Selasa, 12 Februari 2008

SAAT MAJIKANKU BERTANYA


Keluarga majikanku termasuk keluarga yang harmonis. Rukun dan sangat kuat tali silaturrahmi antar kerabat. Majikanku anak tertua dari 4 bersaudara, semua adiknya perempuan. Agamanya konghuchu atau entah apa… kalau aku tanya agamamu apa? Katanya dia nggak punya agama. Dia percaya pada diri sendiri. “Asal aku nggak merugikan, menyakiti atau mencehkan orang lain. Aku percaya semua akan baik-baik saja” katanya. Tapi dia sering sembahyang dengan membakar lidi itu lo.


Lain dengan Nyonya. Dia dan adik ragil bapak adalah penganut Kristen yang taat. Setiap sabtu dan minggu tak pernah absen pergi ke gereja. Kecuali kalau memang sedang berhalangan/ada pekerjaan yang tidak bisa di tingalkan. Entah kalau dengan kedua anak mereka. Aku jarang lihat dia kegereja, tapi juga jarang lihat mereka sembahyang.

Mereka menghargaiku sebagai seorang muslim. Nyonya yang lebih banyak tahu tentang aturan Islam. Sering dia bertanya sudah sholatkah? Atau kalau bulan ramadhan, sudah waktunya buka puasa belum? Dan sebagainya.

Lucunya kalau lagi makan bareng di restouran rame-rame, lebih kurang 15 orang. Mereka suka mengerjain aku. ’’Ayen, udang ini tadi digoreng dengan minyak babi, tidak cocok buat kamu.’’ Atau, ’’Ayen ikan ini tadi disiram dengan minyak babi,’’ atau, ’’buah ini tadi di cuci dengan minyak babi.’’ Tapi aku satai saja. Paling cuma nyengir kuda atau balas candaan mreka.

Di Hong Kong seperti yang kita ketahui, mau makan yang benar-benar di tanggung 100 % halal susah mau didapat. Ayam, daging sapi atau daging kambing juga sama saja. Karena sedikit sekali yag di sembeleh dengan disertai menyebut asma Alloh. Bagiku kalau tidak nyata-nyata aku ngelihat itu daging babi, sah-sah aja untuk aku makan. Untuk mengimbangi candaan mereka, aku biasanya lantas jawab begini. ’’Sekali-kali aku mau nyoba makan udang masak babi,’’ kalau sudah aku makan, aku lalu bilang, ’’wah, ternyata babi itu enak ya,’’ mereka terus geeeeeeeeer ketawa bareng-bareng.

Pernah pada suatu kesempatan. Aku ngobrol dengan majikan laki-lakiku. Tiba-tiba dia bertanya gini “Kenapa kamu pakai jilbab?” Aku rada bingung untuk menjawabnya. Bukan jawabannya yang aku bingung tapi bahasanya dan cara ngomong yang benar yang aku masih belepotan. Maklum modal pengetahuan bahasa Kantonisku kan cuma pas-pasan.

Akirnya aku mulai dari kalimat ini. ’’Saya pikitr pakai jilbab itu lebih bersih dan aman.’’ Dia tidak puas dengan jawaban yang aku berikan.

’’Apa hubungannya jilbab dengan keamanan?’’ tanyanya kemudian. Dia juga Tanya “ apa hanya orang Indonesia, atau orang muslim yang pakai jilbab?’’ pertanyan beruntun yang harus aku jawab dengan penjelasan.

’’Gini Pak. Soal keamanan. Aku kasih contoh saja ya… Misalnya aku pakai pakaian seksi, baju belahan dada yang rendah, pusar kelihatan dan rok mini yang hanya 15 cm. Apa yang ada dipikirang bapak? Ini kita ngomong sebagai laki-laki dan perempuan lo. Ngereskan? Kalau keadaannya kayak gitu apa nggak gundang lelaki untuk iseng? Belum lagi kalau kita pakai perhiasan. Copet akan gampang mengambilnya.’’

Tapi kalau kita pakai jilbab, pakaian yang menutupi aurat. Jarang sekali yang di isengin orang. Mau nyopet ? repot dia ngambilnya. Salah-salah sudah kepergok duluan sebelum berhasil merampas perhiasan kita.

Kalau soal kebersihan. Terang aja badan kita jadi lebih bersih. Debu-debu kan nempelnya nanti bukan langsung ke badan, tapi ke pakaian kita. Kalau misalnya kita sedang duduk di bawah pohon, diatas sana ada burung berak. Kalau kita pakai jilbab kan paling ada nempelnya di jilbab atau di pakaian kita. Tapi kalau kita nggak pakai jilbab, pasti akan kena di rambut atau tubuh kita kan?” Dia manggut-manggut.

’’Jilbab itu lambang perempuan muslim. Jadi bukan karena aku orang Indonesia aku memakainya, tapi karena aku merasa sebagai orang muslim. Di mana-mana, di Malaysia, di Singapura, Di China di mana saja kalau kita temui orang pakai jilbab itu tandanya orang itu muslim.’’

’’Kenapa begitu?’’ masih juga dia tidak paham. Aku putar otak sebentar, biar dia ngeh dengan jawabanku. Akirnya aku dapat ide untuk memakai umpan balik. Aku balik bertanya sama dia.

’’Kenapa ada orang Kristen yang pakai tutup kepala?’’

’’Yang pakai tutup kepala itu tingkat keimanannya tinggi. Dia orang suci, bersih lahir batin. Dan untuk menyempurnakan ibadahnya, mereka itu tidak nikah. Mereka yang seperti itu dipanggil sau loi [perempuan suci].’’

Yups jawaban yang tepat dan enak di buat umpan. ’’Nah…….. Islam mengajarkan kami untuk seperti dia itu.’’

’’Tapi orang Kristen kan yang pakai tutup kepala cuma orang tertentu. Nggak kayak Islam.’’

’’Betul. Gini nih…’’ bingung aku njelasinnya. ’’Islam mengajarkan kami untuk selalu suci lahir batin. Sama dengan ajaran yang di pakai Sao Loi itu. Cuma bedanya di kresten tidak boleh nikah. Tapi di islam untuk menyempurnakan agama, kami malah di anjurkan untuk nikah.’’

’’Jadi kamu merasa se level dengan Sao loi dong?’’

’’Iya,’’ jawabku lega.

’’Gitu ya?’’

’’Yups,’’ Setelah itu dia manggut-manggut lagi.

Aku nggak tahu apakah jawaban ku itu benar apa tidak menurut orang lain. Tapi aku pikir tujuan berjilbab kurang lebihnya yaitu kan. Sama dong dengan biarawati atau yang mereka sebut dengan Sao loi itu. Setelah itu dia nggak nanya-nanya lagi soal jilbab. Dia Cuma pesan kalau sedang bekerja jangan pakai jilbvab, takut kebakaran.

’’Enggaklah… kalau sedang bekerja/dirumah sendiri atau sama keluarga sendiri [muhrim] kita boleh nggak pakai jilbab. Lagian kalaupun mau pakai, kan kita bisa pakai jilbab yang kecil, jangan lebar-lebar amat.’’
’’He he he he ………..’’ dia menutup pembicaraan. []

dari:
NADIA CAHYANI

0 komentar: