Jumat, 08 Februari 2008

Cantik untuk Siapa? [1]

Siti Aminah

Menjadi cantik adalah mimpi sebagian besar perempuan. Apalagi pada zaman sekarang ketika teknologi komunikasi menjadi raja di segala sektor kehidupan. Wajah-wajah cantik perempuan bertubuh tinggi semampai dengan kulit putih bersih dan rambut lurus panjang menjumpai kita di mana-mana. Mulai dari layar kaca, majalah, koran, hingga poster di pinggir jalan. Sejak bangun tidur di pagi hari hingga menjelang kita tidur lagi, sosok-sosok itu terus muncul sepanjang hari. Kehadiran mereka di segala tempat secara terus-menerus, telah berhasil membangun sebuah konsep kecantikan dalam benak kita tanpa kita sadari. Maka tak heran ketika mendengar kata ’cantik’, yang terlintas di benak semua orang adalah gambaran yang serupa.


Pada dasarnya, berbicara tentang kecantikan tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang budaya. Konsep kecantikan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Negara-negara di Afrika memberikan nilai cantik kepada perempuan yang bertubuh subur. Beberapa suku di Thailand mengidentikkan kecantikan dengan panjangnya leher seorang perempuan. Agar mendapatkan leher yang panjang ini, maka sejak sebelum remaja, anak-anak perempuan dibiasakan mengenakan gelang leher yang jumlahnya semakin bertambah seiring dengan pertambahan usianya. Di beberapa wilayah di China kaki kecil menjadi acuan kecantikan. Untuk memperoleh kaki kecil tersebut, sejak masih balita seorang anak perempuan dipaksa melipat kakinya dan mengenakan sepatu di bawah ukurannya. Sedangkan beberapa suku Dayak mengidentifikasikan cantik dengan telinga yang panjang dan beranting besar.

Dalam budaya Jawa nilai cantik lebih kompleks lagi. Cantik digambarkan dengan serangkaian perumpamaan seperti dedege lencir kuning, rambut ngandhan-andhan, alise nanggal sepisan, lambene nggula satemlik dan sebagainya. Namun, keragaman nilai kecantikan seperti di atas saat ini tidak lagi kita temukan. Cantik tidak lagi dimaknai menurut tempat dan budaya seperti masa sebelumnya. Cantik saat ini memiliki standar nilai universal, standar kecantikan ala Eropa (diakui atau tidak) menjadi standar kecantikan internasional. Standar kecantikan universal inilah yang sekarang sedang dan akan terus didengungkan bahkan dikukuhkan dengan berbagai kontes kecantikannya yang bertaraf internasional.

Lalu bagaimana nilai kecantikan lokal, yang dimiliki oleh masing-masing budaya dan wilayah yang berbeda? Dapat dikatakan, semua nilai itu kini tinggal kenangan, menjadi kekayaan dan kebanggaan suatu budaya dan dijadikan paket wisata karena keunikannya. Betapa kasihan, mengingat mereka (para perempuan itu) mendapatkan kecantikannya dengan pengorbanan yang begitu besar. Bagaimana tidak, merelakan leher bergelang logam berkilo-kilo atau telinga yang digantungi anting besar atau melipat kaki dalam sepatu yang jauh di bawah ukurannya bukanlah hal gampang. Semua itu adalah bentuk siksaan yang harus mereka jalani agar dapat diterima oleh budayanya. Ketika zaman berubah dan nilai kecantikan bergeser, siksaan terhadap perempuan untuk mendapatkan predikat cantik pun terulang. Tidak sedikit perempuan rela menahan lapar atau bahkan memuntahkan makanan yang telah dimakan agar tubuhnya kurus langsing. Tak terhitung banyaknya perempuan yang rela mengolesi kulitnya dengan berbagai krem untuk menglupas kulit hitam atau coklatnya. [bersambung

0 komentar: