Jumat, 08 Februari 2008

Belajar, mumpung Ada di China

Lidah ’katrok’ saya masih saja susah ditekuk untuk mengamini jenis makanan yang selama ini asing sebagai makanan yang uenak tenan. Lha wong kebiasaannya selera pecel, rujak cingur, rawon, soto, kok. Ditawari yang kelas harganya dua kli lipat dengan label Korean Food, Japannese Food, dan yang asing-asing lainnya itu ya, tidak begitu tertarik. Padahal, hampir dua pekan di negeri serba ada ini. Di Hong Kong, maksud saya. Maka, jangan heran kalau di distrik mana pun saya njedhul dari stasiun MTR, jika perut terasa lapar, yang pertama kali saya cari adalah ’wajah Indonesia.’


Setelah merasa menemukannya, saya pun lalu bertanya. ’’Mbak, di mana ya toko Indonesia?’’

Lalu, jawabnya, ’’What? Oh, sorry, I don’t know…’’
Pokoknya tanya-jawab tidak berlangsung sesuai dengan rencana saya. Berhenti di tepi jalan, malah, sebab bahasa Inggris saya jauh lebih parah daripada bahasa Inggris-nya Empat Mata. Lalu saya hanya bisa membatin, ’’Walah, tibake wong Pilipin!’’

Tetapi, di Hong Kong, di sudut mana pun, agaknya mendapatkan wong Indonesia bukanlah hal yang sulit. Apalagi pada hari Minggu atau hari libur. Dan saya pun beryukur karena saya –walau sekali dua kali keliru membaca wajah—akhirnya tak susah juga mendapatkan warung/toko Indonesia untuk kemudian memesan soto, rawon, rujak cingur, atau nasi campur.

Beberapa kali saya menemukan toko Indonesia yang dimiliki perempuan asal Indonesia [baik dari etnis Jawa maupun etnis Tionghoa] yang menikah dengan laki-laki asli Hong Kong. Saya beruntung dapat menyaksikan bagaimana laki-laki yang bisa bahasa Indonesia sepatah dua patah itu berusaha meramahi saya sambil membantu sang istri melayani pembelinya: mengambilkan sendok, sambal, kecap, dan lain-lain.

Pada saat demikian saya memetik dua pelajaran sekaligus. Pertama, betapa laki-laki Hong Kong tidak segan-segan membantu sang istri di wilayah domestik [urusan dapur], jauh berbeda dengan laki-laki Jawa yang pada umumnya merasa gengsinya mlorot jika ketahuan membantu istri untuk pekerjaan domestik. Para istri di Jawa agaknya punya salah juga dalam hal ini seperti terlihat dalam olok-olok mereka pada suami yang suka ikut-ikutan bekerja di dapur dengan kalimat, ’’Wong lanang kok cupar!’’ [Maaf, saya tidak punya terjemahan yang pas untuk kata ’cupar’ itu].

Kedua, pelajaran tentang pelayanan yang baik. Begitulah seharusnya seorang penjual melayani pembeli, sesuai yang dianjurkan oleh pepatah, ’’Pembeli adalah raja.’’ Barangkali kita lebih baik pasang harga sedikit lebih mahal tetapi menyertainya dengan pelayanan yang memuaskan, dengan keramahan, daripada sedikit lebih murah tetapi melayaninya sambil mrengut alias cemberut. Setuju nggak? [BONARI NABONENAR]

Peduli Juli 2007

0 komentar: