Minggu, 03 Februari 2008

Masalah Perlindungan TKI di Luar Negeri

Oleh Jawahir Thontowi

Nasib buruk sebagian TKI di luar negeri tidak lepas dari kondisi mereka sebagai masyarakat terbelakang yang amat rentan. Mentalitas mereka yang "menghamba" pada kebaikan majikan adalah pertarungan nasib amat berani. Situasi itu mendapat pembenaran ketika formasi kerja hanya sesuai untuk perempuan. Status pekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) berasal dari pedesaan dengan latar belakang pendidikan minimal merupakan bukti kerentanan tersebut.



Kondisi malang TKI itu tergambar dari tiga kasus ini. Pertama, Yanti Irianti, 35, meninggal di Saudi Arabia akibat eksekusi mati pada Jumat, 11 Januari. Dia divonis mati karena dituduh membunuh majikannya.

Kedua, Fitriani, 24, asal Probolinggo, Jawa Timur, ditemukan tewas Rabu, 23 Januari di Hongkong akibat 20 tusukan di badannya (Jawa Pos, 26 Januari 2008). Terakhir, Edy Pribadi Santoso, 30, dari Cilacap, Jawa Tengah, tewas karena jatuh terpeleset dari bangunan tinggi di Malaysia.

International Convention on the Protection of Immigrant Workers Rights yang diadopsi Sekretaris Jenderal PBB Desember 1990 mengamanahkan beberapa kewajiban. Pekerja asing dan keluarganya di suatu negara memiliki status hukum sederajat. Perlakuan diskriminatif tidak diperkenankan.

Untuk mengimplementasikannya, pemerintah memerlukan kerja sama antarinstitusi yang kompeten, perwakilan perusahaan dan buruh, serta badan-badan yang terkait penting adanya koordinasi. Dengan harapan, suatu negara bisa menerapkan prinsip nondiskriminasi lebih efektif (Ian Brownlie, Basic Documents on Human Rights, 1971: 303).

Kebijakan Domestik TKI

Terkait dengan itu, seberapa jauh kebijakan pemerintah SBY relevan untuk melindungi TKI. Kebijakan domestik pemerintah SBY terkait dengan perlindungan dan kesejahteraan bagi TKI telah tampak nyata. Terutama, ketika Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) melakukan konsolidasi internal. Kebijakan itu dilakukan bukan karena banyaknya tenaga kerja murah di Indonesia, tetapi sistem pasar global telah membuat kedaulatan negara di dalam dan luar negeri terkikis.

Dibentuknya Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan komitmen pemerintah terhadap TKI. Tugas dan fungsinya adalah berkoordinasi dengan menteri tenaga kerja dan PJTKI. Juga, melakukan kerja sama penempatan, pengawasan, pengelolaan administrasi serta perlindungan keselamatan TKI di luar negeri.

Kehadiran BNP2TKI untuk sementara telah berdampak signifikan atas penurunan daya tampung TKI. Ketua Himpunan Pengusaha Penempatan TKI (Himsataki) Yunus M. Yamani meyakini bahwa penempatan TKI tahun ini "kacau balau". Kurangnya koordinasi BNP2TKI dengan Depnakertrans dan pemerintah terlalu banyak mengintervesi penempatan tenaga kerja government to government.

Target pemerintah untuk menempatkan 750 ribu tidak tercapai. Sekitar 550 ribu orang saja yang dapat diterima mengakibatkan devisa negara berkurang sekitar 40 persen dari jumlah Rp 70 triliun (Jawa Pos, 30 Desember 2007:3).

Perbaikan oleh Menakertrans juga telah dilakukan melalui proses seleksi yang ketat dalam pemberian izin bagi PJTKI. Tidak sedikit PJTKI yang nakal dan tidak memenuhi persyaratan telah diberi sanksi dengan tidak diperpanjang izin operasionalnya.

Selain itu, Menakertrans telah melakukan perbaikan MoU dengan beberapa negara, seperti Timur Tengah, Malaysia, Korea Selatan, untuk meningkatkan gaji TKI di luar negeri dan penempatannya yang ditandatangani.

Penguatan Diplomat

Untuk mencegah kekerasan TKI di luar negeri, Departemen Luar Negeri tidak bisa berpangku tangan. Penguatan hubungan diplomatik yang dilakukan Duta Besar dan Konsul Jenderal dengan negara-negara tujuan, tempat TKI akan ditempatkan, menjadi sangat signifikan. Langkah konkret itu, tampaknya, telah dilakukan Presiden SBY sebagai berikut:

Pertama, kunjungan Presiden SBY pada Jumat, 11 Januari 2008 untuk mengadakan konferensi pers bersama Perdana Menteri Malaysia Ahmad Badawi merupakan upaya diplomasi yang berarti. Kedua negara sepakat untuk melakukan pengelolaan dan perlindungan yang baik bagi TKI. Dengan begitu, manfaat yang diperoleh bagi kedua negara dapat dicapai.

Selain itu, mereka sepakat untuk memaksimalkan perlindungan dan pelayanan hukum bagi TKI. Terakhir, pemerintah Malaysia berjanji akan menindak tegas majikan yang melanggar hak-hak TKI.

Kedua, Presiden SBY meminta Departemen Luar Negeri melakukan protes nota diplomatik kepada negara-negara yang memperlakukan TKI tidak manusiawi. Keberanian sikap itu cukup strategis secara diplomatik serta membuktikan pemihakan presiden terhadap TKI.

Karena itu, sudah sepantasnya Departemen Luar Negeri menjabarkan program-program konkret untuk agen-agen diplomatik. Misalnya, bagaimana menteri luar negeri bisa menambah struktur organisasi agen diplomatik RI dengan menyediakan SDM yang dapat memberikan bantuan hukum. Dengan demikian, persoalan warga negara di luar negeri bisa diakomodasi seoptimal-optimalnya oleh SDM yang kompeten dan profesional.

Status TKI, apakah dia masuk ke luar negeri sah (legal) atau tidak (ilegal) akan selalu terkait dengan aspek-aspek hukum. Sebab, dampak hukum terkait dengan TKI tidak sebatas pada terpenuhinya dokumen hukum seperti paspor dan visa kerja. Tetapi, juga terkait dengan aspek-aspek hukum keluarga atau pidana, bahkan ketentuan hukum internasional hukum suatu negara. Mustahil TKI bisa membela hak-haknya tanpa bantuan pemerintah.

Ketiga, gagasan penambahan Atase Hukum dan HAM di Kedutaan atau di Konsulat Jenderal RI di luar negeri perlu dipikirkan untuk mengangkat staf corp diplomatic yang sarjana hukum. Tapi, dia memiliki kewenangan melakukan pembelaan dan pendampingan hak-hak hukum warga negara RI. Berita kematian TKI itu sering terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Malaysia sehingga menuntut adanya petugas hukum di KBRI.

Terkait dengan kasus pidana, menjadi naif ketika kematian TKW Fitriani dari Probolinggo ditangani staf Atase Ekonomi Konsulat Jenderal di Hongkong. Seperti halnya dengan TKW Yanti yang mati di hadapan regu tembak Saudi Arabia. Hal tersebut baru diketahui Kedutaan RI di Saudi Arabia setelah eksekusi dilaksanakan. Padahal, dalam kasus pidana, pengadilan setempat seharusnya memberi tahu kedutaan agar hak-hak hukum terdakwa bisa dibela sesuai dengan Due Process of Law yang memadai.

Kebijakan domestik untuk meningkatkan koordinasi antara Depnakertrans, BNP2TKI, dan PJTKI bagi TKI dalam mencegah timbulnya kekerasan TKI hanya berarti jika Departemen Luar Negeri peduli untuk menyediakan SDM yang mampu memberikan bantuan hukum bagi TKI. Khususnya bagi negara-negara Timur Tengah dan Malaysia, negara tujuan utama para TKI untuk bekerja. []


Jawahir Tonthowi, staf pengajar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta
Jawa Pos, Senin, 04 Feb 2008

0 komentar: