Jumat, 18 September 2009

Buka Usaha Hik lantaran di-PHK

Modal Rp 1,5 Juta, Penghasilan Rp 3 Juta/Hari

Di Solo, bisnis hik juga berkembang pesat dan jadi gaya hidup wong Solo. Peluang ini pun ditangkap dengan ciamik oleh Pak Kumis, salah satu pemilik warung hik terlaris di kota ini. Setelah tempat dia bekerja dulu PT Satwa Jawa Jaya mengadakan PHK besar-besaran –akibat krisis moneter – Pak Kumis sempat ketar-ketir. Pasalnya, ia adalah salah satu pegawai yang juga di PHK sekitar 1998 lalu. Untung, rasa ini tidak berlangsung lama. Melihat peluang sukses di bisnis warung hik, lelaki berkepala plontos ini langsung memutuskan untuk mencoba bisnis ini.


Bermodalkan uang pesangon sebesar Rp 1,5 juta, Pak Kumis memilih salah satu stand yang ada di area Stadion GOR Manahan Solo. Stan itu hanya berupa sebuah gerobak yang memang telah disediakan oleh Pemkot. Sehingga, areal stadion merupakan lokasi kebanggaan Wong Solo untuk mencari panganan.

Dipilihnya lokasi di areal GOR Manahan Solo bukan tanpa pertimbangan. Lokasi ini sangat strategis bagi bisnisnya. Selain berada ditengah kota, areal ini menjadi pusat kegiatan wong Solo termasuk kongkow-kongkow anak muda.

Soal menu, awalnya, lelaki yang bernama asli Aris ini hanya menyediakan gorengan tempe, atau tahu layaknya pedagang hik lainnya. Namun, seiring dengan larisnya dagangan hik miliknya, ia mulai membidik pasar yang lebih tinggi. Menu hik yang biasa berkisar gorengan dan sate seperti sate telor puyuh atau sate usus itu mulai beralih pada menu-menu elit yang lebih variatif dan lengkap seperti yang dilakoninya sekarang. Contohnya menu ayam, burung puyuh, jeroan sapi dan ikan laut. Begitu pula dengan konsep lesehan yang di usungnya. Untuk warungnya yang telah berkembang pesat ini Pak Kumis lebih suka menamainya warung hik semi modern.

’’Saya memang sengaja membuka warung hik yang punya menu lebih modern dan lengkap ketimbang warung hik biasa,’’ ujar Pak Kumis.

Stand jualan Pak Kumis pun semakin bertambah luas –masih di GOR Manahan- seiring makin dikenalnya warung miliknya. Ini pun demi untuk memenuhi keinginan pembelinya untuk bisa menyediakan areal lesehan. Selain stan disebelah kanan-kirinya, lokasi taman trotoar didepannya pun dimanfaatkan dengan menggelar tikar.

Segmen Menengah Atas
Kini, dalam sehari Pak Kumis menghabiskan ikan laut sekitar 8 kg, burung puyuh 7 ekor, ayam dan jeroan sapi masing-masing sebanyak 50 kg.. Jumlah pegawainya pun jauh berlipat ganda.
Selama perjalanannya mengembangkan bisnis ini, Pak Kumis tidak khawatir dengan persaingan yang muncul. Sebaliknya, dia mengatakan sebagai pemain tunggal yang bermain di level menengah atas.

’’Target bisnis saya jelas jauh berbeda dengan warung hik kebanyakan yakni menengah ke atas. Jadinya saya tidak khawatir dengan warung-warung hik yang ada,’’ paparnya.
Memang dari segi pasar, pembeli yang datang ke lokasi berjualan warung ini kebanyakan dari kalangan menengah atas. Ini terlihat dari banyaknya kendaraan yang berjejar di depan lokasi jualan pak Kumis. Minimal puluhan sepeda motor terparkir didepan area warung ini.

Satu hal yang selama ini sering menghambat adalah perilaku dari oknum birokrasi dan aparat kepolisian. Diceritakannya beberapa kali ada oknum dari Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) yang menarik pajak untuk usahanya. Terang saja, permintaan ini ditolaknya mentah-mentah. Baginya, usaha informal tidak seharusnya dibebani oleh pajak.

’’Dia mau minta 10 persen dari total penghasilan saya setiap harinya. Ini kan jelas beban bagi saya,’’ keluhnya.

Secara implisit, penghasilannya di Manahan mencapai Rp 3 juta per harinya. Oknum itu pun sempat mengancam akan menyegel tempat usahanya jika tidak membayar. Beruntung, bapak satu anak ini tidak termakan gertakan oknum tersebut. Sikap ini juga didukung oleh pedagang lain yang tergabung dalam paguyuban pedagang.

Berkembang
Seiring dengan berjalannya waktu, Pak Kumis berhasil mengembangkan usahanya. Cabang Warung Hik Pak Kumis pun berhasil dibukanya. Tidak satu tapi dua. Bagi keluarga dan eksekutif muda disediakan di dua tempat yakni di Jl. Sam Ratulangi 42 Gremet dan satu lagi cabang di depan SMK 4 Kerten Solo.

Di dua lokasi ini cukup elegan tanpa meninggalkan elemen lesehan sebagai salah satu cirinya. Dia menjelaskan dua lokasi ini ditujukan untuk kalangan eksekutif muda dan keluarga. Lokasi ini pun cukup laris dan dikenal oleh warga Solo.

’’Kalau untuk buka cabang yang di Gremet, setidaknya saya menghabiskan duit sekitar Rp 450 juta,’’ tuturnya malu-malu.

Kini bapak satu anak ini tinggal menikmati hasil kerja kerasnya. Dia pun tidak lagi meratapi kehilangan pekerjaannya ketika di-PHK dulu. Sebab, usahanya makin berkembang dengan membuka bisnis lain. yaitu, toko reptil disekitar Hotel Agas Solo. [GIT]

0 komentar: