Jumat, 18 September 2009

Pisang Kawak yang Biasa Disepelekan

Datangkan Untung Rp 5 Juta/Bulan

Tak banyak orang suka pisang kawak. Di pedesaan, produksi melimpah, dan harganya pun sangat murah. Hanya tangan-tangan kreatiflah yang mampu mengangkat derajat pisang kawak itu!


Di pedesaan di Jawa Timur, orang menyebut pisang yang satu ini dengan istilah pisang kawak. Ia sering berada di urutan terbawah di antara jenis pisang lainnya yang disukai orang. Padahal, jika sudah matang benar rasanya sangat manis dan harum. Yang membuat pisang kawak sering diindari adalah karena klentheng (biji)-nya yang banyak. Tetapi, di tangan orang kreatif seperti Kabiranto (43) dan istrinya, Maryatin (38), soal per-klentheng-an itu mudah diatasi.

Dilihat sekilas tidak jauh beda dengan kripik pisang yang ada di pasaran, namun sebenarnya kripik pisang kawak lebih manis dan lebih renyah.

Menurut Kabiranto, membuat kripik pisang alami tidaklah terlalu sulit. Bahan bakunya haruslah betul-betul pisang yang sudah masak, namun masih terasa keras alias belum terlalu matang. Setelah digoreng, renyah dan manisnya begitu terasa.

Terciptannya kripik pisang ini berawal dari keinginan pasangan Kabiranto (43) dan Misyatin (38) warga Desa Panggul, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, untuk meningkatkan nilai jual pisang kawak, sekaligus memanfaatkan potensi pisang kawak yang melimpah di daerahnya.

Mulanya ia coba-coba membuat kripik dari dua tandan pisang kawak yang hampir masak. Dua tandan tersebut menghasilkan kripik sebannyak 40 bungkus. Kemudian ia tawarkan pada tetangga kiri-kanan dengan harga Rp 500 per bungkusnya. Ternyata banyak yang berminat. Mengetahui peminatnya banyak, Kabiranto tidak mau menyia nyiakan peluang dan kesempatan ini.

Masuk Pasar

Bersama istrinya ia meningkatkan jumlah produksinya, menjualnya tidak hanya ke para tetangga dekatnya. Ia juga mulai berani memasuki pasar. Ternyata, sambutan dari para pedagang di pasar pun tidak mengecewakan

Selang beberapa lama pesanan dari pedagang pasar pun berdatangan. Tekad Kabiranto pun semakin bulat. Untuk memenuhi permintaan pasar direkrutlah tenaga produksi sebanyak 2 orang, dengan imbalan jasa per hari.

Merasa produksinnya telah dapat di terima oleh masyarakat konsumen, Kabiranto berusaha mengurus izin usahannya ke Departemen Kesehatan.

’’Ijin ini sudah saya dapatkan pada awal tahun 2004. Dengan izin ini berarti kripik pisang yang saya produksi sudah memenuhi standar mutu/kualitasnya, jadi tidak usah diragukan lagi,’’ ujarnya.

Surabaya dan Malang

Lalu, untuk meningkatkan produksi, tenaganya pun ditambah 1 orang lagi. Seangkan untuk memperluas jangkauan pemasarannya, Kabiranto menggandeng saudarannya yang di Surabaya.

Awal tahun 2004 produk kripik pisang merek RIZKI mulai merambah Surabaya. Dari bulan ke bulan, permintaan kiriman selalu mengalami peningkatan hingga sampai saat ini mencapai 7,5 kuintal, senilai Rp 7,5 juta per bulan. Merasa berhasil di Surabaya ia mulai melirik kota Malang sebagai sasaran produk berikutnya. Permintaan dari Malang per bulan mencapai 4,5 kuintal dengan nilai Rp 4,5 juta.

Untuk pasar lokal Kabir mencoba melempar dalam bentuk kemasan plastik , 1ons dengan harga Rp 1.000, 2 ons dengan harga Rp 1.500. Sedang untuk 3 ons ia pasang bandrol Rp Rp 2.500.

Setiap bulan dari masing-masing kemasan rata-rata terjual 200 kantong dengan nilai mencapai Rp 1 juta rupiah.

Hingga pertengahan tahun 2006 omset penjualannya mencapai Rp 14 juta per bulan dengan. Kini tenaga produksinya pun sudah 5 orang. [pur]


Modal awal: 500 ribu Rupiah
Omset sekarang: 14 juta rupiah/bulan
Karyawan: 5 0rang
Keuntungan bersih: Rp 5 juta/bulan

0 komentar: