Jumat, 18 September 2009

Neraka Wail dan Kue Terang Bulan

Cerita: HM Cheng Ho Djadi Galajapo*

Mbah tahu kalau saya sudah pintar mengaji. Ketika itu, bakat lawak ku terus saya asah. Saya sering diundang melawak di acara-acara kampung. Dan, itu ternyata membuat mbah saya malu semalu-malunya.


’’Gak isin koen Nak.. mudhun tekok masjid, mari ngono ndhagel diguyu wong akeh (apa kamu tidak malu…turun dari masjid, setelah itu melawak ditertawakan banyak orang),’’ kata mbah saat itu memarahi saya. ’’Mbah isin, Nak (mbah malu),’’ lanjutnya. Ceritanya, saat itu saya baru saja melawak di Balai RW. Kebetulan, jarak antara masjid dengan balai RW cukup dekat, sekitar 50 meter. Mbah saya tak hanya marah dengan kata-kata, tapi ketika itu juga memukuli saya dengan sapu lidi.

Semula, ketika mbah melarang saya melawak, saya diam saja. Saya tidak berani bertanya, apalagi membantah. Tapi, karena saya sudah tak kuat menahan keinginan untuk melawak di panggung, akhirnya saya beranikan diri bertanya ke mbah.

’’Mbah…mengapa saya kok nggak boleh melawak?’ tanya saya.

’’Nak.. lek awakmu ndhagel diguyu wong akeh, neraka wail panggonane (kalau kamu melawak ditertawakan banyak orang, tempatmu nanti di neraka wail),’’ jawab mbah. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMP. Jawaban itu membuat saya tertegun. Saya pun merenung.

Terus terang, saya nggak puas dengan jawaban mbah yang menurut saya sangat didramatisir itu. Tapi, mau membantah, saya tak berani. Bisa-bisa kena pukul lagi. Akhirnya, saya mencari cara, bagaimana agar mbah mengizinkan saya melawak, dan tak lagi menyebut-nyebut neraka wail.

Saya lantas mencari cara, bagaimana agar saya tetap bisa melawak, dan menurut mbah, saya tidak masuk ke neraka wail.

Akhirnya saya menemukan satu cara, setiap kali saya melawak, selalu saya selipkan ayat-ayat al-Quran atau hadis, meski hanya satu ayat.

Jadi, saya berniat untuk melawak sambil berdakwah. Bukankah ada hadis yang mengatakan, sampaikan walau satu ayat?

Ketika itu saya melawak dengan beberapa anak kampung. Nggak ada nama grupnya kala itu. Dan, grup lawak saya itu sering berganti-ganti personel, karena memang tidak permanen dan banyak teman-teman saya yang tidak betah. Maksudnya tidak betah gendheng. Ha ha ha ha…!

Selain melawak, kala itu saya juga sering diundang untuk menjadi MC.

Suatu ketika, saya memberanikan diri untuk mengatakan kepada mbah tentang apa yang sudah saya lakukan.

Saya mengatakan kepada mbah, meski saya melawak, tapi nanti akan bisa sama-sama naik ke surga bersama mbah. Omongan saya membuat mbah terkejut. ’’Lho kok bisa?’’ tanya mbah sengit. Saya menjelaskan, bahwa saya tidak sekadar melawak. Tapi, juga berdakwah. Karena setiap kali saya melawak, selalu saya selipkan ayat-ayat suci al-Quran, seperti yang dilakukan para ustadz ketika memberikan kultum (kuliah tujuh menit) di sela-sela salat tarawih.

Mbah saat itu hanya terdiam. Dia tidak membantah omongan saya, juga tidak membenarkan omongan saya. Sikap mbah yang belum jelas itu, membuat saya terus berupaya melunakkan hatinya.
Suatu hari, ketika saya sudah mulai mendapatkan uang yang cukup dari hasil melawak, saya membeli kue terang bulan. Itulah kue kesukaan mbah. Biasanya, mbah itu suka makan kue di waktu pagi sambil nyeruput kopi.

Malam saya beli kue terang bulan itu dan pagi harinya saya suguhkan kepada mbah. Tak berapa lama, kue itu habis disantap mbah. Setelah itu, saya baru cerita ke mbah. ’’Alhamdulillah, Mbah…kue tadi saya beli dari hasil bayaran melawak.’’

Mendengar perkataan saya itu, mbah ternyata tidak marah. Dia malah tersenyum. ’’Kamu itu memang bandel. Dilarang melawak, kok malah terus melawak,’’ katanya. Kalimat itu diucapkan mbah, tanpa ekspresi kemarahan. Rupanya, mbah sudah mulai lunak terhadap aktivitas melawak saya. Bahkan, itu sudah saya anggap sebagai restu.[]

*) dari buku HM Cheng Ho Djadi Galajapo, Neraka Wail dan Kue Terang Bulan, JP-BOOKS, 2008.

0 komentar: