Sabtu, 02 Februari 2008

Babu, Buku, dan Motivasi


Oleh Anwar Jaelani*

MOTIVASI kapan pun diperlukan, terutama ketika kita sedang berada di sebuah situasi sulit. Kita yang tinggal di negeri dengan lilitan krisis multidimensi lebih dari sepuluh tahun terakhir ini, pasti memerlukannya pula. Sebab, motivasi adalah sumber energi yang luar biasa dalam menggerakkan seseorang untuk keluar dari kemelut.



Buku merupakan salah satu motivator terbaik, sedemikian rupa populer pepatah "Buku adalah jendela dunia". Pepatah itu jelas sangat berdasar, bahwa begitu banyak orang yang berubah menjadi baik (antara lain dengan berprestasi cemerlang) karena pengaruh buku. Sebagai contoh, lihatlah pengaruh buku karya Dale Carnargie, yang dirasakan mampu "menggerakkan" banyak orang di berbagai belahan dunia untuk selalu berpikir positif dalam memandang semua persoalan yang menghadangnya.

Sadar akan pentingnya motivasi, kini buku-buku bertema "penyemangat hidup" banyak dicari orang. Buku-buku semacam itu menjadi sama pentingnya dengan peran seorang motivator. Dan, di negeri ini, sekarang ilmu seorang motivator sedang dihargai mahal. Andrie Wongso, misalnya, untuk pelatihan di kalangan profesional punya tarif Rp 30 juta per dua jam. Siapa Andrie? Dia motivator dan penulis buku-buku (motivasi) bestseller. Dia tak tamat SD, tapi di ruang pelatihan dia kerap menguliahi banyak doktor (Jawa Pos, 12/7/07).

Karya Babu

Jika dikelompokkan berdasarkan siapa yang menulis, buku-buku motivasi terbagi dua. Pertama, ditulis teoritisi-ilmuwan psikologi (dosen, dll.) dan kedua, ditulis oleh praktisi (pengusaha, dll.). Para praktisi itu membagikan kisah suksesnya lewat buku-buku mereka. Dan, yang hebat, kerapkali yang lalu menjadi bestseller justru buku karya dari kaum yang disebut terakhir itu.

Di tengah peta perbukuan bertema motivasi seperti itu, ada buku berjudul Anda Luar Biasa!!! yang tergolong fenomenal, karena ditulis oleh seorang babu (Eni Kusuma, sang penulis, tak ragu memakai sebutan babu untuk istilah PRT --pembantu rumah tangga, profesi yang digelutinya).

Benar, Eni bukan teoritisi, pun bukan praktisi. Satu-satunya modal yang dimilikinya dan di kemudian hari dia jual lewat buku itu adalah fakta bahwa dia memiliki motivasi sangat kuat untuk keluar dari "keterbatasan" dan muncul sebagai "pemenang".

"Anda pun luar biasa!" Kalimat bernada terima kasih itu sangat mungkin merupakan refleks yang akan meluncur dari lisan kita usai membaca buku Eni. Apresiasi itu tertuju kepada sang penulis karena inilah buku motivasi pertama yang ditulis seorang babu (asal Indonesia yang bekerja di Hongkong).

Selain itu, seperti dituturkan Eni, seratus persen royalti dari buku pertamanya itu akan, "Saya gunakan untuk merintis sebuah yayasan amal, yang salah satu misinya untuk mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak miskin dan telantar."

Ketiga, tak kurang dari 27 pakar (motivator, penulis buku-buku bestseller, jurnalis, kolumnis, novelis-cerpenis, pengusaha, dosen, psikolog, konsultan, profesional, dll.) turut memberi sambutan dalam buku itu.

Siapa Eni? Dia berasal dari sebuah keluarga miskin di Banyuwangi. Kebiasaan membaca (dan menulis) yang dimilikinya sejak kecil, terus ditingkatkannya. Dulu, ketika masih kecil, karena miskin dan tinggal di dekat TPA (tempat pembuangan akhir) sampah, dia mengais bahan bacaan dari koran bekas. Setelah menjadi babu, dari penghasilan yang diperolehnya, dia bisa membeli buku yang diinginkannya. Lalu, dengan memanfaatkan "kesempatan dalam kesempitan", yaitu saat menunggui anak majikan yang sedang sekolah, dia ber-internet, untuk membaca, menulis, dan berdiskusi.

Buku Eni bisa menjadi bukti kebenaran, ketika Tuhan menyebut bahwa "Tak ada yang sia-sia dari semua ciptaan-Nya". Dalam bahasa Eben Ezer Siadari (Co-author "The Ciputra’s Way"), bahwa dalam tiap diri manusia biasa, selalu ada sesuatu yang luar biasa. Atau, perhatikanlah pengakuan penulis Ida Kuraeny, membaca buku Eni kita akan merasakan betapa indahnya kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepada seluruh umatnya. Artinya, kedua orang itu menyimpulkan bahwa keterbatasan yang kita miliki tak boleh menjadi penghalang untuk berprestasi.

Perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari "unit" paling kecil, yaitu individu. Lebih tepat lagi, dimulai dari pikiran yang dimiliki masing-masing individu. Perubahan itu kita desain untuk perbaikan kualitas masa depan, dan itu ditentukan oleh pilihan cerdas atas berbagai peluang yang terbuka. Membaca buku adalah salah satu media agar kita punya pikiran yang selalu terbuka untuk setiap kemungkinan perubahan.

Eni, dengan karya bukunya, telah berubah (baca: naik kelas), dari "sekadar" babu menjadi seorang motivator. Karena apa? Dia banyak membaca (belajar dan berdisksi). Dengan bukunya itu, Eni sudah mengajarkan kepada kita bahwa dia berani melakukan sesuatu yang baru, unik, dan tidak biasa-biasa. Kita lalu bisa "membaca" Eni, bahwa buku yang ditulisnya karya orang biasa, tapi isinya berpengaruh luar biasa bagi pembaca. Pendek kata, Eni mengajarkan kepada kita soal rasa percaya diri. Tanpa beban, dia berkorespondensi --antara lain-- dengan Jennie S. Bev, pengusaha, pengajar, dan penulis.

Kisah Eni bisa menumbuhkan kesadaran bagi siapa pun bahwa jika Eni yang babu saja mampu berkarya luar biasa, maka beralasankah jika kita tak bisa berprestasi luar biasa? Artinya, jangan berhenti sebagai pengagum orang sukses saja, tapi segera bergerak untuk mengikuti arah yang sama: menjadi pribadi luar biasa.

Untuk itu, tinggalkan sikap yang salah, yaitu selalu memikirkan apa yang tidak kita miliki dan tidak menyukuri kepada Tuhan atas apa yang kita miliki. Jangan selalu melihat sisi gelap, tapi lihatlah sisi terangnya.

Oleh Eni, prinsip di atas lalu ditarik ke persoalan yang melingkupi dirinya, dan dia menulis: Kalau saja saya melihat bahwa saya hanyalah pembantu rumah tangga dari keluarga miskin, jelek, tidak pintar, hanya lulusan SMA. Juga, kalau saya hanya melihat sederet pengalaman pedih yang membuat saya menangis, terlebih bila saya gagal melihat segala peristiwa tersebut tidak dari sisi baiknya, mana mungkin saya bisa tampil percaya diri dan tampak cerdas?

Alhasil, bagi Eni, setiap orang memiliki talentanya masing-masing. Persoalannya, bersediakah kita menemukan talenta (yang tak lain adalah karunia Tuhan) itu, kemudian kita eksplorasi untuk melejitkan prestasi?

Maka, dalam konteks prestasi di bidang kepenulisan, akan sangat banyak yang sependapat dengan Dodi Mawardi, dosen dan penulis buku wirausaha, yang bercanda bahwa Eni dan karyanya itu menyinggung perasaan saya. Yang menulis bukan profesor, doktor, atau master, tapi lulusan SMA yang jadi TKW di Hongkong. Jika Eni sudah berkarya, maka sekarang giliran kita, Anda dan saya, untuk juga bisa menjadi pribadi luar biasa. PRT saja bisa luar biasa, mengapa saya tidak?

Ungkapan Dodi itu adalah bukti tak terbantahkan, buku merupakan salah satu motivator terbaik. Dengan demikian, kepada siapa pun Anda, marilah menjadi pribadi luar biasa, antara lain dengan menulis buku. Bukankah bahan untuk menulis buku (semestinya) sudah ada? Bukankah Anda punya ilmu dan pengalaman? Sungguh, lewat buku, kita bisa menjadi motivator, setidaknya untuk diri sendiri! (*)

*) Anwar Jaelani, pembaca buku, guru, tinggal di Surabaya

Jawa Pos, Minggu, Minggu, 03 Feb 2008

2 komentar:

Jennie S. Bev mengatakan...

Terima kasih atas postingan ini. Eni Kusuma adalah tauladan besar bagi Bangsa Indonesia.

pembaca peduli mengatakan...

Iya, terima kasih pula.

Sayangnya, di Indonesia tidak banyak orang tertarik mendukung prestasi seperti yang dimiliki Eni. Kalau ada warganya jadi bintang televisi karbitan dari acara macam idol-idol-an par bupati/walikota sangat antusias mengaraknya keliling kota untuk dipamerkan, tetapi, Bupati Banyuwangi yang notabene perempuan pun, misalnya, tampaknya tak kenal dengan warganya yang bernama Eni Kusuma itu.