This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 30 Desember 2012

SELAMAT TAHUN BARU 2013

Selamat! Kita sudah memasuki tahun yang baru. Jangan lupa bersyukur, Yang Mahakuasa telah memberikan kepada kita kesempatan untuk meghirup udara tahun baru (2013) ini. Dan berdoalah kita, semoga udara yang kita hirup semakin bersih dari segala bibit penyakit. Dan dengan semangat makin membaja kita tantang masa depan yang jauh membentang. Bukankah peta sudah dibuat, dan segala bekal semakin siap? Lalu dengan kerja kita bentangkan layar. Sebab harapan tak boleh pupus, harus semakin mekar.


Jika menjelang perayaan tahun baru Anda sempat mengintip dinding Facebook teman-teman kita, Anda akan mendapati bahwa mereka sudah bulat dengan rencana perayaan tahun baru, dengan cara mereka masing-masing. Beberapa di antaranya merencanakan pesta, makan bersama, joget bersama. Seolah mereka lupa, pesta sering membuat orang mabuk. Bukan karena minuman beralkohol, tetapi kemeriahan itu cenderung membuat orang melayang di awang-awang yang salah, bermimpi tanpa juntrungan, bukan mimpi yang berhimpitan dengan rencana-rencana yang kita susun, yang bahkan, mungkin, sudah mulai atau lewat setengah jalan. Bukan mimpi yang kita tunggu menjelma kenyataan. Mimpi orang di dalam kemeriahan pesta biasanya adalah tujuan itu sendiri. Dan itu maya alias semu. Suka-cita yang disebut orang Jawa: ”Mung sagebyare thathit,” (= hanya sekelebat kilat).

Apakah kita tak boleh berpesta? Oh, tentu boleh. Yang tidak boleh atau sebaiknya tidak, adalah: menyiapkan diri untuk tenggelam di dalam pesta itu dan karenanya yang tertanam di dalam kesadaran kita hanyalah bahwa tahun baru adalah ketika kembang api dinyalakan. Mungkin kita suntuk semalaman hingga terkapar, mabuk kesenangan. Hingga ketika bangun keesokan harinya, dalam sadar sesadar-sadarnya pun tetap saja tidak tahu pada kordinat mana kita berdiri. Dan titik mana mesti kita parani (tuju). Dan dalam konteks seperti inilah ayat ini, ”Demi waktu, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian…” sungguh pas banget!

Sering kita merasa sadar, merasa tahu, padahal kita nyaris tak ubahnya manusia tidur berjalan. Atau seperti ranting hanyut di arus deras, dan sambil bersiul atau bernyanyi riang kita biarkan tubuh dan jiwa kita terbawa arus, yang kadang disebut tren, mode, gaya hidup anak gaul, atau apa-pun-lah sebutannya. Sering batin kita berteriak, ”Inilah aku!” Tetapi, jagad sakisine atau seru sekalian alam hanya mendengar teriakan itu sebagai sebuah igauan, sebab pada saat yang sama masing-masing kita tidak pernah dapat menjadi ’aku.’ Tampaknya, memang, kita tak lebih dari sebuah kerumunan. Kecuali, mereka yang kapan dan di mana pun selalu sadar takaran. Semoga, di dalam perkecualian itu ada engkau, juga saya! Amin. Selamat tahun baru. Merdeka!

Kamis, 13 Desember 2012

Siska Sumartono: ”Barang Kita harus Limited Edition”

Selama ini sulam sering berkonotasi jadul. Maka, ibu 3 anak ini ingin sulam digemari anak-anak muda. Melalui label Sari Ronche miliknya, ia mulai mengaplikasikan sulamannya itu pada celana jeans, rok jeans, overcoat dan blus kerja wanita.Tak ayal, segala jenis produk buatannya bisa bernilai jual tinggi.
Siska menunjukan salah satu aplikasi sulam pada baju

Semula, istri Stefanus Sumartono ini tak pernah membayangkan kalau keahliannya menyulam sejak kecil itu bisa dijadikan lahan untuk mengais rezeki. Ini terbukti lulusan STM Pembangunan Teknik Kimia alumni tahun 1990 ini tercatat malah pernah bekerja di sebuah perusahaan kosmetik selama 17 tahun. Tak tanggung-tanggung, kala itu posisinya sudah bukan karyawan biasa. Namun, dalam perjalanannya itu akhirnya ia menyadari bahwa menjadi karyawan bukanlah minatnya.

”Aku sudah 17 tahun kerja di perusahaan kosmetik. Itu posisinya sudah bagus dan punya anak buah 200 orang. Tapi, akhirnya aku ngerasa di situ bukanlah passion-ku. Aku resign tahun 2007. Dari situ aku ngerasa ingin mulai berbisnis kecil-kecilan. Kebetulan suka sulam sejak kecil. Jadi ya mulai buat produk terus ikut pameran, masuk ke instansi pemerintah dan akhirnya bisa ketemu banyak komunitas yang akhirnya menginspirasi supaya lebih baik lagi,” katanya.
Sulam pada baju bolero

Di saat awal menerjuni bisnis sulam, semula ibu dari Frans Galih Sumartono (15), Imanuel Gading Sumartono (10), Nikolas Ganesya Sumartono (4) ini menjalin kerja sama dengan salah seorang temannya yang memiliki usaha busana muslim ternama di Surabaya. Ia menyulam baju-baju muslim hasil rancangan sang teman tersebut. Namun, akhirnya pada 2009 ia memutuskan untuk mendirikan CV sendiri dan mengeluarkan produk yang diberi nama Sari Ronche.

”Aku awalnya kerja sama dengan temenku yang punya merek baju muslim terkenal di Surabaya. Aku banyak belajar dari dia. Tapi, akhirnya aku putuskan kerja sendiri dengan mendirikan Sari Ronche di tahun 2009. Dengan pesangonku dari perusahaan kosmetik dulu,” imbuhnya.

Banyak terinsiprasi dari baju muslim yang rata-rata disulam maka perempuan kelahiran Surabaya 21 Maret 1970 ini mulai menggunakan sulam pada baju kerja miliknya dan baju-baju yang biasanya dipakai anak muda zaman sekarang.

”Baju-baju kerjaku aku sulam. Itu banyak terinspirasi oleh baju-baju muslim yang disulam pada waktu itu. Karena bukan jiwaku, nuwun sewu saya kurang suka dengan baju-baju yang tertutup, saya suka baju yang modis. Karena sulam imagenya selama ini identik dengan sesuatu yang kuna, jadul, muslim, atau mungkin taplak meja aja, jadi saya ingin mencoba sesuatu yang bisa diterima anak muda. Intinya aku ingin sulam itu bisa dipakai anak muda, ini hanya masalah peletakan sulam, pilihan warna dan desainnya aja kok. Kamu bisa tampil manis dengan sulam. Jadi rok jeans saya sulam. Harga beli jeansnya semula Rp 125.000 atau Rp 150.000, setelah disulam harga jualnya jadi 3 x lipat,” pemilik usaha yang beralamat di Karang Menjangan 8/4 Surabaya ini mengisahkan.

Industri Kreatif

Dengan menyulam desain rumput, perdu, kupu-kupu, capung, rumah laba-laba ataupun pemandangan dan burung, produk-produk keluaran Sari Ronche bahkan bisa menembus harga hingga Rp 2,8 juta untuk sebuah baju saja. Ada kalanya juga penulis buku Baju Kerja Berbahan Tenun Jatim ini menambahkan aksen goni yang ia sulam untuk mempercantik baju-baju rancangannya tersebut. Produk-produk buatan Siska ini bahkan sudah digemari oleh masyarakat yang ada di Balikpapan, Samarinda, Palangkaraya, Jakarta, Ternate dan Palembang.

Perihal harga jual yang mahal, Siska mengatakan tidak ada batasan atau patokan khusus jika itu berkaitan dengan produk seni. Asalkan baju itu berkualitas dan desainnya tidak ’pasaran’ maka harga jual dari suatu produk bisa saja bervariasi.

”Harga jual itu dipengaruhi kualitas bahan, desain, dan kerapian. Untuk sesuatu yang berbau seni, karena sulam juga pekerjaan seni, kita tidak bisa mengukur atau di break down misalnya biaya produksi 25 ribu terus harga jualnya tinggal ditambah 30% dari harga produksi tadi sudah cukup. Tidak bisa begitu. Tapi, dengan catatan barangnya bagus ya. Tidak pasaran. Tidak sama dengan barang-barang konveksi. Istilahnya barang kita harus limited edition. Trik berbisnis saya, saya banyak bermain di pasar atas. Kalau saya mau merebut pangsa kelas bawah jelas saya kalah sama yang punya ratusan karyawan, saya terbentur tenaga kerja juga. Saya juga nggak mau barang saya pasaran. Saya ingin menggaji karyawan saya dengan layak juga. Jadi harga jual tidak ada patokannya,” tuturnya.
Sulam pada bungkus kotak tisu

Siska memang tidak sekadar berproduksi, tidak asal menghasilkan barang sebanyak-banyaknya untuk memburu keuntungan yang lebih besar, melainkan dengan mengoptimalkan daya kreasinya. Begitulah cara kerja industri kreatif yang sering didengung-dengungkan belakangan ini. (niken anggraini)

Rabu, 05 Desember 2012

Sahani: Berjuang bersama Petani



Mencari kios Sahani bukan pekerjaan mudah. Kios di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Jongkang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini, letaknya memang agak menjorok ke dalam. Sebuah patung perempuan bercaping dengan keranjang berisi hasil bumi di tangan kanannya, terpajang di halaman. Apa sih sebenarnya Sahani itu? Sejak memasuki halamannya, kita akan merasa bahwa kios ini bukan kios seperti pada umumnya. Pada dinding depan terpajang baliho besar bertuliskan ’’Sahabat Petani Organik’’. Demikian juga ketika masuk ke dalam ruang, informasi mengenai pertanian organik dan kondisi pertanian Indoneisa dapat kita temukan dalam bentuk poster yang terpasang di dinding serta berbagai brosur yang tersusun di meja.

Kios itu diberi nama ’Sahani’ yang berarti sahabat petani. Dengan slogan aman, sehat, adil, Sahani berkiprah di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya dengan menjadi sahabat petani organik memasarkan hasil produksinya. Pertanian organik dipilih Sahani bukan saja karena lebih sehat karena terbebas dari unsur-unsur kimia, melainkan karena adanya nilai besar yang diusung pada saat pendiriannya.

Prihatin

Menurut Imam Hidayat, Manajer Sahani, awalnya Sahani merupakan bagian dari kelompok kerja yang membawahi urusan bisnis Konsorsium Masyarakat Fair Trade yang berdiri di Yogyakarta pada tahun 1991. Kelahiran konsorsium ini sendiri dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas buruknya kondisi petani di Indonesia.

Sebagai tulang punggung pemenuhan kebutuhan pangan pokok, petani tidak pernah menjadi tuan bagi usaha pertaniannya. Segala hal yang berkaitan dengan pertanian telah ditentukan harganya oleh pihak luar, seperti harga benih, harga pupuk, bahkan harga jual produk pertanian. Dengan kondisi demikian, petani tak beda dengan buruh di tanah sendiri.

Sebagai langkah awal keluar dari jerat tersebut, dirintislah usaha pertanian organik di beberapa wilayah seperti Magelang, Muntilan, Boyolali, Klaten, Sragen, dan Kebumen di wilayah Jawa Tengah dan Sleman, DI Yogyakarta. Budi daya pertanian organik dipilih karena dalam keseluruhan proses memperhatikan kearifan lokal dan juga ramah lingkungan.

Lebih dari itu, benih tanaman yang dibudidayakan merupakan tanaman lokal --bukan merupakan hasil rekayasa genetic-- yang pemuliaannya sepenuhnya berada dalam tangan petani. Penekanan pada kemandirian petani ini penting karena selama ini, sejak digulirkannya Revolusi Hijau tahun 1970-an, petani tidak memiliki kedaulatan atas jenis padi yang mereka tanam, pupuk yang mereka gunakan, sampai pada tingkat harga produk yang merka hasilkan.

Lebih Mahal

Sebagai sebuah upaya penghargaan terhadap para petani, Sahani mematok harga produksi pertanian di atas harga rata-rata bahan pangan yang dijual di pasaran. Sebagai contoh beras jenis C4 yang di pasar saat ini dijual dengan harga sekitar Rp5.000,00/kg, oleh Sahani dijual dengan harga Rp7.000,00/kg. Itu merupakan harga beras terendah yang dijual oleh Sahani.

Beras lokal yang merupakan produk andalan Sahani dijual lebih tinggi dari harga tersebut. Misalnya mentik Rp7.500,00/kg, beras merah Rp8.000,00/kg, dan rojolele Rp9.000,00/kg. Tahun ini bahkan mulai diproduksi dan dipasarkan juga beras hitam, sebuah varietas yang hampir punah dengan harga jual di tingkat konsumen Rp15.000,00/kg.

Selain beras, Sahani juga menyediakan berbagai hasil pertanian lain seperti sayuran, berbagai jenis kacang (kacang hijau, kedelai, dsb.) dan produk olahan dari hasil pertanian tersebut seperti kecap, emping garut, pati ganyong, dan lain-lain.

Meski harganya cukup tinggi, sejauh ini Sahani tidak mengalami kesulitan berarti dalam hal pemasaran. Hal itu disebabkan pangan organik memiliki segmen pasar tersendiri. Selain mereka yang berkeinginan untuk meningkatkan kualitas kesehatan, masyarakat yang paham akan ketidakadilan dalam sistem pertanian menjadi segemen utama pemasaran produk-produk pertanian organic tersebut.

Idealisme

Sebagai sebuah lembaga bisnis yang menjunjung tinggi idealisme, Sahani hanya bersedia menjadi mitra bisnis petani yang mengorganisasikan diri. Saat ini setidaknya terdapat 11 kelompok tani di wilayah sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta yang bermitra dengan Sahani. Selain membantu dalam memasarkan hasil pertanian kelompok-kelompok tersebut, Sahani juga berusaha membantu kelompok tersebut dalam hal penguatan kapasitas.

Dalam upaya penguatan kapasita, Sahani biasanya menggandeng lembaga mitranya yang bergelut dengan isu-isu yang dibutuhkan oleh kelompok. Demikian juga ketika sebuah kelompok tani menghadapi masalah berkait dengan ketidakadilan struktural yang mereka hadapi, Sahani akan mencarikan lembaga mitra yang mampu mendampingi kelompok tersebut memperjuangkan keadilan.

Dalam hal memasarkan produk pertanian anggota kelompok, Sahani juga menerapkan sebuah idealisme tersendiri. Bersama kelompok-kelompok tani, Sahani membuat kesepakatan bahwa setiap kali panen, petani harus menyisihkan sepertiga di antaranya sebagai bahan pangan keluarga. Sepertinya lainnya untuk kegiatan sosial di tempat tinggalnya (seperti nyumbang dalam tradisi Jawa), dan sepertiga lagi untuk dijual.

Pada awalnya ini bukan hal yang mudah dilakukan. Banyak petani tergiur untuk menjual semua hasil pertaniannya karena harganya lebih tinggi dari produk pertanian non-organik dan memenuhi kebutuhan pangan mereka dari produk non-organik. Kondisi demikian tentu tidak akan merubah situasi ketertindasan petani. Itulah mengapa Sahani kemudian merasa perlu membuat kesepakatan dengan mereka.

Jaringan Pemasaran

Saat ini jaringan pasar Sahani telah terbangun di empat kota yaitu Yogyakarta, Jakarta, Bogor, dan Surabaya. Meningkatnya kesadaran hidup masyarakat dan berkembangnya gaya hidup kembali ke alam menjadikan minat konsumen akan pangan organik semakin meningkat. Namun demikian, tanpa stabilitas ekonomi yang baik, peningkatan kesadaran tersebut tidak berbanding lurus dengan perluasan dan perkembangan pasar produk organik karena tingginya harga.

Meski di sisi pemasaran cukup stabil, hingga saat ini Imam tetap merasakan kegelisahan berkait dengan kesadaran masyarakat akan kondisi pertanian di negri ini. Menurut dia, sejauh ini konsumen Sahani lebih banyak mengkonsumsi produk-produk pertanian organic karena alasan kesehatan dan bukan alasan pemahaman akan hak-hak petani. Kenyataan ini menjadikan Imam dan teman-temannya di Sahani merasa perlu melakukan upaya lebih keras lagi untuk menyebarluaskan informasi kedaulatan petani ini kepada konsumen, baik melalui selebaran maupun perbincangan langsung dengan mereka. [am]

Batik Trenggalek yang Dulu pernah Berjaya Makin Ludes Digerus Batik Pabrikan



Trenggalek pada masa 70-an sampai 80-an cukup dikenal dengan kerajinan bathik tulisnya. Bahkan ada nyanyiannya yang cukup popular yaitu nyanyian Kutha Trenggalek … kalokeng rat produksi batik Tenggalek , tempene alen-alen tekan manca praja… itu merupakan sepenggal bait nyanyian tersebut yang menyiratkan bahwa batik Trenggalek cukup terkenal sampai lain daerah. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal batiknya daripada kota Trenggaleknya. Wilayah yang menjadi sentra utama kerajinan bathik adalah Kelurahan Sumbergedong dan Surondakan Kecamatan Kota Trenggalek. Di kedua Kelurahan ini, dulu setidaknya sampai tahun 1980-1n ada ratusan perajin batik tulis. Bahkan, karena telah menjadi pusatnya bathik di Trenggalek jalan-jalan atau gang banyak yang dinamai dengan nama motif batik seperti Gg sidomokti, Gg Parang kawung, Gg gringsing, dll.

Ada beberapa nama yang menjadi perajin batik tulis yang cukup besar antara lain Suparni, Sukono, dan Nyoto. Di era 80-an produksinya mereka masing-masing sekitar 300 lembar batik/5 hari.

Dengan mempekerjakan 6 orang karyawan saat itu Suparni masih kewalahan melayani permintaan “ Saat itu karyawan saya 6 orang belumlagi saya sendiri, istri saya serta anak saya yang sudah bisa mengerjakan juga ikut membantu mengerjakan batik,” kenang Suparni.

Kini sentra bathik tersebut tinggal nama saja sejak terjadinya krisis ekonomi Tahun 1998 seluruh perajin Bathik yang ada gulung tikar. Yang tersisa hanyalah nama-nama gang yang menunjukkan bahwa didaerah ini dulunya merupakan pusatnya perajin bathik.

Saat Peduli menelusuri kampung ini rata –rata yang dulunya mereka adalah perajin bathik telah beralih usaha, ada yang buka toko (mracang) memelihara ayam, ada yang bercocok tanam dan lebih banyak lagi yang menjadi pekerja serabutan.

Memang ada 1-2 orang yang masih menekuni bathik namun itu hanya dijadikan kerja sampingan saja. Namun secara umum bathik di kampung ini tinggal nama saja kalau dari segi produksinya memang sudah bisa dikatakan mati.

Beralih ke Tukang Cuci

Salah seorang mantan perajin batik yang cukup terkenal adalah Suparni (68) warga RT I/RwI Kelurahan Sumbergedong Kecamatan Trenggalek. Saat Peduli datang ke kediamannya, pagi itu Suparni sedang melayani pelanggan yang memerlukan jasanya untuk menggiling tepung (selep tepung) sedangkan istrinya Sunarmi (62) tampak sedang memasak, sambil menjaga toko (mracang). Di samping itu ia masih menerima jasa loundry atau pencucian pakaian.

Suparni


Saat menceritakan tentang riwayat batik ia tampak masih bersemangat, apalagi istrinya. ’’Sebetulnya saya sudah menjalani usaha batik sejak tahun 1964 dan kebanyakan di lingkungan sini hampir setiap rumah membatik. Bahkan, sungai depan rumah ini dikenal dengan sungai batik karena siang malam tidak pernah sepi dari aktivitas masyarakat yang memcuci hasil garapan,’’ tuturnya.

’’Saat itu saya sendiri dengan 6 orang karyawan sering kewalahan melayani permintaan pedagang langganan saya, memang setiap 5 hari sekali paling tidak 300 lembar habis terjual dan tidak perlu memasarkan ke pasar karena pembelinya datang sendiri,’’ lanjut Sunarmi.

Masih menurut penuturan Sunarmi dari usaha bathiknya itu ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, untuk biaya sekolah 6 orang anaknya, bahkan masih menyisakan sebagian untuk ditabung.

Namun, ketika terjadi krisis ekonomi yaitu sekitar Tahun ’98 semua pengusaha batik gulung tikar.

’’Matinya usaha batik di sini ya saat ada krisis itu, pembeli tidak ada, bahan-bahan untuk produksi mahal semua, bahkan seperti bahan pewarna (sogo) hilang dari pasaran. Bila pun ada, harganya sudah tidak nucuk (tidak menguntungkan) lagi. Mau gimana lagi kalau dipertahankan yang jelas ngentekne barang sing wis enek, (menghabiskan apa-apa yang sudah tidak ada -Red)’’ ujar Suparni.

Sejak saat itu untuk memperoleh pengasilan sehari-hari para perajin bathik banyak yang beralih profesi, seperti Suparni sendiri karena usianya sudah cukup tua biarpun memiliki beberapa bidang sawah, namun tidak dikerjakan sendiri. Sawah pembelian dari hasil bathik saat masih jaya-jayanya itu dikerjakan oleh orang laindengan cara bagi hasil.

Sedangkan ia sendiri aktivitasnya hanya sebatas membantu istrinya menunggui penggilingan tepung serta pracangannya, disamping itu sedikit-sedikit dari jasa loundry-nya setiap hari selalu ada.

’’Sejak berhenti mbathik ya ini mas kegiatan saya, buka pracangan dan selep tepung sedang jasa cuci ini baru setahun berjalan. Ya biarpun sedikit yang penting ada pemasukan dan daripada nganggur. Untung, anak-anak saya sudah punya usaha sendiri biar pun kecil-kecilan, ada yang usaha servis elektronik, ada yang usara rental komputer,’’ tutur Suparni.

’’Sebetulnya saat ini bathik mulai laku lagi tapi rasanya sudah males mas … wis tuwek (sudah tua, Red) , apa lagi anak-anak tidak ada yang berminat,’’ tutur Sunarmi istri Suparni.

’’Sekarang sebenarnya masih ada yang mbathik setahu saya di Surondakan masih ada satu,yaitu di sebelah barat Terminal Bus dan di Sumbergedong ada yang besar satu dan beberapa orang sebagai buruh saja,’’ lanjutnya.

Bertahan sampai sekarang

Kediaman Nyoto (50) sekitar 50m masuk gang sempit ke arah barat dari terminal Bus Trenggalek. Saat peduli datang kekediamannya tampak Suwarti istri Nyoto sedang istrirahat setelah selesai mencuci bathiknya. Tampak sekitar 10 lembar kain bathik pada jemuran di gang sempit jalan masuk ke rumah Nyoto, kelihatannya baru saja dijemur karena masih terlihat basah dan masih ada tetesan airnya.

Sambil duduk istirahat di teras rumahnya inilah peduli ngobrol tentang usaha yang digelutinya. Menurut penuturannya ia sudah sejak Tahun 1980 menggeluti usaha bathik ini. Usahanya sempat mengalami masa keemasan namun sejak terjadinya gejolak ekonomi yang tidak menentu perlahan-lahan usaha yang ditekuni mengalami surut sampai sekarang.

Walaupun demikian, sang istri, Suwarti (48) sampai saat ini masih setia menekuni pekerjaan mbathik.

’’Mau kerja apa lagi, lha wong ketrampilan saya ya hanya mbatik, biarpun sangat jauh hasilnya bila dibanding saat masih ramai (80-an –Red) tapi sedikit-sedikit masih ada pemasukan,’’ ujarnya.

’’Paling banter dalam seminggu saya bisa menyelesaikan 10 - 12 lembar. Itu pun saya kerjakan sendiri. Sedangkan pemasarannya ya memang lambat tapi ya tetap ada saja yang beli,’’ lanjutnya.

Menurut penuturan Suwarti, motif yang dikerjakan hanya beberapa motif saja yaitu sidomukti, gringsing, semenrama. Padahal, dulu ia bisa mengerjakan hampir 20 jenis motif batik.

Harga jual batik yang dihasilkan Suwarti ini yang biasa Rp55.000 sedangkan yang bagus (alusan) mulai dari bahan dan pengerjaannya Rp75.000 per lembar. Dari harga itu ia hanya memperoleh untung Rp10.000 sampai15.000 per lembar. Itu pun kalau lakunya cepat.

Kendala utama usaha bathik ini menurutnya adalah bahan baku yang sekarang mahal dan semakin banyaknya batik keluaran pabrik.

’’Saat ini kan sudah jarang orang yang sehari-hari menggunakan sewek (jarit) semua beralih ke pakaian modern, jadi ramainya pembeli hanya saat menjelang Hari Raya dan Agustusan saja,’’ tutur Suwarti.

Dilihat dari keluhan tersebut memang pemerintah sebaiknya segera membuat satu kebijakan (terutama pemerintah daerah) yang bisa membangkitkan kembali Bathik yang sempat menjadi ikon kota Trenggalek. [Purwo Santosa]

Elita Sari Anggarini Memulai Bisnisnya dari Pesangon Perusahaan yang Bangkrut



Pastinya tak seorang pun yang berharap perusahaan tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan. Sebab itu artinya seseorang harus bersiap kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber pendapatannya selama ini. Namun justru dari sinilah perempuan 42 tahun ini jadi berani untuk berwirausaha sendiri. Ketika perusahaannya dinyatakan bangkrut dan harus tutup di tahun 2002 silam, perempuan kelahiran 12 Oktober 1970 ini sempat dihinggapi rasa kesal dan kecewa. Bisa dimaklumi, loyal bekerja sebagai seorang sekretaris selama sembilan tahun tentunya perusahaan bangkrut bukanlah hal yang menyenangkan baginya. Selain harus kehilangan pekerjaan, ia juga harus mulai dari nol lagi bila ingin terus berpenghasilan. Jelas ini bukan perkara mudah. Di usia yang sudah matang, mencari pekerjaan baru tentu bukan hal gampang. Banyaknya lulusan baru yang belum berpengalaman sehingga mau digaji murah akan menjadi kendala yang tak terlihat langsung. Jadi, satu-satunya jalan ya berwirausaha sendiri.

”Perusahaan tempat saya bekerja bangkrut dan tutup mendadak. Padahal, saya sudah bekerja 9 tahun. Agak mangkel juga karena saya sudah bekerja sejak tahun 1995. Mau melamar kerja tentunya kompetitornya yang masih muda-muda itu padahal saya sudah umur 30. Akhirnya saya pilih berwirausaha saja. Saya ikuti semua pelatihan yang ada mulai dari mengolah enceng gondok sampai membuat kue kering,” aku Elita.


Dengan bekal uang pesangon sebesar Rp7.500.000 yang ia dapatkan saat itu, akhirnya mulailah alumnus SMAN 2 Surabaya ini berwirausaha. Namun, lantaran belum berjodoh dengan usaha yang digelutinya itu ia pun harus berkali-kali berganti usaha mulai membuat kerajinan dari enceng gondok, jualan daster batik yang diambil dari Jateng hingga menjual aneka kue kering. Tahun 2005, saat uang pesangonnya sudah menipis, barulah ia menemukan jatah rezekinya dengan membuat gift box seperti saat ini.

”Awalnya saya beli buku-buku kerajinan membuat kotak. Terus coba-coba membuat. Waktu itu uang sudah tinggal 50 ribu saja. Saya buat kotak tisu dan kotak-kotak kado yang saya titipkan di toko buku dan minimarket begitu. Jualnya dengan cara konsinyasi. Tetapi, lama-lama cara berjualan seperti ini ada kelemahannya juga. Model kotaknya suka dibajak orang. Padahal, membuat kotak itu yang rumit kan hitung-hitungan ukurannya. Kalau kita sudah membuat kotak dengan desain baru, tiba-tiba aja ada yang membajaknya dan menjualnya dengan harga rendah kita kan jadi rugi juga,” imbuhnya.

Kenyataan ini membuatnya memutar otak mencari strategi penjualan baru. Penjualan secara langsung dengan sistem putus pasti lebih menguntungkannya. Dengan seringnya ia mengikuti pelatihan yang dibuat oleh Dekranas Surabaya, Desperindag, hingga Dinas UKM, Elita jadi mendapatkan banyak masukan tentang bagaimana cara menjual kotak buatannya tersebut. Sasaran yang ditujunya kini adalah rekan-rekannya sesama pelaku UKM. Ia pun berlaku seperti penjahit, siapa yang mau pesan kotak bisa berbelanja sendiri bahannya dan Elita hanya akan menentukan ongkos pembuatan saja.


”Para instruktur banyak memberikan masukan akan pentingnya sebuah kemasan. Karena kemasan bisa menaikan harga jual barang sebab pangsa pasarnya juga berbeda. Oleh karena itu saya bisa fokus di bidang membuat box kemasan ini. Pasar saya ada di sini. Teman-teman UKM mengaku kesulitan kalau mau pesan kotak kemasan karena ada minimal order-nya. Dari sini saya dapatkan celah baru, nggak apa-apa pesan cuma 1 biji aja tetap saya layani, tapi kalau pesan banyak harganya akan lebih murah. Nggak masalah buat saya meski cuma pesan 1 biji, misalnya minta dibuatkan kotak tempat kalung maupun baju batik,itu malah membuat saya senang juga kok, saya jadi nggak bosan dengan model dan warna yang itu-itu aja. Saya bantu teman-teman UKM itu dengan doa, semoga usahanya maju, nanti kalau usahanya maju nanti dia bisa pesan lagi ke saya. Itu kan namanya berbagi rezeki,” katanya seraya tersenyum.

Di rumahnya yang beralamat di jalan Ketabang Ngemplak no 30 Surabaya itu kini Elita dibantu 4 orang saudaranya yang membantunya membuat box kemasan. Ia memberi nama handycraft buatannya itu dengan label Ondomohen. Nama itu ia ambil lantaran Ondomohen adalah nama kawasan tempat ia tinggal tersebut. Harga jual box paling murah seharga Rp 7.000 berupa tempat box aksesoris. Sedangkan kotak paling mahal berupa box peningset lamaran, pesanan dari seorang beretnis China yang per biji harga kotaknya mencapai Rp125.000. Soal modal, Elita mengaku tak mengalami kesulitan. Sebab sebelum seseorang pesan dibuatkan kotak kemasan ia sudah meminta DP sebanyak 50%.

”Insya-Allah soal modal saya nggak mengalami masalah. Soalnya kalau mau pesan itu DPnya 50%. Dengan modal 50% itu saya belikan bahan keperluan pembuatan box. Nanti kalau pesanan sudah jadi yang 50 %nya lagi itu sudah masuk biaya produksi sebanyak 25%nya. Sedangkan 25 % sisanya merupakan profit usaha saya. Sejauh ini saya baru memperkerjakan 3 orang saudara saya saja, soalnya tetangga saya kebanyakan nggak mau, mereka lebih suka menjadi SPG. Mungkin karena membuat box ini harus mengukur itulah yang membuat mereka nggak berminat mengerjakannya,” tuturnya.(niken anggraini)

Selasa, 04 Desember 2012

Usaha Jenang Syabun di Tulungagung

Pasar Bagus, Untung Bagus, Modal Kurang


Kesulitan mengembangkan usaha dialami oleh pasangan Asro’i dan Siti Fathonah, pemilik usaha rumahan jenang syabun di Kabupaten Tulungagung. Bagaimana tidak? Pasar bagus, untungnya juga lumayan. Tapi sayangnya, mereka kesulitan modal.
Diakui oleh Siti Fathonah, selain bulan puasa dan saat-saat sekolah libur, pasar penganan berbahan utama beras ketan, gula, dan kelapa tersebut sangat bagus dan cukup stabil. Sehingga, menurut dia, usaha itu sebetulnya bisa dijadikan sumber penghasilan yang bisa diandalkan.

Pasar terbaik bagi produk jenang syabun adalah saat-saat menjelang lebaran, saat ada pertunjukan di daerah sekitar, atau saat musim hajatan. Di waktu-waktu itu, menurut Fathonah, pemesan atau pembeli jenang syabun sangat banyak.

Untung yang didapat dari jenang syabun juga lumayan. Selama ini, untuk sekali membuat jenang syabun, Fathonah menghabiskan beras ketan sebanyak 10 kg dan 35 kelapa. Dari 10 kg beras ketan itu, jika habis terjual semua, keuntungan yang diperoleh sebanyak Rp 762.500.


Bahan sebanyak 10 kg beras ketan itu, dijelaskan Fathonah, jadi sebanyak 2000 biji jenang syabun. Jenang syabun produk Asro’i dan Fathonah selain dijual sendiri ke konsumen langsung, juga sebagian dititipkan ke toko-toko terdekat. Jenang dijual dalam bentuk kemasan. Tiap kemasan berisi 8 biji jenang dan oleh keluarga itu satu kemasan dijual seharga Rp 4.250. ’’Nanti, di toko, satu kemasnya dijual Rp 4.500 – Rp 5.000,’’ kata Fathonah.

Ibu dari 6 orang anak itu mengaku, dirinya sering kebingungan sendiri saat menghadapi banyak pesanan. ’’Kami bingung bukan apa-apa. Tapi karena tak punya modal untuk memenuhi pesanan-pesanan itu. Soalnya, hasil selama ini, ya untuk makan sehari-hari. Padahal sebetulnya, untuk sekali buat jenang, dengan bahan 10 kg ketan, modalnya nggak banyak. Hanya Rp 300.000. Itu sudah komplit,’’ kata Fathonah yang mengaku menjalankan usaha itu sudah turun-temurun.

Pinjaman Modal

Jenang syabun rasanya manis. Kalau digigit atau dikunyah, layaknya jenang, ia agak a lot. Jenang ini, kata Fathonah, disukai anak-anak. Banyak juga yang membeli untuk oleh-oleh. Di tempat-tempat hajatan dan saat lebaran, jenang ini disuguhkan kepada tamu bersama kue-kue jenis lain.

Ya, pasar jenang syabun termasuk bagus. Buktinya, baru melayani permintaan di sekitar tempat tinggalnya saja, Fathonah dan suaminya sudah kewalahan.

Fathonah mengatakan, kalau ada yang memberikan pinjaman modal, itu sangat bagus. ’’Kalau ada yang meminjami, bagusnya menjelang lebaran. Saat itu, banyak pesanan. Kalau ada modalnya, buat jenang bisa sampai satu kuintal beras ketan dalam sehari. Bener lho, Mas, ini. Tapi itu kalau ada dananya itu tadi,’’ ungkap Fathonah tertawa.


Untuk saat ini, kata dia, boro-boro masak 1 kuintal ketan tiap hari. Bisa bertahan sekali masak 10 kg ketan saja perhari, itu sudah bagus. ’’Habis gimana? Anak yang besar sudah SMA, adiknya SMP, semua butuh biaya, sedang jenang syabun inilah sumber penghasilan kami satu-satunya,’’ ungkap warga Desa Sembung tersebut.

Itulah sebabnya Fathonah merasa kesulitan untuk mengembangkan usahanya itu. Kini, bersama sang suami dan dibantu oleh anak-anaknya, Fathonah hanya bisa berusaha untuk bertahan bagaimana bisa tetap berproduksi seperti biasanya, yakni 10 kg beras ketan sekali masak. [KUS & PUR]


Siti Fathonah, pengusaha jenang syabun


Jenis usaha: pembuatan jenang
Nama produk: Jenang syabun
Pengusaha: Asro’i dan Siti Fathonah
Alamat: Desa/Kecamatan Sembung, Kabupaten Tulungagung
Modal: Rp 300.000 (untuk sekali masak sebanyak 10 kg beras ketan)
Keuntungan: Rp 762.500 (dari beras ketan 10 kg)

Bebas Nyethe di Café Mak Tin



Jupriono (40) sudah 10 tahun menjalankan Café Mak Tin. Usaha itu bukan ia yang merintis, sebab Café Mak Tin sudah dijalankan secara turun-temurun. Jupriono mengelola café tersebut sejak 1997. Munculnya café-café di sekitarnya, yang penampilannya lebih oke, ternyata tidak berpengaruh negatif terhadap pengunjung cafenya. Menurut Jupriono, pengunjung cafenya tetap membludak di tengah semakin banyaknya kompetitor. Satu hal yang menarik di café ini, pengunjungnya mayoritas nyethe. Menurut Kusuma, salah seorang pengunjung setia Café Mak Tni, selain kopinya enak, cethe di café tersebut juga mantap. Cethe adalah ampas kopi. Ampas kopi yang biasa tinggal di dasar gelas kopi itu, diangkat, kemudian diletakkan di atas lepekan, lalu ampas kopi tersebut dioles-oleskan ke kertas batang rokok. Itulah yang disebut nyethe. Jika olesan di batang rokok sudah kering, rokok barulah disulut. Rasanya akan berbeda dari rasa rokok aslinya.

Dan ternyata, potongan-potongan kertas koran yang bertebaran di mana-mana itu ada fungsinya, yaitu berkaitan dengan nyethe itu. ’’Kertas-kertas ini fungsinya untuk mengeringkan cethe di lepek ini, Mas. Kalau cethe-nya terlalu banyak airnya, kan encer. Supaya nggak terlalu encer, potongan kertas ditaruh di atas cethe. Kertas Koran ini kan menyerap air, Mas,’’ kata Kusuma.

’’Tapi di sini tidak jual cethe, Mas. Mereka nyethe-nyethe sendiri. Saya ndak nyuruh, juga ndak nglarang. Di sini saya hanya jual kopi,’’ kata Jupriono.
Namun, tak hanya kopi seduh saja yang dijual. Ia pun menjual kopi bubuk. Kopi bubuk dikemas di dalam plastik. Setiap kemasan berisi 1 kg kopi bubuk. Untuk kopi yang dijualnya itu, Jupriono mengaku Café Mak Tin menggoreng kopi sendiri, bukan beli kopi bubuk dari toko. Ia beli kopi bijian, lalu dibantu oleh 15 orang karyawannya, kopi itu diolah menjadi kopi bubuk dan kopi seduh.

’’Sehari gula putih saja habis 1 sak atau 50 kg. Kopi bisa sampai 70 kg habisnya sehari,’’ kata Jupriono.

Ditanya apakah ada resep khusus untuk kopinya sehingga digemari oleh banyak orang, Jupriono menggeleng dan dengan cepat menjawab, ’’Nggak. Nggak ada resep khusus. Ini murni kopi thok. Kan ada yang dicampuri arak, ada yang dicampuri kacang ijo, jagung, tapi di sini hanya kopi. Hanya di sini nggorenge kuwi lho rahasiane (menggorengnya itu lho rahasianya, red). Kalau yang lain-lain kan ndak dikasih gula. Kalau di sini, kopi digoreng, terus kalau sudah hendak diangkat dari wajannya itu, dipyur-pyuri (ditaburi, red) gula dulu,’’ ungkapnya.

Tentang kenapa para pengunjung betah tinggal di cafenya dan kembali dating di hari lainnya, Jupriono mengaku tidak tahu. ’’Tapi mungkin karena kebebasan di sini, Mas, yang membuat pengunjung betah. Soalnya, pengunjung di sini saya bebaskan saja. Maksudnya, mau di sini seharian, terserah. Mau tertawa, mau ngobrol, juga silakan. Mau duduk, mau tiduran kalau ada tempatnya, ya silakan. Itu, Mas, mungkin. Bagi saya di sini, mereka mau apa, terserah. Yang penting, di sini tidak dipakai mabuk atau ngobat atau yang nggak bener lainnya. Itu saja,’’ pungkas Jupriono yang enggan difoto close up. [KUS & PUR]

Hanya Jual Kopi, Minimal Rp 2 Juta/Hari



Pendapatan café ini termasuk fantastis. Setiap harinya dalam 24 jam, income yang didapat minimal Rp 2 Juta. Padahal, café ini hanya menjual kopi. Tidak ada es, rokok, jajanan, atau jualan lainnya. Cuma kopi thok! Tapi, pengunjungnya selalu berjubel

Seperti Minggu siang (02/12) itu, ketika Peduli berkunjung ke café bernama Café Mak Tin di Jalan Bolorejo, Desa Bolorejo, Kecamatan Kalangbret, Kabupaten Tulungagung itu. Di depan dan samping café, sepeda motor parkir berderet-deret.

Di dalam dan di sebelah luar café, puluhan lelaki berusia remaja hingga tua, asyik duduk-duduk sambil ngobrol, merokok, dan masing-masing menghadapi segelas kopi di atas meja. Bahkan, karena bagian dalam dan sebelah luar bagian depan tak cukup menampung pengunjung, pemilik café terpaksa memasang meja dan kursi untuk pengunjung di bagian luar di belakang café.

Apa yang membuat café ini begitu ramai diserbu pengunjung, bahkan sampai 24 jam setiap harinya?

Kalau dilihat kondisi fisik perlengkapan dan bangunannya, café ini sebetulnya sangat jauh dari layak, apalagi dari kondisi ideal sebuah café atau warung. Lantainya sangat jauh dari mulus. Lantai hanya terbuat dari bata merah yang ditata, tidak ditutup semen. Bata merah itu terlihat dan warnanya sudah sewarna dengan tanah saking lamanya. Hal itu memberikan kesan kumuh yang sangat kentara. Terlebih, di atas lantai itu, juga di atas meja dan kursi, berserakan potongan kertas bekas koran. Sehingga, selain kumuh, lantai terkesan kotor dan tak terawat.

Dindingnya memperparah kesan itu. Dinding memang dicat putih. Tapi, warna putih itu sudah memudar menjadi kelabu. Bahkan, temboknya di sana-sini sudah mengelupas. Ada beberapa poster di dinding, tetapi poster-poster itu tidak mampu melenyapkan kesan lawasnya. Meja dan kursi pun terkesan asal ada. Tidak berseragam baik bentuk, ukuran, desain, maupun warnanya. Bahkan, tak semua meja dan kursi dicat atau dipelitur.


Bangunan café itu sendiri bukanlah bangunan ideal untuk sebuah café. Sebab, bentuk bangunannya adalah bangunan rumah tinggal. Diakui oleh Jupriono (40), pemilik café, bangunan itu mulanya memang rumah tinggal, tetapi kemudian dialihfungsikan menjadi café.

Sebagai rumah tinggal, rumah tinggal itu pun bentuknya bukan rumah tinggal modern, melainkan rumah tinggal kuno. Dan, sebagai rumah tinggal kuno, rumah itu pun bukan rumah kuno yang memiliki kesan antik sehingga menarik.

Jadi, dilihat kondisi fisik perlengkapan dan bangunannya, cafĂ© ini betul-betul tidak memiliki dayatarik dan dayajual. Namun ternyata, seperti dikemukan Jupriono, cafĂ© yang setiap hari buka selama 24 jam itu, pengunjungnya mencapai 300 – 400 orang/hari.

Apa maknanya? Maknanya adalah, untuk sebuah usaha, bangunan yang tidak megah, tidak keren, dan tidak menarik pun mampu membuat sebuah usaha berkembang dan maju pesat. Setidaknya, Jupriono telah membuktikannya. Dari jualan kopi saja, dirinya mendapat pemasukan minimal Rp 2 juta/hari. Hanya jualan kopi! [KUS & PUR]

Jenis usaha: Café
Nama usaha: Café Mak Tin
Produk: Kopi seduh dan kopi bubuk
Pengusaha: Jupriono (40)
Alamat: Jalan Bolorejo, Desa Bolorejo, Kecamatan Kalangbret, Kabupaten Tulungagung
Modal: Rp 2,5 juta – Rp 3 juta.
Pendapatan: Minimal Rp 2 juta/hari

H Subandi:Bekerja sebagai Ibadah



Ibadah haji tak hanya membawa berkah bagi pesertanya. Masyarakat yang mendukung perlengkapan ibadah haji juga kebanjiran untung. Salah satunya adalah H Subandi, pengrajin gelang monel. Sudah sejak tahun 2002 pria asal Tulungagung yang akrab dipanggil Bandi ini mengerjakan gelang monel untuk para peserta haji asal Jatim.

Pada musim haji 2007 lalu, sudah sejak 2 bulan sebelum haji tepatnya pertengahan Oktober 2007 Bandi mempekerjakan 15 karyawan lepas yang hanya dipekerjakan selama 2 bulan dalam kurun waktu Oktober hingga awal Desember 2007. Bandi diwajibkan menyelesaikan gelang haji tersebut sebanyak tak kurang 40.000 gelang sesuai dengan banyaknya peserta haji tahun 2007.

Dalam waktu 8 jam dalam setiap harinya, Bandi dan tim-nya mampu membuat 100 – 300 gelang haji. Keistimewaan gelang haji ini adalah bahannya yang terbuat dari monel sehingga tidak membuat iritasi kulit. Setiap gelang haji juga harus diukir nama masing-masing peserta haji, nomor urut haji, asal embarkasi daerah, nomor urutan kloter, nomor paspor, logo Pancasila, dan tulisan arab asal negara para calon jamaah haji (CJH).

Sehingga untuk meminimalisasi kesalahan, Bandi dan ke-15 karyawannya memutuskan bekerja di area Asrama Haji Sukolilo Surabaya.

’’Kami membawa semua peralatan dan bahan kesini. Kami bekerja mulai jam 07.30 sampai jam 15.00 wib. Masing-masing karyawan membuat gelang antara 5 – 10 gelang setiap harinya,’’ ujarnya.



Bahan monel sendiri, didapatkan Bandi dari Jepara kemudian dibawa ke Tulungagung. Di sana bahan monel tersebut sudah dibentuk menjadi gelang. Nah, di asrama ini gelang-gelang tersebut tinggal diukir nama masing-masing peserta haji.

Karena penulisan nama masing-masing peserta haji, nomor urut haji, asal embarkasi daerah, nomor urutan kloter, nomor paspor, logo Pancasila, dan tulisan arab asal negara para CJH tidak boleh salah dan tidak gampang hilang, tiap karyawan harus benar-benar teliti dalam membuat gelang.

Untuk setiap gelang, Bandi mematok harga Rp 25 ribu. Biaya tersebut sudah dibebankan pada biaya haji masing-masing orang sehingga Bandi tinggal dibayar oleh departemen agama usai seluruh peserta haji resmi diberangkatkan.

Bagaimana Bandi bisa sampai menjadi pembuat gelang haji? Tahun-tahun sebelumnya gelang haji terbuat dari plastik yang diberi nama. Karena harus dipakai selama sebulan, gelang-gelang tersebut akhirnya banyak yang rusak. Dengan rusaknya gelang-gelang tersebut justru menyulitkan peserta haji sendiri saat mereka kesasar atau terjadi musibah saat naik haji. Berdasarkan hal tersebut Pemprov Jatim memutuskan membuat gelang haji berbahan monel. Maka, Bandi pun dipilih untuk membuat gelang monel tersebut karena buatannya bagus dan terjangkau.

’’Sebenarnya tak ada aturan khusus pembuatan identitas haji seperti ini tergantung setiap embarkasi. Ada yang pakai gelang monel seperti yang saya buat, ada juga yang pakai kalung atau tas,’’ terang Bandi yang juga pernah merasakan naik haji pada tahun 2005 lalu.

Namun apa yang dilakukan Bandi ini menurutnya lebih didasarkan pada ibadah. Banyaknya gelang yang harus dibuat, kerumitan dan masa pembuatan yang hanya sekitar 2 bulan tidak sebanding dengan harga gelang. Apalagi usai kegiatan haji tersebut, ke-15 karyawan Bandi kembali melakukan pekerjaan tetapnya masing-masing sementara Bandi kembali menjadi penjual aksesoris monel di Tulungagung.

Namun Bandi menyadari membuat gelang ini sama dengan menuntun CJH agar ibadah hajinya lancar. Berdasarkan hal tersebut Bandi melakukannya dengan ikhlas.

Keuletan, ketelitian dan perasaan sabar harus selalu menyertai beberapa pembuat gelang itu, karena ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan menyangkut keselamatan para CJH. ’’Jadi buatnya memang harus sempurna tanpa salah. Kalau ada salah sedikit saja langsung kita ulang dengan gelang baru. Gelang yang salah tadi langsung kita buang karena kita menggunakan sistim ditatah jadi kalau keliru ya nggak bisa dipakai lagi,’’ terangnya.


Yang menjadi kendala Bandi adalah penulisan pada gelang yang masih manual menggunakan alat tatah listrik. Ia berharap ada alat yang lebih canggih lagi yang bisa mengukir tulisan di gelang dengan lebih cepat sehingga pekerjaan tersebut cepat selesai. Meski begitu Bandi cukup bersyukur mendapatkan pekerjaan ini dan dengan senang hati akan bekerja bila tahun depan dipilih lagi. [DEWI]

Jenis usaha: Pembuat gelang haji
Modal awal: Rp 200 juta
Kiat sukses: bekerja sebagai ibadah

KIAT SUKSES BUKA RESTO

Konsisten dan Pilih yang Tepat


Untuk bertahan di bisnis resto, ada beberapa hal yang harus diperhatikan para calon pengusaha. Beberapa tips sukses mengembangkan resto coba dibagikan Hadi SW, Direktur Thai Ekspress, beberapa waktu lalu. Tips pertama yang harus diperhatikan untuk terjun di bisnis resto adalah memilih menu dari negara yang tepat dan memiliki prospek kedepan.
Misalnya saja, di Asia ini ada banyak negara yang bisa dipilih. Ada Jepang, China, Thailand, Singapura, Korea dan masih banyak lagi. Di Surabaya ini jumlah Chinese resto dan Japanese resto sudah cukup banyak, sehingga bagi pemain baru harus mencari negara lain yang patut untuk diangkat sebagai andalan.

’’Untuk bisnis Asia resto, dalam kurun waktu hingga 2 tahun mendatang, menu-menu Thailand akan sejajar dengan menu-menu negara asia lain seperti Chinese dan Japanese yang saat ini telah mendapatkan tempat di masyarakat,’’ tutur Hadi SW. bias juga makanan tradisional Indonesia yang kini mulai diminati, seperti masakan Jawa Timur, Sunda, Cianjur, Padang, Lombok dan masih banyak lagi.

Setelah memilih negara yang akan dikembangkan, pengusaha harus merancang konsep yang matang. Baik konsep penyajian, desain ruangan hingga konsep menggaet market. Namun Hadi mencontohkan, jika seorang pengusaha sudah memilih Thailand menu sebagai ciri khas, menu-menu dari negara Asia lainnya seperti Chinese menu harus ditiadakan.

Terkadang, ada beberapa pengusaha yang mencoba memadukan Chinese menu atau Indonesian food dengan alasan sebagai menu pilihan untuk masyarakat. Padahal dengan kehadiran menu ini, tak jarang resto yang sebelumnya menampilkan menu khas dari Thailand bisa berubah menjadi Chinese resto atau Indonesian resto, jika peminat lebih banyak memesan menu-menu yang semula dijadikan pilihan.

’’Konsep seperti sedikit membingungkan konsumen. Mereka yang masuk biasanya bingung membedakan anatara menu Thailand, Vietnam dan Korea dengan menu Chinese food yang disajikan. Seharusnya kalau memang ingin menekuni resto seperti ini harus konsisten dan meninggalkan sama sekali menu China,’’ tipsnya.

Jika modal Anda tipis dan hanya ingin memulai langkah kecil dulu, langkah awal Anda bisa menitipkan produk ke toko kue atau kafe. Bisa juga, Anda menerima pesanan dan menjualnya di kalangan terdekat, seperti teman, saudara, atau orang tua murid di sekolah anak-anak Anda.

Bagaimana dengan membuat waralaba? ’’Tergantung Anda, apakah ingin bewiraswasta atau berwirausaha? Bila Anda memiliki konsep kuat, modal cukup, dan SDM memadai, tidak ada salahnya menjadi seorang wiraswasta, memulai semuanya dari nol. Tapi, jika Anda ingin yang praktis, sementara modal dan lokasi sudah ada, maka bisa memilih berwirausaha melalui waralaba,’’ papar Hadi.

Namun, Hadi mengingatkan, waralaba bukan jaminan pasti sukses. ’’Di bidang makanan, Anda tidak bisa hanya membeli waralaba lalu pasif dan tidak terjun langsung ke lapangan. Karena, ini masalah selera dan pelayanan terhadap konsumen. Anda harus tahu betul pasar Anda,’’ tutur Hadi. [dewi]

Kasiadi, Jualan Caping

Laris Manis Saat 17-an dan Musim Panas


Di tengah maraknya produk-produk modern yang hadir di negeri Indonesia, pria bernama singkat Kasiadi (58) ini justru percaya diri dan mantap menjual barang yang sangat sederhana, caping.
Pria asal Lamongan ini sejak tahun 1985 telah berjualan caping di sepanjang jalan Embong Cerme Surabaya. ’’Saya jualan disini (Embong Cerme, red) sejak tahun 85’ dan mungkin sekarang saya satu-satunya penjual caping di Surabaya,’’ kelakar pria murah senyum ini.

Karena jarangnya penjual caping di Surabaya, hingga sekarang Kasiadi justru eksis menggeluti usaha ini. Buktinya, setiap hari Kasiadi mampu mengantongi pendapatan minimal Rp 20 ribu hingga ratusan ribu rupiah.

Padahal prinsip hidup Kasiadi sangat sederhana, ’’Yang penting keluarga saya tidak kelaparan dan bisa makan nasi meskipun Cuma makan nasi dan garam,’’ ungkapnya.

Sebenarnya usaha yang ditekuni Kasiadi berawal dari coba-coba. Kala itu Kasiadi bekerja di sebuah pabrik hingga pada tahun 85’ ia kena PHK. Saat ia menganggur di rumah ia melihat beberapa tetangganya mahir membuat anyaman bambu, diantaranya caping, bakul nasi dan tampah.

Kasiadi pun tertarik untuk menjualkannya dan ia memilih wilayah Surabaya sebagai tempat jualan. ’’Kalau saya pilih daerah Lamongan atau sekitarnya pasti jualan saya nggak laku. Makanya saya pilih daerah Surabaya sebagai tempat jualan karena saya yakin di Surabaya orang jualan barang anyaman seperti ini masih jarang,’’ ungkapnya.

Pertengahan tahun 1985 Kasiadi membulatkan tekad berjualan di Surabaya dan memilih jalan Embong Cerme sebagai tempat jualan. ’’Saya memilih tempat jualan di daerah ini karena tak mau ambil risiko diusir Satpol PP. dan mulai tahun 85’ sampai sekarang saya belum pernah diusir Satpol PP,’’ kenangnya. Namun, pada awal 90-an Kasiadi memutuskan hanya menjual caping. Alasannya, produk yang lain sudah banyak yang berjualan, sementara caping hanya dijumpai di tempat Kasiadi.

Selain itu Kasiadi memilih tempat ini karena berdekatan dengan Pasar Keputran. Para pelanggannya memang banyak dari penjual dan pembeli Pasar keputran. ’’Biasanya yang beli caping saya para bakul di Pasar Keputran atau pembeli yang rata-rata pedagang sayuran keliling yang kulakan di Pasar Keputran,’’ terangnya.

Selain itu, saat tujuh belasan caping Kasiadi laris manis. Yang banyak dibeli adalah caping ukuran kecil seharga Rp 15 ribu. ’’Kalau tujuh belasan caping kecil laris buat karnaval anak-anak sekolah. Sementara caping besar yang harga Rp 20-25 ribu banyak dibeli bakul saat musim panas seperti bulan April – September,’’ terangnya.

Meski peluang bisnis yang lain masih banyak, Kasiadi mengaku tak tertarik berbisnis lain. Menurutnya, kalau berbisnis lain ia tak punya kemampuan. Selain itu baginya berjualan caping sudah mencukupi kehidupannya hingga bisa menyekolahkan anaknya sampai SMU. ’’Lagian kalau saya jualan yang lain, kasihan para tetangga saya yang bikin caping nanti mereka nggak punya pendapatan lagi,’’ pungkas Kasiadi yang mendapatkan untung Rp 5 ribu untuk setiap caping ini. [DEWI]


Jenis usaha: Pedagang caping
Modal awal: Rp 10 ribu
Omzet per bulan: Rp 300 – 500 ribu
Kiat sukses: Tekuni sesuatu dengan sungguh-sungguh, maka hasilnya akan kelihatan

Usaha Meracang di Tengah Himpitan Minimarket [3]

Nur Azizah, Pelaku Bisnis Meracang
Untung Sedikit yang Penting Pelanggan Tak Lari

Usaha meracang telah dilakoni perempuan lulusan Universitas Airlangga jurusan Ekonomi Akuntansi ini. Sejak menikah Nur Azizah memang memfokuskan diri menjadi ibu rumah tangga. Setelah putra-putrinya beranjak besar, ia kemudian memutuskan membuka meracang di depan rumahnya untuk mengisi kesibukan. Zizah –begitu ia akrab dipanggil, menjual aneka kebutuhan pokok rumah tangga. Ada gula, beras, minyak goreng, telur, mie instant, kosmetika, kebutuhan wanita, kebutuhan bayi, rokok, hingga makanan dan minuman ringan.

Memulai usaha pada 2003, Zizah mengeluarkan modal awal sekitar Rp 7 juta. Dana tersebut untuk pembelian rak dan perangkatnya sebesar Rp 2 juta dan pembelian isi dagangan sebesar Rp 5 juta.

Zizah cukup bersyukur tempat tinggalnya cukup jauh dengan pasar tradisional ataupun pusat belanja sehingga penduduk sekitar memang sangat membutuhkan toko meracang sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Karena itu, lanjut Zizah, di lingkungan tempat tinggalnya banyak bertebaran tempat-tempat meracang sehingga kadang-kadang persaingan harga jadi tak sehat.

’’Selisih Rp 50 saja, pelanggan langsung lari ke tempat lain. Makanya, prinsip saya untung sedikit nggak apa-apa yang penting pelanggan tak lari,’’ ungkapnya.

Untuk memantapkan usahanya, Zizah sering bertanya kepada para pelanggannya apa saja yang mereka butuhkan, sehingga Zizah bisa langsung melengkapi dagangannya.

Misalnya saja, saat lingkungannya banyak anak sekolah, Zizah melengkapi kebutuhan untuk anak-anak sekolah seperti buku dan peralatan tulis dan makanan yang disukai anak-anak seperti es krim dan aneka snack.

Untuk kulakan, Zizah juga tak bosan-bosan mencari informasi tempat kulakan yang paling murah untuk mengejar harga dagangan yang kompetitif. Meski untuk itu Zizah harus menempuh jarak yang cukup jauh.

Uniknya, pembeli yang berhutang pun sering ditemuinya. Zizah masih menoleransi beberapa pelanggan yang berhutang. Nyatanya, menurut Zizah mereka akan membayarnya tepat waktu. [KD]


Jenis usaha: Meracang
Modal awal: Rp 7 juta
Omzet per bulan: Rp 3 - 4 juta
Kiat sukses: Untung sedikit yang penting pelanggan tak lari
Metode pemasaran: Selalu melengkapi kebutuhan pelanggan

Usaha Meracang di Tengah Himpitan Minimarket [2]

Kafi Maulana, Pemilik Warung Meracang
Berharap Pemerintah Tertibkan Minimarket

Begitu lulus SMU, pria ini langsung memutuskan membantu orangtuanya melanjutkan bisnis meracang. Telah berpuluh-puluh tahun orangtua Kafi Maulana membangun bisnisnya ini.
’’Saya nggak ingat kapan orangtua buka usaha ini. Tapi, sejak saya lahir orangtua sudah punya usaha ini,’’ jelas pria single yang lahir 1975 ini.

Sebenarnya Kafi sempat ingin bekerja di pabrik atau kerja kantoran, namun melihat orangtuanya sudah cukup tua, Kafi bersama kakak perempuannya memilih meneruskan bisnis keluarganya.

Toko Kafi yang terletak di pinggir jalan Gedangan Sidoarjo, Jawa Timur, cukup besar dan berisi beragam kebutuhan. Mulai kebutuhan pokok seperti gula, beras, minyak goreng, telur dan sebagainya, hingga kebutuhan pendukung lainnya seperti kebutuhan sekolah, kebutuhan memasak, kebutuhan perempuan dan sebagainya. Kafi juga menambahkan penjualan pulsa dan wartel di tokonya ini. Hal ini untuk mengantisipasi sepinya pembeli, setelah banyak orang memilih minimarket yang kini sudah merambah gang-gang kecil di pinggiran kota.

’’Di wilayah saya sudah ada tiga minimarket yang berdiri. Ini sama saja ’membunuh’ usaha kecil seperti saya ini. Padahal, harga mereka jauh lebih mahal. Selisih harganya saja bisa sampai Rp 500,’’ ungkapnya.

Padahal, bila pelanggan belanja di tempatnya dan terlalu mahal mereka langsung protes. Anehnya, lanjut Kafi, mereka menikmati belanja di minimarket meski harganya jauh lebih mahal.

Padahal, bedanya hanya soal tempat saja, minimarket memang menyediakan tempat yang nyaman dan dilengkapi AC.

Kafi berharap, pemerintah memiliki kebijakan untuk menertibkan minimarket-minimarket yang didirikan seenaknya.

Kalau hal ini dibiarkan, ia yakin bisnis meracang seperti yang berpuluh tahun menjadi sumber kehidupannya akan mati pelahan-lahan. Untuk itu segala trik bisnis diterapkannya agar usahanya laris. Termasuk diperbolehkannya pembeli berhutang dalam jumlah tertentu, atau bayar mundur sebulan sekali saat gajian.

’’Ada yang sudah langganan bertahun-tahun, bayarnya kalau suaminya gajian setiap awal bulan. Ya nggak apa-apalah, ketimbang nggak laku. Yang penting modal kembali,’’ terangnya.[KD]


Jenis usaha: Meracang dilengkapi wartel dan penjualan pulsa
Modal awal: Sekitar Rp 200 ribu
Omzet per bulan: Rp 5 - 6 juta
Kiat sukses: Beri kelonggaran cara pembayaran pada pelanggan

Usaha Meracang di Tengah Himpitan Minimarket [1]

Usaha meracang (toko kelontong) sering menjadi alterntif utama usaha sampingan rumah tangga. Selain tak butuh modal besar, usaha meracang bisa dilakukan di rumah, garasi, atau membuat toko kecil di areal rumah. Mau tak mau, meracang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Apalagi bila letak rumah cukup jauh dari pasar atau pertokoan. Meski untung sedikit, usaha meracang menjadi usaha sampingan yang hingga kini dipilih banyak orang.

Meracang biasa ditemui dalam dua jenis, yakni meracang yang menjual kebutuhan pokok basah seperti sayur-mayur dan lauk-pauk, atau meracang yang menjual kebutuhan pokok kering seperti beras, gula, garam, teh, dan sebagainya.

Karena merupakan usaha rumahan, meracang sering dianggap remeh sebagai usaha ’iseng’. Padahal bila ditekuni, meracang bisa jadi sumber pendapatan pokok sehari-hari, dan tak sedikit orang yang menjadi kaya lantaran meracang.

Kesulitan utama bisnis ini –seperti dijelaskan oleh Nur Azizah, seorang pelaku bisnis meracang-- adalah banyaknya pelaku usaha sehingga menimbulkan persaingan bisnis tak sehat.

’’Di desa saya setiap sepuluh rumah hampir bisa dipastikan ada yang berjualan meracang,’’ tegasnya.

Karena banyaknya penjual maka bersaing harga sudah sangat biasa. Meski hanya terpaut Rp 50 saja pembeli bisa lari dan mencari meracang yang paling murah.

’’Kalau berbisnis meracang memang harus mengikuti harga pokok pasar sehingga bisa mematok harga yang paling murah. Meski untung sedikit yang penting pelanggan tak lari,’’ terang perempuan lulusan Universitas Airlangga yang memilih menjadi ibu rumah tangga sekaligus membuka meracang di rumahnya.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh Kafi Maulana. Pria jebolan SMU yang membuka meracangnya di Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, setiap saat mengikuti perkembangan harga.

’’Saya sering kelayapan ke pusat-pusat belanja, mini market sampai ke pasar-pasar tradisional untuk membandingkan harga. Jangan sampai harga yang saya patok lebih mahal dari tempat lain,’’ ungkapnya.

Meski begitu Kafi kecewa juga dengan maraknya minimarket yang merambah tempat-tempat terpencil. Hal ini sangat merugikan bisnis meracang seperti yang ditekuninya dan menimbulkan persaingan tak sehat. Apalagi, lanjut Kafi, minimarket tersebut punya keungulan kelengkapan produk dan tempat yang nyaman.

Meski begitu Kafi bisa menjamin barang dagangannya jauh lebih murah ketimbang yang dijual di minimarket.

’’Selisih harganya besar, bisa sampai Rp 500 per mata dagangan. Jadi, jangan tergoda minimarket karena sebenarnya mereka jelas-jelas mahal,’’ terangnya.

Untuk melariskan usahanya, Kafi mendampingi usaha meracangnya dengan usaha wartel dan penjualan pulsa. [KD]

Senin, 03 Desember 2012

Ngethek 25 Tahun Murtiani Terima Bantuan Gubernur Jatim


Murtiani (53), sudah 25 tahun menekuni pekerjaan sebagai ethek. Ia memulai pekerjaan berjualan sayur-mayur dan kebutuhan dapur secara berkeliling sejak 1987. Mula-mula dia menjanjajakan daganganya dengan cara menggendong dan menyusuri jalan-jalan di kampungnya. Dia mendapatkan dagangan yang hanya sebatas sayur-mayur, di pasar kecil di desanya sendiri, tepatnya di Dusun Sumbersari, Desa Sumberasri, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Dagangan yang hanya satu tenggok itu, kemudian dijajakan keliling dari rumah ke rumah. Dengan bermodalkan uang Rp10.000, ia akan mendapatkan keuntungan duapuluh persen atau sekitar Rp2.500.

Dua tahun kemudian, dari hasil menabungnya dia beli sepeda pancal bekas, dan memulai berdagang naik sepeda dengan ranjang bambunya. Kalau sebelumnya dia belanja hanya di pasar desa dengan barang dagangan yang amat terbatas, dengan sepeda bekas itu, dia berani belanja ke Pasar Penataran yang jaraknya lima kilometer dari desanya.


Subuh dia berangkat, bermodalkan uang Rp50.000 sudah bisa membuat ranjang bambunya yang bertengger kuat di sepedanya, penuh dengan barang dagangan. Dari sayur mayur, buah-buahan juga jajanan matang. Dan pelangganya pun bukan sekedar orang di kampungnya sendiri. Sejak mengayuh sepeda meninggalkan Pasar Penataran, otomatis dia sudah mulai menjajakan dagangannya. Untuk menuju desanya dia harus melintasi dua desa, jadi sepanjang perjalanannya, dia sudah mendapatkan pembeli yang nantinya bisa jadi akan jadi pelanggan tetapnya.

Ibu enam anak ini tak kenal lelah menjalankaan pekerjaannya. Para pelanggan tetapnya sangat tertolong dengan jasanya. Karena itu, dia merasa rugi jika harus berhenti dari pekerjaanya. Dia hanya mengambil libur jika melahirkan saja. Itu pun hanya satu bulan saja. Bahkan, saat hamil tua dia masih semangat dan dengan lincah mengayuh sepeda usangnya. Tak jarang dia membawa serta anaknya yang masih kecil, dimasukkan ke dalam keranjangnya.

Mengapa dia memilih menjadi peng-ethek daripada menekuni pekerjaan lain yang biasa dikerjakan para penduduk desanya yang kebanyakan bekerja sebagai buruh di perkebunan cengkih? ”Jualan begini hasilnya bisa langsung dirasakan. Jika bekerja di perkebunan kan harus nunggu saat gajian baru mendapatkan uang. Selain itu, bakul ethek itu keuntunganya pasti, tak pernah rugi.’’


Menurutnya, pada barang dagangan tertentu, dia bisa meraup keuntungan limapuluh persen, dari harga awalnya. Dan setiap hari bisa dipastikan barang dagangannya laku semuanya. Kalaupun tersisa hanya bumbu-bumbu dapur saja, yang masih bisa dijual pada hari-hari berikutnya.

”Tidak tertarik untuk cari kerja di luar negri?”

”Ah, tidak, sejak dulu aku tidak pernah tergiur jadi TKW, karena aku tidak akan tega meninggalkan anak-anakku,’’ jawabnya diiringi tawa lepas.

Sebagai istri kedua, ia mengaku nafkah yang didapat dari suaminya tidaklah banyak. Suaminya yang seorang petani, harus membagi hasil kerjanya dengan istri pertama dan anak-anaknya. Dari hasil kerjanya jadi peng-ethek inilah Murtiani mampu meringankan beban suaminya, mencukupi kebutuhan anak-anaknya yang berjumlah enam orang.

”Memang, uang yang aku dapatkan tidaklah bisa kugunakan untuk membangun rumah yang besar dan bagus, ataupun menyekolahkan anakkku ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti hasil yang di dapat TKW, namun aku cukup bersyukur karena nyatanya kami masih bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga masih bisa berpakaian yang layak, dan makan yang cukup, tanpa harus meninggalkan keluarga,’’ begitu ia mengungkapkan.

Tahun 2002 anak sulungnya pergi merantau ke Malaysia, dan kini bisa dikatakan sukses, karena selain berhasil membeli beberapa bidang tanah, juga membelikan sepeda motor untuk ibunya ini. Dengan sepeda motor barunya itulah Murtiani saat ini berjualan. Modalnya pun bertambah jadi Rp500.000 per hari, dan daganganya semakin bervariasi.

Dengan ponsel bututnya dia juga menerima pesanan membelikan barang tertentu yang tidak selalu dibawanya setiap hari. Banyak pelangganya yang hendak selamatan atau ada acara kecil- kecilan cukup minta tolong Murtiani membelikan semua perlengkapanya. Dan tentunya akan meraup keuntungan yang lebih banyak dibanding hari biasanya. Bahkan, dia punya pelanggan tetap yang sejak dia berjualan dengan cara menggendong sampai kini tak pernah berpaling ke lain ethek.

Bulik Murtiani memang punya kelebihan lain dibanding ethek lainnya. Selain sikapnya yang ramah dengan suara khasnya yang nyaring, dia tak segan mengutangi kepada orang yang kebetulan tidak punya uang. Selain para ibu rumah tangga, pelanggan tetapnya adalah sebuah warung makan, yang membeli hampir separo barang dagangannya tiap harinya.

Karena ketekunannya, Murtiani menyandang gelar penjual ethek terlama di desanya, dan pada November 2012, dia mendapatkan hadiah dari Gubernur Jawa Timur, berupa satu unit sepeda pancal, satu unit timbangan duduk, satu pick-up barang dagangan yang terdiri dari sayur-mayur, aneka bumbu dapur, dan buah- buahan. Dapat juga uang tambahan modal Rp 200.000. Dan hadiah ini tentunya sangat berarti bagi orang kecil seperti Murtiani. Mengingat satu desa hanya dua orang saja yang mendapatkan hadiah itu, yaitu dia dan salah seorang temannya yang juga sesama peng-ethek. (eka minasih)

Menjajakan Kereta Mainan Mendulang Uang dari Anak-anak

Penjaja mainan anak ternyata bisa meraup untung sampai ratusan ribu rupiah dalam beberapa jam kerja saja. Dalam 10 bulan modal usaha yang dikeluarkan sudah bisa kembali. Waktu luang yang ada bisa dimanfaatkan untuk usaha yang lainnya lagi. Dijumpai Peduli beberapa waktu lalu di sebuah pasar kaget, pria asal Jombang ini tengah sibuk mengoperasikan alat pengendali kereta mainan usai menaikan seorang bocah ke dalam gerbong kereta. Saat Peduli menanyakan berapa harga kereta mainan itu dan bisa dibeli dimana, pria berumur 39 tahun ini langsung menawarkan kereta yang dibawanya itu kepada Peduli.

”Kalau Mbak mau, beli saja kereta milik saya ini. Saya jual 14,5 juta. Komplit Mbak. Sudah dapat rel-nya, ditambah gensetnya sekalian rombongnya juga. Itu murah Mbak. Kalau Mbak mau beli yang baru harus pesan dulu sekitar 3 bulan. Itu belum rel-nya. Gensetnya juga harus beli sekitar Rp 1,5 juta. Bikin rombongnya juga sekitar 2 jutaan. Lebih baik beli punya saya ini saja,” ujar pria berperawakan sedang ini berpromosi kepada Peduli.

Agar Peduli tertarik membeli, pria yang sebelumnya pernah mencoba menjual bubur ayam ini gencar berpromosi lagi.

”Usaha seperti ini enak dan mudah. Sekali naik anak-anak diminta membayar 3 ribu. Kereta berkeliling paling lama 5 menit. 1 gerbong kereta mainan bisa dinaiki 2 anak. Kalau ada 4 gerbong sekali berputar bisa menampung 8 anak. Dalam 5 menit saja kita sudah bisa dapat uang 24 ribu. Saya ini paling apes dapat uang 50 ribu dalam sehari. Ini saja baru sekitar jam 5 sore tadi saya buka, sekarang saya sudah dapat uang Rp 117.000. Padahal ini baru jam 7 malam. Kalau saya buka sampai jam 10 malam nanti, saya bisa dapat uang lebih banyak lagi,” ujarnya seraya menunjukan uang yang sudah ia dapatkan untuk meyakinkan agar Peduli mau membeli kereta mainannya itu.

Saat Peduli memancing dengan pertanyaan berapa lama modal yang sudah dikeluarkan tadi bisa kembali, pria yang kos di daerah Brebek-Waru, Sidoarjo ini langsung mengatakan akan kembali sekitar 10 bulan.

”Kalau Mbak setiap hari keluar itu bisa kembali dalam 10 bulan. Anggap saja sedang apes dan lagi sepi orang terus cuma dapat uang 50 ribu dalam sehari ya, kalau dikalikan 30 hari itu sudah ketemu 1,5 juta. Kalau 1,5 juta dikali sepuluh bulan sudah ketemu 15 juta. Modal sudah kembali bukan? Tapi itu kalau lagi apes. Kalau lagi rame bisa lebih cepat lagi balik modalnya. Saya saja seminggu lalu buka dari jam 5 sore terus saya tutup jam 11 malam dapat uangnya 450 ribu mbak,”lanjut Budi.

Ia pun lantas memberikan tips bagaimana supaya bisa dapat uang banyak seperti dirinya kala itu.

”Sering-sering denger kabar dari orang mbak. Kalau ada acara orang hajatan nikahan yang ada hiburan dangdutan atau semacamnya ikutan aja. Buka di tempat itu. Bisa juga ikutan teman-teman perkumpulan pasar kaget seperti saya ini. Anggota pasar kaget saya ini ada 25 orang, kami biasanya pindah-pindah jualannya. Seperti hari ini di daerah sini. Besok kami geser dikit ke arah utara, terus lusa ke daerah mana lagi. Pokoknya kami berkoordinasi satu sama lain. Jadi bisa pindah-pindah lokasi. Kelompok saya ini jualannya dari bundaaran Waru ini sampai RSUD Sidoarjo sana,”katanya.

Kesukaan Anak-anak

Ia menambahkan tidak perlu khawatir jika tidak ingin bergabung dengan komunitas pasar kaget yang harus berpindah tempat dan terkadang sampai jauh, sebab usaha ini bisa dibuka di tempat yang mana bisa dibuka sendirian saja.

”Nggak usah takut nggak laku. Pasti lakunya. Pokoknya di mana banyak anak-anak pasti ada yang naik mainan ini. Sekarang ini banyak orang tua yang rela nggak beli pakaian untuk dirinya sendiri asalkan anaknya bisa seneng-seneng. Nah, mainan kereta ini kesukaan anak-anak. Cari lokasi yang ramai anak-anak. Bisa diperkampungan. Bisa juga di perumahan. Kalau perlu minta izin sama orang RW-nya. Nanti ngasih sedikit sumbangan untuk uang kas RW. Kalau saya sama teman-teman pasar kaget ini biasanya urunan 2 ribuan, terus uangnya kita kumpulkan untuk dikasih ke kas RW. Kadang nggak minta izin juga nggak apa-apa kok. Jangan takut kalau soal lokasi. Saya punya lokas-lokasi yang strategis. Kalau mbak jadi beli saya kasih tahu sama mbak semuanya. Biar mbak bisa menjajakannya di sana,” terang Budi panjang lebar.

Tak hanya itu, Budi pun semakin gigih memberi tahu enaknya memiliki usaha semacam ini kepada Peduli lagi.

”Kalau mbak belum pernah berdagang, saran saya sih jangan berdagang pakaian atau sejenisnya gitu. Soalnya takutnya mbak nggak kuat mental. Kebanyakan orang kalau mau beli barang kan suka tawar menawar. Nah, kalau pedagang pemula itu suka malu gitu menawarkan barang dagangannya sendiri. Belum lagi merasa sakit hati kalau barang dagangannya di tawar orang. Kalau nggak kuat mental bisa-bisa gulung tikar dalam waktu singkat karena perputaran barangnya lumayan lama. Makanya enakan menjajakan mainan untuk anak seperti ini. Kita tidak perlu tawar menawar lagi. Tinggal dikasih tahu aja sekali naik bayar 3 ribu rupiah, nanti mereka langsung memutuskan mau naik kereta apa nggak. Tapi kebanyakan mau naik. Karena orang tua suka nggak tega kalau anaknya sudah minta naik begitu,” imbuhnya.

Biaya Operasionalnya Kecil

Keunggulan lainnya menurut Budi adalah investasi barang tetap dan pengeluaran untuk operasional lumayan kecil. Sehingga pendapatan yang diperoleh banyak.

”Kalau orang jualan pakaian itu, uang yang didapatkan itu harus segera diputer, dibelikan barang agar bisa berjualan kembali. Kalau nggak begitu ya nggak bisa dagang lagi. Padahal untuk berjualan kan banyak yang dibutuhkan selain kulakan barang, kita perlu transport untuk beli barang dan berjualan keliling. Dengan begitu keuntungan yang didapat jadi sedikit setelah dikurangi yang tadi itu. Beda dengan usaha kayak gini ini. Saya paling hanya mengeluarkan sekitar 3 liter bensin untuk operasional mainan ini. Itu pun cuma dari jam 5 sore hingga 10 malam saja. Punya usaha kayak gini ini bisa dijadikan investasi mbak,”lanjutnya.

Keuntungan lainnya menurut Budi ia bisa punya banyak waktu luang yang ia pakai untuk usaha lainnya.

”Saya kalau pagi hari bisa tiduran lebih lama. Kadang saya juga pakai waktu di pagi hari itu untuk dagang bersama teman-teman saya yang lainnya. Jadi bisa punya banyak usaha selain menjajakan mainan anak-anak ini,”ucapnya lagi.

Selain dari berkeliling menjajakan main kereta dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan uang, menurut Budi, ia juga bisa menempuh dengan cara lain lainnya, yakni menyewakan alat ini pada acara ulang tahun anak.

”Saya juga menyewakan mainan ini di acara ulang tahun anak-anak kok. Bisa tawar menawar sama yang punya acara dulu. Mau berapa jam menyewa mainan saya ini. Tempo hari saya sewakan 200 ribu untuk acara sekitar 3 jam. Setelah dari acara itu saya pindah ke tempat lain untuk buka lagi,”tambahnya.

Jika seseorang merasa malu ataupun tak mau repot mengoperasikan sendiri usahanya ini, orang itu bisa mencari orang lain yang bisa dipercayainya untuk menjalankan usahanya ini.

”Cari saja saudara atau siapa yang bisa dipercaya gitu. Saya ini kan juga begitu. Sebenarnya yang punya kereta mainan ini teman saya. Dia minta tolong saya menjalankannya. Kami bagi hasil 50%-50% tiap hari. Saya langsung ngasih uang yang saya peroleh hari ini ke teman saya itu. Hasil uang hari ini dibagi dua. Dan teman saya itu sudah pesan ke saya, kalau ada yang mau membeli kereta mainan ini silakan saja. Ya dengan harga yang saya katakan tadi. Jadi hubungi saja saya kalau mbak mau beli kereta mainan ini,”tuturnya seraya memberikan nomor hpnya ke Peduli. [niken anggraini]

Berusaha Mandiri setelah Tempat Kerja Bangkrut

Tak hanya bisnis dibidang kuliner saja yang tak pernah sepi dari pelanggan. Pekerjaan sebagai penjahit pun agaknya sama seperti bisnis kuliner. Selalu dibutuhkan orang dan bisa menambah pundi-pundi tabungan.

Perempuan kelahiran 13 Maret 1978 ini sedang sibuk menjahit saat dikunjungi Peduli di tokonya yang berada di jalan Kenongosari no 21 itu. Di toko yang dibangun di halaman depan rumahnya itulah ia membuka usaha terima jahitan disamping wartel, isi ulang pulsa, terima laundry, perlengkapan tulis menulis dan segala macamnya.


Anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Muslikan dan Asmi ini berkisah awal ia memutuskan untuk membuka usaha menerima jahitan seperti sekarang ini dilakukannya setelah butik tempat kerja sebelumnya bangkrut dan ditutup tahun 2008 lalu. Sejak kuliah di jurusan tata busana di Universitas Adi Buana Surabaya pada tahun 1999, Ana memang sudah bekerja di butik yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Pagi hingga sore ia bekerja di butik dan sekitar jam 5 sore ia berangkat kuliah hingga malam hari. Pekerjaannya di butik itu justru sebagai karyawan penjaga butik atau SPG, bukan sebagai desainer.

”Butiknya cuma jual pakaian jadi yang sudah dikirim dari Jakarta dan Bandung. Jadi tidak butuh desainer ataupun penjahit lagi,” ungkap Ana.

Untuk menambah biaya kuliahnya, ia pun tak segan-segan berdagang juga. Rumahnya yang kebetulan berada di pinggir jalan oleh orang tuanya dihalaman depannya dibangun sebuah bangunan toko di tahun 2000 sebagai tempat usaha.

”Waktu itu saya meminjam uang di koperasi simpan-pinjam yang ada di kantor desa sebesar 5 juta untuk usaha. Uang itu saya belanjakan untuk membeli perlengkapan bayi seperti selendang gendongan, popok, baju, selimut bayi, celana bayi begitu. Kebetulan di seberang toko kan ada klinik bersalin, jadi kalau jualan perlengkapan bayi lumayanlah. Banyak yang beli. Selain itu juga jual aneka kebutuhan anak sekolah seperti kaos kaki, pulpen, kertas folio, amplop, penghapus dan macem-macemnya. Bukanya pagi sebelum saya berangkat kerja di butik. Kalau saya ke butik tokonya saya tutup. Kalau saya lagi tidak ada kuliah seperti Sabtu dan Minggu tokonya saya buka setelah magrib sampai jam sepuluh malam,”papar Ana.

Rupanya Ana juga punya ketrampilan menjahit sejak SMA. Ibunya, nyonya Asmi dulunya juga seorang penjahit, maka Ana pun diminta untuk ikut kursus menjahit ketika ia masih sekolah Aliyah (setingkat SMA untuk sekolah Islam) dulu.

”Tapi juga nggak begitu niat. Gurunya keliatannya nggak begitu bersemangat kalau mengajar. Jadi saya juga setengah hati kalau belajar. Saya malah banyak belajar dari tetangga saya yang seorang penjahit. Ibu saya memang penjahit, tapi yang di jahit baju kebaya zaman dulu yang modelnya pakai kutubaru itu. Jadi bukan penjahit moderen. Makanya saya belajarnya justru dari tetangga saya,” ungkap Ana.

Tanpa Pesangon

Lulus Aliyah ia sempat menjadi guru privat mengaji selama setahun. Ketika ibunya memintanya untuk melanjutkan kuliah di bidang agama, Ana menolaknya. Alasannya ia memang tidak begitu tertarik untuk mencari ilmu di bidang agama untuk saat itu. Ia akhirnya mengatakan kalau akan memperdalam dunia tata busana dan ingin menjadi guru di bidang tata busana. Maka ia pun memutuskan untuk kuliah di kampus Adi Buana jurusan tata busana. Sembari bekerja dan kuliah, ia pun mulai menerima jahitan di tokonya tersebut.

Sayangnya, setelah lulus kuliah dan hendak mengikuti ujian masuk pegawai negeri di daerah Situbondo, sang pemilik butik memintanya untuk terus membantunya. Karena tidak tega akhirnya Ana pun membatalkan rencana ikut ujian masuk pegawai negeri tersebut.

”Yang punya butik istri polisi. Jadi jarang ada di butik. Saya diminta mengurusnya,” imbuh Ana.

Seiring berjalannya waktu butik tempat Ana tak sanggup bersaing dan akhirnya terpaksa harus tutup. Ana yang waktu itu dipercaya sebagai pekerja sempat dipercaya oleh sang pemilik untuk mengurus penjualan aset-aset butik untuk dijual supaya bisa kembali dalam bentuk uang.

”Baju-baju yang tersisa di butik saya jual sampai laku seharga 14 juta. Sayangnya setelah uang saya berikan dan butik tutup saya tidak diberi pesangon sedikit pun. Entah kenapa sampai begitu,” kata Ana menjelaskan.

Lantaran tak ada komunikasi lagi dengan sang pemilik butik maka Ana pun akhirnya memutuskan untuk mandiri dan konsen mengurus tokonya tadi .

”Saya pinjam uang lagi ke koperasi simpan pinjam desa untuk usaha. Uangnya saya puter sebagi modal untuk beli segala macem isi toko. Kebetulan juga ada tetangga yang mau menjual 2 KBU wartelnya. Saya beli dan saya pasang di sini juga,”sambungnya.

Tanpa Papan Nama

Meski di tokonya tidak tertulis papan namanya sebagai penjahit namun Ana mengaku tak pernah sepi jahitan. Jika para penjahit umumnya mengaku panen jahitan saat menjelang lebaran ataupun saat musim pernikahan, Ana justru mengaku setiap hari menerima jahitan.

”Para pelanggan butik tempat saya bekerja dulu, begitu tahu kalau saya bisa menjahit akhirnya malah lari ke sini untuk menjahitkan baju. Alhamdulillah setiap hari ada sekitar 3 buah jahitan yang datang. Padahal saya satu hari cuma bisa menyelesaikan 1 buah baju saja, yang saya kerjakan kan tidak hanya menjahit kadang juga terima pesanan merangkai hantaran peningset juga. Jadi untuk menyelesaikan dengan cepat jahitan yang datang agak susah juga. Misalnya lagi konsen memotong atau menjahit tiba-tiba ada yang datang beli pulsa, beli alat tulis, beli jajan ataupun pakai wartel begitu, makanya menyelesaikan jahitannya agak susah juga,” jelas Ana.

Agar pelanggan jahitannya puas Ana pun mengaku mengerjakan sendiri semuanya. Ia memilih tidak menggunakan jasa karyawan. Ia mengerjakan sendiri bahkan hingga mengesum jahitan pun dikerjakannya tanpa menyuruh orang lain.

”Bukannya apa-apa sih, tapi saya memang inginnya begitu. Belajar dari pengalaman teman yang juga seorang penjahit. Dia memperkerjakan karyawan untuk mengesum jahitan, setelah jadi dan diberikan ke pelanggan ternyata ada komplain dari pelanggan, entah kurang apanya. Teman saya jadi membongkarnya dan mengesumnya sendiri. Itu kan jadi 2 kali kerja namanya. Kalau mau menyuruh lagi takut karyawannya tersinggung. Jadi nggak enak sendiri. Makanya saya mengerjakan semuanya sendiri. Biar pelanggan puas,” akunya.

Untuk ongkos jahit, Ana mengaku bervariasi. Tergantung tingkat kesulitan juga. Untuk baju seragam anak sekolah untuk satu stel-nya Ana mematok harga Rp65.000. Untuk kain batik yang dibentuk sewek bawahan saat berkebaya dengan model sederhana ongkos jahitnya Rp35.000. Sedangkan untuk kebaya dengan furing model sederhana tanpa payet ongkosnya sekitar Rp70.000. Dan untuk baju model gaun pesta harga ongkos jahitnya bisa mencapai Rp100.000 lebih.

”Alhamdulillah rezeki ada saja. Jahitan selalu datang terus. Kadang meski jahitan yang sebelumnya belum selesai, ada aja pelanggan yang sudah datang membawa bahan baru untuk dijahitkan lagi. Padahal yang kemarin saja belum selesai kok sudah ditambahi lagi. Tapi ya diterima aja, disyukuri karena ada rezeki yang datang,” katanya menutup perbincangan. [niken anggraini]

Mendirikan Perusahaan Busana Muslim Bermodal Rp 1 Juta dan Sebuah Mesin Jahit

Tekad yang kuat untuk bisa menjadi pengusaha muslimahlah yang pada akhirnya membuat Yuniar Djafar bisa menjadi pengusaha aneka perlengkapan muslimah yang sebenarnya malah bertolak belakang dengan pendidikannya dulu.

Ditemui Peduli di tokonya Eline yang berada di ITC Mega Grosir Lantai UG Blok G 7, yang berada di jalan Gembong Surabaya bulan November silam, perempuan lulusan D 3 Jurusan Pemasaran UNAIR ini tampak dengan ramah menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan Peduli padanya. Ia mengaku ihwal mula ia akhirnya bisa mendirikan usaha busana muslim ini diawali dengan membuat busana muslim anak untuk TK, TPA /TPQ di tahun 2000.

’’Di tahun itu saya bersama beberapa teman pengajian saya berpikir untuk mendirikan sebuah usaha. Setelah berpikir mau usaha apaan, akhirnya kami putuskan untuk membuat busana anak saja. Karena waktu itu busana anak merek Danis sedang ramai-ramainya,’’ kisahnya.

Ia bersama dua orang rekannya sesama pengajian Anik dan Ni Nyoman Astuti nekat mendirikan sebuah usaha konveksi dengan bermodalkan uang seadanya. Busana anak yang mereka hasilkan itu mereka beri label Etima. Mulailah ketiga wanita ini memproduksi baju di rumah Yuniar di jalan Libra Surabaya dengan perlatan yang seadanya.

’’Etima itu kami ambil sebagai singkatan dari etika mulia. Maksudnya akhlakul karimah begitulah. Waktu itu modalnya bisa dibilang modal dengkul. Peralatan yang kami punya cuma satu mesin jahit dan mesin obras yang nganggur karena kebetulan kami punyai di rumah,’’ terangnya.

Dengan modal yang kala itu tak sampai 1 juta mereka membuat beberapa baju. Busana-busana itu kemudian mereka tawarkan pada beberapa teman-teman mereka. Selain itu busana anak tadi juga mereka tawarkan untuk masuk ke salah satu pemilik butik muslim di Surabaya. Secara tidak sengaja anak si pemilik butik kala itu masuk TK Islam. Atas anjuran si pemilik butik tadi Yuniar disarankan untuk mengajukan proprosal ke sekolah tersebut agar pembuatan seragamnya di pesankan pada konveksinya.

’’Alhamdulillah dapat pesanan 50 baju. Dari DP yang mereka berikan itulah kami beli bahan. Pokoknya begitu terus, kami rajin cari oderan, kami mintai DP untuk beli bahan. Kalau uang dari DP tadi kurang, kami cari pinjaman dulu dari keluarga kami. Setelah baju-baju tadi di bayar penuh nanti kami kembalikan pinjamannya tadi,’’ jelas Yuniar.

Seiring berjalannya waktu, sekitar tahun 2006, Yuniar menerima pesanan jilbab bergo (jilbab instant) berbahan kaos dari salah satu pelanggannya. Meski awalnya tidak tertarik menerima pesanan itu toh akhirnya ia coba juga.

’’Bahan kaos itu beda dengan kain. Kami belinya harus kiloan. Dan setiap kilo nggak bisa dipastikan cukup atau tidak untuk satu desain. Makanya saya agak setengah hati. Tapi akhirnya saya buatkan juga. Ternyata kok bagus. Akhirnya saya ganti bahan kaos yang polos tadi dari yang kaos bermotif misty agar memberi kesan yang berbeda. Dan ternyata bagus juga,’’ imbuhnya.

Sejak saat itu pesanan pun mulai mengalir. Sebagai patokannya adalah jilbab merek Rabbani yang sebelumnya sudah menjadi pioneer di jilbab bergo berbahan kaos. Jilbab –jilbab merek Rabbani yang ia liat itu kemudian ia modifikasi hingga lahirlah model baru untuk mereknya. Selain jilbab, Yuniar bersama dua rekannya juga membuat mukena untuk anak.

’’Saya membuat mukena itu dari ukuran S sampai XL. Mulai dari anak-anak sampai untuk dewasa gitu. Kan biasanya setiap anak inginnya punya mukena yang kembaran dengan punya ibunya. Karena itulah sizenya jadi bermacam-macam begitu,’’ tutur Yuniar.

Kini usaha yang dirintis Yuniar bersama 2 rekannya hampir sepuluh tahun ini sudah mengeluarkan empat merek untuk membedakan produk-produk desainnya. Untuk jilbab ia memberinya label Estyle. Sedangkan untuk untuk busana wanita remaja dibawah 25 tahun diberinya label Noume. Sementara itu untuk busana anak-anak label yang ia gunakan adalah Wui! Dan untuk aneka perlengkapan ibadah haji mereka memberinya merek Shiba yang memiliki arti kerinduan.

Dengan karyawan berjumlah sekitar 10 orang kini usahanya ini menghasilkan produk mulai jilbab hingga perlengkapan haji setiap bulannya mencapai 750 buah produk. Dari setiap produknya itu ia pun memasang harga yang bervariasi, untuk jilbab paing murah 50 ribu. Untuk baju anak sekitar 45 ribu. Mukena dewasa sekitar 125 ribu. Sedangkan untuk baju gamis dewasa paling murah 90 ribu. Pelan tapi pasti kini Yuniar pun sudah memiliki 2 agen yang berada di luar pulau, yakni di Bontang dan Burneo.

Meski kini usaha yang dimilikinya sudah mulai berkembang namun Yuniar mengaku bahwa kebisaannya dalam mengembangkan usahanya ini bukan lantaran ia bias menjahit atau pun memiliki latar belakang desain.

“Saya itu dulunya cuma modal nekat saja. Saya tahu banyak soal desain ya karena kebetulan saja saya menyukainya dan tahu sedikit. Saya sendiri tidak punya latar belakang sekolah desain. Pokoknya belajar aja dari kedaan,” akunya.

Ketika disinggung awalnya apa yang membuatnya begitu keukeuh mendirikan usaha kala itu, diakui Yuniar hal tersebut dikarenakan alasan untuk berdakwah semata.

’’Dulu saya kan aktif sebagai pengurus pengajian di salah satu masjid begitu. Saya ingat banget, kalau ada kegiatan aja nyari dana buat kegiatan itu susahnya minta ampun. Makanya saya berpikir untuk mendirikan usaha sendiri aja biar nantinya kalau ada kegiatan seperti itu saya bias turut mendanai dari usaha saya itu. Ya, untuk dakwalah,’’ katanya menutup perbincangan. (niken anggraini)



Nama Usaha: Konveksi
Nama Pemilik : Yuniar Djafar, Anik S dan Ni Nyoman Astuti
Modal Awal: Rp 1 juta
Alamat :Jl.Libra 37 Surabaya 60133