Jumat, 08 Februari 2008

Retorika

Di dalam Kamus Kata-kata Serapan Asing di dalam Bahasa Indonesia karya J.S. Badudu (Kompas, 2003) ada dua pengertian atau makna untuk kata retorika: (1) keterampilan menggunakan bahasa secara efektif sehinga menimbulkan keindahan, (2) seni berpidato dengan menggunakan bahasa yang muluk-muluk dan bergaya bombastis.


Pada suatu hari, seorang pemilik Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia mengatakan, ’’Lha iya, kami (para pemilik PJTKI) ini kurang apa? Mereka itu (para calon tenaga kerja yang kepengin bekerja di luar negri) bukan sanak dan bukan pula saudara kami. Mereka mendatangi kami, kami kasih utangan, kami bimbing, kami latih untuk dapat bekerja di luar negri. Itu kan karena baiknya kami?’’

Ketika mendengarnya, saya hanya merasakan dan di dalam hati langsung menilai bahwa kalimat-kalimat itu sangat retoris. Berarti juga mengandung pengertian sangat indah, ya? Ya! Dan sangat bombastis? Ya! Kalimat-kalimat itu pun lumayan sakti, setidaknya memiliki kekuatan sihir. Dan di Fakultas Sastra, pastilah penciptanya layak mendapatkan nilai sempurna untuk mata kuliah Retorika. Begitulah penilaian saya. Semoga Anda pun menyetujuinya, walau tidak sepenuhnya. Kalimat itu, asal tahu saja, bukanlah kalimat yang saya reka hanya untuk memenuhi kewajiban mengisi halaman ini, tetapi memang saya dapatkan dari dunia nyata, yang kadang memang terasa seperti sesuatu yang –setidaknya bagi saya—cat katon cat ilang, alias samar-samar, alias sebentar tampak sebentar lenyap. Dunia yang tak, atau belum, saya pahami sepenuhnya.

Bahwa kalimat-kalimat itu sangat indah, memang iya, untuk cakupan makna bahwa keindahan juga meliputi hal-hal yang kecut, getir, pahit, dan bahkan tragis. Bukankah banyak seniman menciptakan lakon-lakon yang sedemikian indah dan sekaligus tragis? Lakon Romeo dan Yuliet, misalnya, kurang indah apa? Tetapi, sekaligus, juga kurang tragis apa?

Betapa indahnya ketika ada orang yang bukan sanak dan bukan pula saudara kita melakukan amal kebaikan pada kita, memberikan ilmu dan bahkan pinjaman kepada kita. Tetapi, di atas sana, Tuhan berseru, nilai amal seseorang itu tergantung pada niatnya. Tak begitu soal berapa banyak yang kita amalkan, tetapi adalah perkara besar, seberapa tinggi tingkat ketulusan kita. Manakah yang lebih kuat mendorong perbuatan yang kemudian disebut sebagai kebaikan para pemilik PJTKI itu? Pamrih untuk mendapatkan keuntungan material di kemudian hari ataukah kepuasan karena telah membantu sesama manusia? Apakah para pemilik PJTKI itu memang layak dijuluki sebagai para filantrop, para dermawan pecinta sesama manusia? Itulah pertanyaan yang selalu menggelayut di langit-langit batin saya.

Bayangkanlah, ketika kalimat-kalimat, ’’Lha iya, kami ini kurang apa? Mereka itu bukan sanak bukan pula saudara kami. Mereka datang kepada kami dan kami memberi mereka ketrampilan, juga pinjaman, untuk bisa berangkat dan bekerja di luar negri…. Bla.. bla…bla…!’’ itu diberondongkan. Saya ngeri membayangkan efeknya yang bisa setara dengan ribuan bahkan jutaan peluru kaliber mematikan, paling tidak melumpuhkan orang-orang yang sebelumnya sudah dikalahkan.

Maka, sesungguhnya kini saya sebegitu menyesal, mengapa saat itu membiarkan saja kalimat-kalimat tersebut diberondongkan, mengapa saya hingga sekarang masih saja memandang dunia itu, dunia yang terkait dengan seluk-beluk ketenagakerjaan kita, sebagai dunia cat katon cat ilang.

’’Kalimat-kalimat itu memang sebegitu menyihir, hingga saya pun tersihir, dan oleh karenanya saya tak layak berlarut-larut dalam penyesalan,’’ demikianlah saya menyihir diri sendiri. [Bonari Nabonenar]

0 komentar: