Minggu, 24 Februari 2008

CINTA TAK PERNAH MATI [3]

Cerpen Sugeng Wiyadi

Pertemuan kita pada malam itu merupakan pertemuan terakhir. Setelah studiku selesai, aku pulang ke Solo tanpa pamit padamu. Dan kau pun tak lagi suka mengunjungiku. Kuakui, Pram, perasaanmu memang sensitif. Kau tak mungkin memiliki aku seutuhnya. Kita tak mungkin hidup bersama. Sebab ketika itu aku sudah bertunangan dengan Jie Son Lie—jauh sebelum aku mengenalmu. Dan itulah kesalahan padamu.



Mengapa aku membuka jendela hatiku ketika kau menyatakan cintamu? Kenapa aku tak berterus terang kepadamu? Hanya karena aku mengagumimu sebagai seorang penyair. Di Senisono kita bertemu kali pertama dan berkenalan. Dari Senisono kita berjalan-jalan menyusuri Malioboro. Dari Malioboro kita menapaki jalanan sepi Kaliurang. Di Kaliurang kuserahkan seluruh cintaku kepadamu.

Toh pada akhirnya aku pun kawin dengan Jie Son Lie. Aku lupakan dirimu dalam kebahagiaan pengantin baru. Tapi, belum lagi lahir anak-anakku, terjadilah malapetaka itu. Mama, Papa, dan Jie, meninggal dalam kecelakaan di Bromo. Dunia seakan runtuh menimpaku. Aku kehilangan orang-orang yang mencintai dan mengasihiku.

Pram, dalam kekosongan malam di tengah renyai hujan, biarkan aku mengenangmu. Biarkan kunikmati perasaan bersalahku kepadamu. Baru saja kuterima interlokal dari Yudhis yang mengabarkan kematianmu di rumah sakit karena paru-parumu pecah oleh baksil ganas. Setelah dengan susah payah kau sebut namaku berkali-kali.

Pram, maafkan aku. Aku tidak mungkin turut mengantarmu ke tempat peristirahatan yang terakhir. Aku tak dapat menaburkan melati putih kesukaanmu di atas pusaramu. Aku hanya dapat mengenangmu sambil berdoa agar kau mendapat ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan di alam keabadian.

Oya, Pram, cinta sejati tak pernah mati. Begitu pun cintaku padamu. Maka, janganlah kau sedih karena aku tak bisa turut melepasmu ke pekuruburan. Kau tahu, Pram? Kecelakaan di Bromo beberapa tahun yang lalu itu telah merampas kedua kakiku. Aku hanya dapat duduk di atas kursi roda menunggu ajalku tiba.[*]

Surabaya, Oktober 2006

0 komentar: