Jumat, 25 September 2009

Pengusaha Rengginang di Trenggalek kurang Kreatif

Ada yang menyebutnya rengginang, tetai ada pula yang menamainya kresek. Kue atau jajanan yang terbuat dari beras ketan ini sepertinya merupakan kue yang wajib ada dalam setiap acara hajatan ataupun pesta pernikahan bagi masyarakat di wilayah Trenggalek, Ponorogo, dan Pacitan, khususnya warga pedesaan. Kue ini termasuk kue khas yang sudah tak ketahuan lagi siapa pencipta pertamanya.

Krecek biasanya dibuat dalam bentuk bundar, warnanya putih, coklat kehitaman (yang terbuat dari ketan hitam) dengan rasa khas gurih dan renyah, dan sangat cocok bila dinikmati sebagai lalapan minum kopi atau minum teh.

Sapngatun (57), ialah salah seorang pembuat krecek di Desa Nglebeng, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Di kampungnya, di RT 15, Dusun Karanganom, ada sepuluh orang pembuat krecek, termasuk Sapngatun.

Bikin krecek itu gampang. Menurut Sapngatun, mula-mula beras ketan dibersihkan/dicuci sampai bersih lantas direndam selama 3 - 4 jam, kemudian beras ketan tersebut ditanak/dikukus dengan sedikit diberi garam. Setelah hampir masak, lalu diangkat, kemudian dalam keadaan masih hangat dibentuklah menjadi bulatan pipih dengan berbagai ukuran, dan diletakkan pada anjang, yakni anyaman bambu yang dilapisi dengan merang (tangkai padi) supaya tidak lengket.

Selanjutnya krecek yang masih basah tersebut dikeringkan di bawah panas matahari selama satu hari. Bila panasnya bagus krecek sudah kering dan siap dikemas/digoreng.

Sapngatun sudah sejak 1980 menggeluti usaha pembuatan krecek ini dan rata-rata setiap harinya bisa menghabiskan 10 kg beras ketan, dan ia menjualnya setiap 5 hari sekali, sebanyak 50 kg krecek mentah.

’’Setiap hari saya memasak 10 kg ketan, dan saya kerjakan sendiri, hanya dibantu suami saya. Sebelum subuh semua itu mulai saya kerjakan, dan paling lama sampai pukul 8.00 WIB pekerjaan sudah kelar semua tinggal menjemur saja,’’ ungkap Sapngatun.

Setelah kering krecek tersebut siap dipasarkan dan ternyata pemasarannya pun tidak terlalu sulit. Setiap 5 hari sekali Sapngatun cukup membawa kreceknya ke Pasar Panggul, sekitar 2 km dari rumahnya. Ia sudah memiliki pelanggan tetap yaitu pedagang dari Pacitan, Lorok, dan Ponorogo, dan harus menyediakan 50 kg krecek.

Pedagang-pedagang tersebut nantinya yang akan memasarkan ke berbagai daerah baik dalam bentuk krecek mentah maupun yang telah digoreng terlebih dahulu

Sapngatun menjual kreceknya dengan harga Rp 7.500/kg untuk ukuran besar terdiri dari 10 biji, ukuran sedang berisi 15 biji sedangkan ukuran kecil 20 sampai 25 biji. Untuk produk yang diberi capuran gula merah ia jual Rp 10.000/kg.

Bila saat ini harga beras ketan Rp 5.200/kg dan jika telah menjadi krecek bisa laku Rp 7.500, maka Sapngatun setiap 5 hari dapat memperoleh hasil Rp 115.000 dari hasil penjualan 50 kg krecek, dan dalam satu bulan akan diperoleh hasil 6 x Rp 115.000 = Rp 690.000.

’’Hasilnya cukup lumayan apa lagi dan idhep-idhep mencari kesibukan apalagi kedua anak saya sudah berumahtangga sendiri-sendiri,’’ tutur Sapngatun.

Kendala utama pembuatan krecek ini satu-sattunya adalah bila datang musim penghujan, kesulitannya pada proses pengeringan yang memerlukan waktu lama. Padahal, bila krecek tidak segera kering akan mengakibatkan mutunya kurang bagus, apalagi bila sampai terkena gerimis, biarpun sedikit dapat dipastikan krecek akan hancur bila digoreng, dan kerugian bagi saya karena untuk menjaga mutu krecek tersebut tidak akan saya jual.

Sebetulnya, menurut Sapngatun, usaha pembutan krecek ini cukup menjanjikan. Permintaan terus meningkat, apalagi bila menjelang hari raya dan musim orang hajatan. Sayangnya, usaha pembuatan krecek ini belum tersentuh oleh teknologi baik dari segi pengeringan, kemasan, dan ragam modelnya. [PUR]

0 komentar: