Minggu, 24 Februari 2008

CINTA TAK PERNAH MATI [2]

Cerpen Sugeng Wiyadi

Masih kuingat roman mukamu yang lembut dan tenang. Masih kuhafal senyum di bibirmu yang senantiasa kau lepaskan bagi siapa saja yang kau kenal. Tapi belakangan, saat kita menyusuri Kaliurang yang tenang, aku menangkap perubahan drastis. Bola matamu tak lagi pijar. Ada kabut tipis menyaput bola matamu.



’’Kau kenapa, Pram?’’ aku bertanya.

Kau memandangku beberapa jurus tanpa kata.

’’Sejak kapan kau tak lagi suka jujur kepadaku?’’

Kau menarik napas berat.

’’Pram, kenapa kau bungkam? Apakah diriku sudah tak punya arti lagi arti bagimu?’’

Kudengar kau melenguh panjang. Ketika bibirmu berucap, yang kudengar kata-kata bernada murung, ’’Mei Hwa, akhirnya aku tahu. Kita tak mungkin bersatu. Aku tak bakal memilikimu sutuhnya.’’

’’Itu tidak benar, Pram! Kau jangan mengigau!’’

’’Justru kau yang mengigau, Mei Hwa!’’

Aku mencoba menyakinkanmu, tapi kau tetap tidak percaya.
Pada suatu malam, kita duduk di pelataran rumah kos. Rembulan jingga melanglang di langit tinggi. Bintang-gemintang bertebaran dan dedaunan gemerisik ramah oleh angin yang bertiup lirih.Tapi aku melihat lagi rona gelisih di raut wajahmu.

Kau diam tanpa kata. Ketika mulutmu bergerak, yang kudengar justru sepotong sajak Chairil Anwar yang selama ini kuketahui tak kau sukai: Hidup hanya menunda kekalahan/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/ sebelum akhirnya kita menyerah.

Aku terbahak. Dan kau memandangku sekilas lantas berpaling. Ada sinar ungu sempat kutangkap membias lepas dari sudut matamu. Dan itu membuat tawaku makin panjang.

’’Mei Hwa, aku tak suka kau tertawa begitu,’’ ujarmu.

’’Kamu lucu, Pram. Sungguh lucu,’’ aku tak mampu menghentikan tawaku.

’’Aku bukan pelawak, Mei Hwa!’’

’’Aku tahu. Tapi malam ini kau lucu sekali, Pram!’’

Kau menatapku lurus-lurus.

’’Pram, belakangan ini kegelisahan hatimu begitu kentara. Seolah-olah tanpa akhir. Padahal itu bukan watakmu. Kau adalah manusia optimistis. Sekarang, kau berubah sentimentil.’’

Kau diam saja.

’’Kau pernah mengecam keputuasaan Chairil Anwar yang kau tangkap lewat salah satu puisinya. Dan, malam ini kau justru mengucapkannya. Lucu sekali, kan?’’

Kau menarik napas berat. Kemudian berucap pelan, ’’Mei Hwa, aku memang seperti Chairil. Aku memang merasa putus asa....’’

’’Tidak, Pram! Meskipun kau juga penyair, tapi aku tidak setuju kau menyamakan dirimu dengan Chairil,’’ aku protes. ’’Aku menghargai keputusasaan Chairil saat terbaring sakit menjemput maut. Tapi kau? Kau sehat, Pram!’’

’’Bahwa aku bukan Chairil, semua orang tahu. Bahwa fisikku sehat, itu tidak keliru. Tapi jiwaku sakit, Mei Hwa. Kegelisahanku adalah penyakit jiwaku. Kegelisahan itu sangat manusiawi dan bukan monopoli mereka yang sekarat saja.’’

’’Begitu beratkah beban jiwamu, sehingga kau mendramatisir di hadapanku?’’

’’Jujur saja: ya.’’

’’Karean kau khawatir tak dapat memiliki aku seutuhnya?’’

’’Benar.’’

’’Kau kayak tukang ramal saja, Pram!’’

’’Kamu berhak menertawakanku, Mei Hwa.Tapi waktu yang akan membuktikan kebenaran kata-kataku.’’ [bersambung]

0 komentar: