Sabtu, 23 Februari 2008

PONIRAN

Linda Setiorini

Matahari sudah di ubun-ubun saat Dina sampai di Causeway Bay. Meskipun harus berpacu langkah dengan orang-orang yang lalu lalang, bibir Dina terus senyum. Bahkan, kadang cekikikan sendirian. Oh, tidak sendirian. Ia lagi asyik ngobrol dengan sang doi yang di Korea.



’’Udah ya say, ntar jam tiga ketemu,’’ dengan manja Dina pamitan.

’’Ketemu di mana?’’dari seberang sang kekasih menggoda.

’’Ah, kamu! Udah ah!’’ suara Dina dibikin genit seraya mengecup HP-nya sampai-sampai lipstiknya tertinggal di casingnya.

’’Kok jam segini baru datang Din?’’selalu itu yang ditanyakan Ida setiap kali ketemu, padahal entah sudah berapa kali Dina menjelaskan kepada semua temannya termasuk Ida bahwa sebelum dia keluar libur, mesti bersih-bersih rumah dulu, lalu menyiapkan sarapan, lalu membangunkan anak plus membantu mereka gosok gigi lalu mengantarkannya ke rumah bobo.

’’Ini ada lodeh kacang dan rebung kesukaanmu Din, pedes banget lho!’’ tawar Mbak Jum seraya menyodorkan piring plastik.

Hari ini Mbak Jum ulang tahun. Teman-teman seapartemen diundang sehingga suasana begitu akrab karena hampir tiap hari ketemu dan sudah saling mengenal. Dina geli saat menyaksikan Siti dan Rina duduk terpisah, padahal dulunya mereka berdua adalah sahabat akrab, setiap hari belanja bareng, libur bareng, pulang bareng, makan sepiring berdua, bahkan mulai dari sepatu sampai topi selalu kembar. Tapi, sekarang mereka ibarat air dan minyak. Rina berdiri sambil merapikan roknya, sudah jelas bahwa dia ingin meninggalkan tempat itu.

’’Mbak, aku pergi dulu ya, mau ketemu teman. Mmakasih lho atas undangan dan makanannya,’’pamit Rina basa-basi. Mbak Jum cuma tersenyum seraya mengangguk.

’’Nemuin temen ato.........?? Ida yang usil menggoda seraya melirik Siti. Mbak Jum menyodok Ida, sementara Siti pura-pura asyik membaca majalah. Dina tersenyum geli melihat tingkah mereka.

Musik dangdut mengalun merdu dari tape recorder-nya Yanti yang selalu dibawa setiap dia libur.

’’Kamu juga mau nemuin temen ya Sit?’’ledek Ida saat meliat Siti mengenakan sepatunya.

’’Nggak mau ke jisok kok,’’elak Siti.

’’Alah, paling-paling ntar baliknya di tempat chatting.’’

’’Itu kan urusan dia Da! Kamu tuh cerewet banget sih?’’ bentak Mbak Jum, sementara Ida cuma nyengir.

’’Siti sama Rina itu masih musuhan ya?’’ tanya Anik yang biasanya libur cuma sebulan dua kali.

’’Ya.......sejak Siti tahu bahwa Daniel itu adalah Poniran, lalu meledaklah perang itu,’’ jawab Ida antusias.

’’Ya ampun! Jadi mereka nggak bertegur sapa itu hanya gara-gara cowok ya?’’ tanya Gianti penasaran.

’’Ya iyalah! Tadinya sih nggak tau siapa yang Poniran duluan. Siti punya cowok namanya Jimmy, lalu Rina punya cowok namanya Daniel. Usut punya usut ternyata Jimmy ama Daniel itu satu orang, nama sesunguhnya Poniran,’’ dengan fasihnya Ida menjelaskan dan disambut tawa geli teman-teman yang ikut mendengarkan.

’’Trus gimana kok bisa ketahuan kalau cowok mereka sama?’’ tanya seseorang yang duduk disebelah tempat mereka, rupanya suara Ida yang bergema menarik perhatian dia.

’’Lho, mereka berdua dulunya kan sahabat akrab. Biasalah berbagi cerita tentang cowoknya, lalu saat Siti utak-atik HP-nya Rina dia melihat nomor HP Daniel sama dengan nomor HP Jimmy.’’

’’Trus Poniran itu siapa?’’ tanya seseorang yang juga ikut-ikutan nimbrung.

’’Ya Jimmy alias Daniel itu, biasa pakai nama samaran, masak mo ngomong Poniran… kan nggak keren?’’ jawab Ida.

’’Kok bisa ketahuan kalau ternyata dia adalah Poniran?’’ sambungnya.

’’Begini, tadinya kan Rina ngajak aku chatting, dia mau kasih tahu aku yang namanya Daniel, dan tak disangka tak diduga ternyata yang namanya Daniel alias Jimmy itu adalah Poniran tetanggaku di kampung,’’ kembali mereka tertawa mendengar cerita Ida.

’’Emang Poniran itu cakep ya Mbak?’’

’’Wow......... jangan di tanya, dia cowok macho men...! Di kampung jadi rebutan, di sekolah jadi idola, pacarnya banyak, tapi sayangnya dia buaya, hampir semua cewek sekampung digasak..."

’’Termasuk kamu kan?’’ potong Mbak Jum.

’’Ih ya nggaklah!’’ bantah Ida seraya memonyongkan bibirnya.

’’Trus Mbak............siapa tadi?’’ mereka makin penasaran dengan cerita Ida.

’’Siti dan Rina?’’ potong Ida.

’’Iya, gimana bisa kenal sama Poniran?’’

’’Ya ampun, ya lewat chattingan Non, emang nggak tahu jika mereka yang seneng chattingan itu sebenarnya orangnya yang asli belum lihat, tapi udah ngomong cintalah, sayanglah, malah manggilnya aja udah papa mama, padahal nggak tahunya di belakang mungkin dah beranak istri, atau duda, atau mungkin pacarnya seabrek tapi ngakunya masih ting-ting,’’ Ida berhenti sejenak untuk mengambil nafas sambil menelan ludah. ’’Kayak Poniran itu, memang sih masih single, cakep, dan banyak deh kelebihannya, tapi jika makan hati apa untungnya, tampangnya aja yang oke, tapi hatinya berbisa, mungkin saja selain Siti dan Rina dia juga menggombali sama cewek lain, tapi yang pasti nggak mungkinlah jika dia pake nama Poniran, makanya jika chattingan hati-hati, jangan mudah tergoda hanya karena tampang, siapa tahu nasib kita sama seperti Siti dan Rina, udah diduain persahabatan putus lagi, tapi ya.............. namanya juga cinta…’’

Dina mencibir mendengar penuturan Ida yang sok bijaksana, dari cara Ida bercerita, dan juga caranya memuji Poniran kayaknya Ida pun punya rasa suka sama Poniran, tapi pura-pura ngasih nasehat, huh dasar, emang Poniran itu kayak apa sih, dilihat dari namanya saja nggak ada yang istimewa, kampungan, pantesnya sih jadi pengembala sapi aja, ato tukang kebun juga boleh, tapi untung juga dia bisa lolos masuk Korea, batin Dina jengkel.

Jarum jam menunjukkan hampir pukul tiga sore,berarti Dina harus online untuk ketemu sama pujaan hatinya.

’’Mbak aku pergi dulu ya?’’ bisik Dina pada Mbak Jum.

’’Hati-hati ya,jangan lama-lama lo, ntar habis duit banyak, kamu mesti ngirit Din!’’ pesan Mbak Jum yang sudah paham ke mana Dina hendak pergi. Selama ini Dina memang paling dekat sama Mbak Jum.

’’Iya Mbak, nanti Mbak Jum tetap di sini kan?’’

’’Kalau nanti aku sudah nggak di sini kamu telepon saja.’’

’’Emang kamu mau ke mana Din?’’ tanya Ida.

’’E.............. ke Chandra kirim uang.’’ jawab Dina seraya berlalu. Yang namanya rahasia jangan sampai Ida tahu kalau tak ingin bocor kayak mulutnya yang ember itu. Dina berlari menerobos orang-orang yang memenuhi Taman Victoria, saat hendak naik lift disebuah building, Dina bertemu dengan Siti, sejenak Dina terpana melihat penampilan Siti yang telah berubah, tadinya Siti cuma pake kaos stret sama celana jeans, tapi sekarang dia memakai baju semacam kemben yang jika ditarik ke bawah kelihatan gunungnya dan jika ditarik ke atas kelihatan pusarnya. Perhisannya bergelantungan bak seorang artis dengan make up warna-warni. Siti benar-benar persis seperti bintang film, ah hanya demi Poniran aja sampai-sampai dia berpenampilan demikian, batin Dina.
’’Mau chattingan ya?’’ sapa Dina. Siti cuma mengangguk sambil tersenyum.

’’Sama, Poniran ya?’’ goda Dina yang membuat Siti tersipu-sipu.

’’Chattingan di mana Sit?’’ tanya Dina saat mereka telah masuk lift.

’’Di lantai 7,’’ jawab Siti.

’’Kebetulan aku juga mau ke sana, aku tadi udah pesen tempat,’’ ujar Dina.

Saat mereka tlah sampai di lantai 7, tempatnya masih penuh, sedangkan jam dinding menunjukkan pukul tiga kurang lima menit.

’’Sebentar ya Mbak, mereka bertiga hampir sign out kok,’’ ujar penjaga warnet begitu melihat Dina dan Siti datang. HP Dina bergetar, ada SMS masuk,’’Say aku dah on line lho, kapan kamu datang? Kangen nih!’’ begitu pesan dari Riyan, kekasih Dina di Korea.

’’Kamu disebelahku saja Din,’’ kata Siti saat tiga orang cewek meninggalkan meja komputernya, kebetulan tempatnya bersebelahan.

Dengan cekatan Dina segera membuka id dan password-nya, lalu masuklah beberapa pesan dari Riyan yang katanya tak sabar ingin segera melihat wajah cantiknya Dina.

Setelah saling mengirim came, Dina tersenyum menatap gambar Riyan yang kelihatan makin cakep saja dengan rambut yang dibiarkan panjang. Selain tampan, Riyan juga pandai merayu, kaya akan humor dan pintar bermain kata-kata, ditambah lagi suaranya yang merdu saat menyanyikan lagu-lagu Malaysia, sehingga Dina rela menghabiskan uangnya berdolar-dolar hanya untuk mendengarkan suara Riyan setiap malam.

Empat bulan sudah Dina menjalin cinta dengan Riyan lewat internet dan telepon, rupanya Dina sudah begitu percaya pada Riyan, sehingga Dina benar-benar mencintai Riyan setulus hati. Tak pernah sedikit pun ada keinginan di hati Dina untuk menghianati ataupun membohongi Riyan meskipun begitu banyak cowok yang menggoda dan mengharapkan cinta Dina.

Dina tersenyum-senyum setiap kali membaca tulisan yang dilemparkan Riyan dari seberang, sementara itu Siti terus cekikikan di sebelah Dina.

’’Busyet, katanya jangankan mobil, pengen pesawat aja dibeliin kalo ada yang jual, hi hi hi.....!’’ Dina cuma mencibir. Dasar rayuan gombalnya Poniran, batin Dina.

Karena Siti terus-terusan tertawa Dina jadi penasaran ingin melihat tampangnya Poniran.

’’Lho Sit, itu kan Riyan!’’ pekik Dina kaget saat karena melihat wajah Riyan ada di komputernya Siti.

’’Apa, ini lo Jimmy, eh maksudku Poniran,’’ jawab Siti tanpa menoleh.

’’Tapi aku juga lagi chattingan sama dia,’’ suara Dina gemetar menahan beribu perasaan. Kontan saja Siti langsung menatap Dina, lantas melihat ke komputer Dina.

’’Lho, kok kamu chattinga sama dia sih?!!!’’ kali ini Siti yang menghardik Dina seraya memelototkan mata.

’’Kamu sendiri ngapain juga chattingan sama dia?!!!’’ suara Dina tak kalah kerasnya karena juga emosi. Karuan saja mereka jadi perhatian orang-orang yang sedang berada di tempat itu.

’’Mbak, Mbak, kalau berantem jangan di sini ya, berisik nih, udah tempatnya sempit lagi…’’ tegur seseorang yang lagi chattingan di dekat mereka. Tentu saja muka Dina jadi memerah karena malu.

Dengan kasar Dina mematikan komputernya, dan setelah membayar sewa komputer tersebut, Dina segera berlari keluar melalui tangga. Hatinya hancur dan pilu, sumpah-serapah pun keluar dari bibirnya yang mungil. Namun jauh di dasar hatinya Dina tak dapat berbohong bahwa dia memang mencintai Riyan yang kini telah berubah menjadi Poniran. []

[Salam sayang buat seseorang di Korea, biarlah waktu yang akan menyatukan cinta kita].
dari Peduli 13 dan 15

0 komentar: