi. Inilah pula faktor yang membuat orang-orang di pedesaan itu seolah tak bisa meninggalkan usaha ternak kambing. Kotoran kambing bisa dimanfaatkan untuk memupuk tanaman apa saja.

Pakan
Ongkos pemeliharaan ternak kambing juga jadi semakin ringan karena produk sampingan pertanian seperti jagung, ketela, kacang, dan lain-lain adalah makanan yang bagus bagi kambing. Jadilah putaran roda perekonomian yang bagus: kotoran kambing digunakan untuk memupuk tanaman. Karena dipupuk, tanaman tumbuh subur menghasilkan pula bahan makanan bagi kambing. Karena makanannya terjamin, kambing pun tumbuh dan berkembang biak dengan baik.

Menurut Pak Son, peternak jangan hanya mengandalkan produk samping pertanian. Lahan-lahan yang kosong bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman yang khusus diambil manfaatnya untuk pakan ternak (dalam hal ini: kambing). Tanaman pagar pun sebaiknya dipilih yang disukai kambing, jangan asal rimbun. Misalnya beluntas, bukan hanya si kambing yang suka, tetapi juga sang pemilik kambing.

Makanan kambing yang baik dan alamiah adalah dedaunan, karena kambing adalah herbivora (pemakan tumbuhan). Tetapi, teknologi modern telah menghasilkan konsentrat pakan ternak, termasuk untuk kambing. Tetapi, menurut Pak Son, harganya terbilang mahal, sekitar Rp 34 ribu/40 kg (1 sak).

Selain konsentrat dan dedaunan, belakangan ketela atau singkong atau ubi kayu juga dimanfaatkan untuk pakan ternak. Caranya, singkong dikelupas, dibuang kulitnya, dan direndam air bersih selama sehari untuk menetralisir kandungan racunnya. Catatan lain, setelah diberi makan ketela, kambing harus diberi minum air bersih yang secukupnya.

Kandang
Untuk menghasilkan kambing yang sehat dan tumbuh serta berkembang maksimal, kandang juga harus diperhatikan, jangan terlalu lembab, dan sebaiknya diberi alas papan dengan ketinggian setidaknya setengah meter di atas permukaan tanah. Dengan demikian, kotorannya bisa langsung jatuh ke tanah di bawahnya, sehingga kambing relatif bersih, sekaligus mengamankan dari serangan gudhig. Jika kotor, gudhig akan lebih potensial menyerang kambing.

Bibit dan Hasil
Harga seekor pejantan untuk jenis peranakan etawa sekitar Rp 2 juta – Rp 5 juta. Sedangkan induk Rp 3 juta– Rp 4 juta/ekor. Pak Son menyarankan, sebaiknya memulainya dengan satu paket bibit terdiri 3 ekor induk, 4 ekor betina tanggung, dan 1 ekor pejantan. Itu untuk penangkaran dan pembesaran. Harga paket itu sekitar Rp 10 juta. Dalam 1 tahun nilainya bisa berkembang menjadi Rp 16.800.000. Pertambahan nilai yang barangkali tidak begitu menarik. Tetapi, sekali lagi, produk pupuknya belum terhitung.

’’Lebih baik menyimpan uang di kandang (kambing, Red.) daripada di bank,’’ itu kata Pak Son, lho! [pur]

0 komentar: