Minggu, 20 September 2009

Lebaran

Dalam pergaulan sehari-hari, orang Jawa memakai istilah atau kata ’lebar’ untuk dua pengertian. Yang pertama adalah: sia-sia, tidak termanfaatkan, misalnya dalam kalimat seperti ini, ’’Kapur kuwi saiki larang regane, mula aja dilebari,’’ [Kapur itu sekarang mahal harganya, maka jangan disia-siakan]. Pengertian kedua adalah ’usai’ atau ’setelah’ seperti dalam kalimat ini, ’’Becike sesuk awake dhewe ketemu lebar magrib wae,’’ [Sebaiknya esok kita bertemu setelah magrib saja.’’] Nah, pengertian yang manakah yang terkandung di dalam istilah ’lebaran’ yang biasa kita pakai sebagai padanan untuk: Ber-Hari Raya Idul Fitri?

Idul Fitri adalah ibarat sebuah ’hasil’. Adalah hasil dari sebuah proses [selama sebulan, yakni bulan Puasa]. Umat Islam yang berpuasa di bulan Ramadan [biasa jga disebut bulan Puasa] adalah mereka yang menjalani proses. Menjalankan ibadah. Dan sebagai ungkapan rasa syukur karena telah sukses menjalankan proses selama sebulan penuh itu tanpa rintangan yang berarti, bersuka-citalah mereka. Maka, biasanya kita mendapati wajah-wajah ceria, tubuh-tubuh terbalut baju baru, pada hari Lebaran. Setelah melakukan salat Idul Fitri di pagi hari, umat Islam di Indonesia biasanya lalu melakukan tradisi kunjung-mengunjungi, bersalam-salaman, saling memaafkan. Berbagai jajanan pun dihidangkan. Bahkan, di kampung-kampung, para kepala desa, tokoh masyarakat, tak jarang menyediakan makan nasi untuk setiap tamunya. Untuk lauknya, kambing atau bahkan sapi pun disembelih.

Tak jarang pula, orang menyalakan kembang api, dan bahkan petasan untuk menandai hari ’kemenangan’ [setelah sebulan penuh merasa menang melawan hawa nafsu]. Padahal, hampir setiap tahun, di Indonesia, jatuh korban akibat petasan terpaksa meledak di tempat dan waktu yang salah. Nah, dalam konteks inilah, dalam hal membuang-buang uang secara percuma, hanya untuk rasa bangga yang kadang tidak sepenuhnya benar, dan bahkan untuk mencelakai diri sendiri dan orang lain, ’lebaran’ pun pada akhirnya jatuh ke dalam makna: ’kesia-siaan.’

Nah, pada akhirnya, marilah kita bangun hidup yang benar-benar bermakna positif, antara lain dengan mengindari kesia-siaan. Kita boleh pinjam ilmu pebisnis: jangan sampai merugi, jangan hanya sekadar break event point [kembali modal]. Kita ingin menjadi orang-orang yang beruntung.[]

0 komentar: