Senin, 18 Februari 2008

Djayus Pete Alias Mbah Jo: Tak Sekadar Menyiarkan Tayub melalui Radio


Ia bukan seorang dalang wayang kulit, bBukan pula dalang kentrung. Tetapi, malam itu (Sabtu, 25/08/07) ia bisa menahan puluhan orang untuk melekan semalam suntuk mendengarkan cerita-ceritanya.


Sabtu malam itu (25/08/07) bertempat di Hotel Jangleng, Jl Panglima Sudirman, Bojonegoro, Jawa Timur, Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro mengadakan acara mengenang 2 orang sastrawan Jawa, R.P.A. Suryanto Sastroatmaja dan Yes Ismie Suryaatmaja. Sekitar 50 orang, terdiri atas sastrawan, guru dan para pecinta bahasa dan sasta Jawa hadir di acara yang baru berakhir pukul 24.00 itu. Memang cukup gayeng. Bahkan, di balai peristirahatan, seusai acara, sekitar 10-an orang memilih membangun obrolan ngalor-ngidul. Yang jadi bintang dalam acara tidak resmi itu, siapa lagi kalau bukan Djayus Pete, yang di wilayah Bojonegoro, terutama di Kecamatan Purwosari dan sekitarnya lebih dikenal sebagai Mbah Jo.

Ini memang bukan pertama kalinya Djayus Pete (59) jadi bintang di arena percakapan seperti itu. Di Blitar pada acara Temu Sastrawan Jawa Timur (2004) seorang pengarang yang telah menerbitkan puluhan buku sekaliber Suparto Brata pun betah begadang sampai pagi dengan mendengarkan kisah-kisah yang meluncur lancar dari seorang Djayus Pete. Dan dari ’penampilannya’ di Blitar itulah beberapa bulan kemudian Djayus diundang Jawa Pos untuk bercerita. Judul berita/iklan untuk acara itu pun terbilang aneh, ’’Saksikan Djayus Pete akan membacakan beberapa cerpen yang belum pernah ia tulis! Bla… bla…bla…!’’

Djayus Pete yang sehari-harinya bekerja sebagai guru di SDN Purwosari 3 Bojonegoro ini sebenarnya dikenal pula sebagai seorang sastrawan Jawa, yang dengan kumpulan cerpen berbahasa Jawa-nya Kreteg Emas Jurang Gupit mendapatkan Hadiah Rancage 2003. Tetapi, menurut pengakuannya, para tetangganya nyaris tak seorang pun mengenalnya sebagai sastrawan Jawa. ’’Kalau ada yang tahu bahwa saya ini penulis, pengarang, paling-paling ya teman-teman guru dan anak serta istri saya. Orang-orang di sekitar sini ini kan kebanyakan petani, atau pedagang kecil yang tidak membaca majalah berbahasa Jawa,’’ tutur Djayus.

Djayus punya dorongan kuat untuk menyapa mereka, para tetangganya itu, dan kemudian digunakanlah media radio. Itulah yang membuat Djayus tak pernah memersoalkan walaupun ia tidak mendapatkan honor dari pekerjaannya sebagai pembawa acara Tayub Mbah Jo di Radio Mulia FM, kemudian pindah ke Imbas FM, dan kini balik kucing ke Mulia FM, semuanya di Kecamatan Purwosari Bojonegoro. Sebelum menjadi pembawa acara Tayub Mbah Jo di kedua radio itu, Djayus pernah pula mengisi acara Gara-gara di RKPD Bojonegoro (2000 – 2003), sekali dalam sepekan. Hebatnya, Djayus tidak mendapatkan imbalan dari pekerjaan yang dipandangnya sebagai media ekspresi itu, bahkan ia nomboki sendiri biaya transportasinya dari rumah ke studio pergi-pulang.

Karena jarak antara rumahnya dengan studio RKPD Bojonegoro lumayan jauh, dan ada stasiun radio baru di dekat rumahnya, Djayus memilih berhenti siaran di RKPD. Maka masuklah ia ke radio baru itu, Mulia FM. Ia tidak lagi membawakan acara Gara-gara, melainkan Tayub Mbah Jo, yakni siaran gending-gending tayub dan campursari. Sebagai sastrawan, Djayus tak mau sekadar cuap-cuap asal-asalan. Ia selalu membuat persiapan tertulis dari rumah layaknya seorang guru yang akan mengajar di kelas. Bahkan, masih ditambah lagi persiapan alat-alat untuk menghidupkan suasana, seperti kaleng bekas, batu, dan sebagainya. ’’Kalau saya ngomong soal tukang bakso, ya saya ambil lepek lalu saya pukul-pukul dengan sendok, jadi pendengar soelah-olah merasakan bahwa ada penjual bakso beneran di studio,’’ katanya.

Dengan persiapan tertulis itu, Djayus pun bisa mengulas syair-syair tembang atau lagu campursari yang diudarakan, bahkan membumbuinya dengan komentar-komentar berkaiatan dengan sejarah, ilmu sosial, filsafat, bahkan juga agama.

’’Kalau misalnya ada syair tembang yang menyinggung-nyinggung soal perselingkuhan, kadang saya juga bukak-bukak Quran, untuk melihat surat apa ayat berapa yang membahas mengenai hal itu,’’ tutur Djayus memperkuat gambaran bahwa ia memang bukan penyiar sembarangan.

’’Saya ini juga kalau lepas siaran, kalau ada waktu luang, sering keluyuran ke warung-warung kopi, menemui para fans saya yang memang ya di situ-situlah komunitasnya. Lalu saya kenal pemilik warungnya, dan kemudian tak segan-segan menggojlognya waktu siaran. Maka, jangan heran kalau penggemar acara saya bukan hanya orang-orang yang sudah tua, tetapi juga anak-anak.

Ditambahkan Djayus, saat anjangsana ke warung-warung itu ia juga sambil melayani pembelian kartu request. Bahkan, kartu request yang dibawanya tak jarang ludes diborong para pemilik warung atau pembuat jamutradisional yang kepengin sekaligus mengiklankan dagangannya. Ia mengaku, walau tak sepeser pun dapat honor dari pemilik radio, dari jualan kartu request Rp 500/lembar itu dalam sebulan bisa dikantongi antara Rp 300.000 – Rp 400.000.

’’Ya lumayanlah, bisa buat beli rokok,’’ kata penggemar berat rokok cap Oeloeng ini, ’’toh, nggak dapat apa-apa pun saya juga senang.’’ Ya, dapat kesenangan itulah! [BON]



DJAYUS PETE
Lahir: 1 Agustus 1948
Pekerjaan: Guru SDN Purwosari 3 Bojonegoro
Istri: 1 orang
Anak: 4 orang (sudah berkerja semua)
Cucu: 5 orang

Buku: Kreteg Emas Jurang Gupit (DK-Jatim bersama AJI Surabaya, 2002)
Penghargaan: Hadiah Rancage (2003), Seniman Jatim (dari Gubernur Jawa Timur, 2005)

Acara di Radio:
Gara-gara di RKPD Bojonegoro (2000 – 2003)
Tayub Mbah Jo di Mulia FM Bojonegoro (2003 – 2005)
Tayub Mbah Jo di Imbas FM Bojonegoro (2005 – 2007
Tayub Mbah Jo di Mulia FM Bojonegoro (Juli, 2007 - sekarang)

Cita-cita:
Setelah pensiun, jadi pembawa acara Tayub Mbah Jo di radio, televisi lkokal di Bojonegoro, sambil terus mengarang.

0 komentar: