Sabtu, 26 September 2009

Membangun Rumah dan Menyekolahkan Anak dengan Memroduksi Alen-alen

Kutha Trenggalek, Kutha Trenggalek
kinupengan gunung-gunung tepung gelang
….
Alen-alen tekan mancapraja


[Syair yang dipetik dari Mars Kutha Trenggalek itu kurang lebih berarti bahwa Kota Trenggalek dikelilingi gunung-gunung. Dan produksi alen-alen-nya terpasarkan hingga ke daerah lain].

Begitulah. Salah satu jajan [biasa dibeli sebagai oleh-oleh] khas Trenggalek, Jawa Timur, adalah alen-alen [mengandung pengertian: seperti ali-ali atau cincin]. Bahan dasar alen-alen adalah tepung ketela/tapioka. jajanan yang bentuknya seperti cincin ini terbuat dari tepung tapioka. Salah seorang pengusaha alen-alen yang cukup dikenal ialah Warjito [Desa Sumbergedong, Kecamatan Kota].

Bapak dari dua anak ini mulai menekuni usaha pembuatan alen-alen sejak 1990. Bagi Warjito, membuat alen-alen bukan merupakan hal yang baru. Sejak kecil ia sudah akrap dengan proses pembuatan alen-alen, karena si pembuat alen-alen itu tak lain adalah orangtua Warjito. Dengan kata lain, Warjito kini menekuni usaha yang sudah dirintis orangtuanya.

Modalnya Rp 12 Ribu

Jadi pengusaha alen-alen seperti Warjito ternyata tidak perlu modal jutaan, atau bahkan ratusan ribu rupiah. Warjito memulai usahanya hanya dengan modal Rp 12.000 [dua belas ribu rupiah]! Dengan modal sekecil itu, sudah bisa dihasilkan alen-alen sebanyak 50 kg. Saat itu pemasaranya dilakukan dengan cara keliling dan sebagian dititipkan di warung-warung. Ternyata, ludes hanya dalam 5 hari.

Sekarang, Warjito rata-rata memroduksi 2 kuintal alen-alen dalam sepekan. Karyawannya ada 10 orang, dan pada saat saat ramai ia bisa mempekerjakan karyawan sebanyak 15 orang dengan sistim borongan.

Para karyawan itu pun tidak bekerja penuh waktu. Mereka datang setelah selesai mengurus pekerjaan rumah mereka [mempersiapkan anak berangkat ke sekiolah, memasak, cuci pakaian, menyapu, dan lain-lain]. Biasanya, mereka datang pukul 10.00. Setiap karyawan akan memperoleh upah Rp 2.000 setiap ia menghasilkan 1 tempayan alen-alen. Dalam sehari, setiap orang dapat menghasilkan antara 5 - 8 tempayan. Dengan demikian bisa membawa pulang upah antara Rp 10.000 – Rp 15.000.

Dalam sebulan Warjito mampu menghasilkan 8 kuintal alen-alen, dengan nilai jual sekitar Rp 6,5 juta.

Proses Pembuatan
Membuat alen-alen, sepintas tampak sepele. Tetapi, jika tak berpengalaman, biarpun jadi alen-alen rasanya akan mengecewakan.

Mula-mula tepung tapioka direbus dengan air secukupnya, kemudian diberi bumbu bawang putih, garam, serta pewarna yang terbuat dari air kunyit. Selama proses itu adonan tersebut harus diaduk supaya bumbu dan pewarna bisa benar-benar tercampur merata. Setelah dirasa sudah kenyal dan setengah matang adonan diangkat dan didinginkan.

Langkah selanjutnya adonan yang masih terasa hangat tersebut digiling dengan tangan untuk memperoleh lonjoran-lonjoran kecil. Inilah proses yang tergolong agak sulit, karena dituntut menghasilkan lonjoran yang besarnya relatif sama. Untuk mempermudah proses ini biasanya adonan ditaburi tepung yang belum direbus agar dalam proses menggiling tidak lengket di tangan.

Adonan yang telah menjadi bentuk lonjoran tersebut selanjutnya di bentuk bulatan-bulatan yang merupai cincin, yang selanjutnya sampai pada tahap penggorengan. Setelah digoreng hasilnya ditempatkan pada keranjang besar sekaligus tempat untuk meniriskan, dan selanjutnya tinggal mengemas.

Modal dan Pasar
Warjito tidak pernah dipusingkan urusan penambahan modal. ’’Terus terang saya mengenai modal usaha ya semampu saya dan sampai saat ini saya tidak pernah pimjam uang untuk tambah modal, ya laba dari hasil penjualan itu yang selama ini yang saya jadikan modal,’’ katanya.

’’Ya alhamdulillah nyatanya dengan model seperti itu saya bisa mencukupi keluarga, menyekolahkan anak dan membuat rumah,’’ imbuhnya.

Selain untuk menggantungkan hidupnya produksi alen-alen Warjito ternyata juga turut membantu menyediakan lapangan kerja.

Untuk pemasaran saat ini Warjito tinggal menyetorkan ke para pedagang tetapnya di seputar Trenggalek kota saja. Kemasan yang dipakai adalah plastik yang ia jual dengan harga Rp 7.500 [super] dan Rp 6.500 [biasa] per kg.

Dari omzet penjualan yang mencapai Rp 6,5 juta tersebuat warjito memperoleh keuntungan bersih sekitar Rp 2,5 juta per bulannya.

Adapun kendala utama yang di alami adalah bila musim penghujan, harga bahan baku tepung selalu melonjak. Akibatnya, biaya produksi meningkat, padahal harga jualnya tetap sehingga keuntungan yang diperolahnyapun akan turun secara dratis.

’’Kendala yang satu ini sulit diatasi masalahnya alen-alen ini bahan bakunya harus selalu baru bila terlalu lama ditimbun maka hasilnya tidak baik terutama pada rasa dan kerenyahannya,’’ tuturnya. [PUR]

0 komentar: