Sabtu, 23 Februari 2008

Dhawet Jabung Dhawet Khas Ponorogo


Jabung terletak di salah satu sudut (luar) kota Ponorogo, sekitar km 5 arah tenggara. Jika Anda akan masuk kota Ponorogo melalui Trenggalek, berbelok ke kananlah di perempatan Jetis. Anda akan melewati jembatan dan kemudian sampai pada bang-jo (traffic-light) pertama. Di sekitar bang-jo itulah puluhan warung dawet buka dari pukul 9.00 hingga sekitar pukul 17.00 WIB/petang.


Di situlah Anda bisa menikmati dawet khas Ponorogo, yang lebih dikenal dengan Dawet Jabung, yang murah-meriah, hanya Rp 1.000/mangkuk. Selain dawet disediakan pula jajanan seperti kacang goreng, klici, tahu goreng, ote-ote, tempe goreng, dan lentho. Semuanya ditanggung murah meriah.

Dawet Jabung benar-benar khas, dibuat dari pati aren (enau), ketan hitam, dan gula enau/kelapa. Salah seorang penjual dawet mengaku memakai pemanis dari badheg kelapa alias bakal gula kelapa. Jadi, badheg yang baru diambil dari irisan tangkai bunga kelapa (manggar) atau hasil deres itu langsung digunakan sebagai pemanis tanpa menunggu diproses jadi gula. Hasilnya adalah rasa manis yang benar-benar seger, nyes!

Bedanya lagi dengan dawer khas daerah lain seperti Dawet Ayu Banyumas, Dawet Kudus, dan lain-lainnya, Dawet Jabung ini memakai santan pula, tetapi takarannya tidak terlalu banyak, sehingga tidak terasa neg. Bahkan, menurut pengakuan Yanti, seorang penjual dawet yang mengaku bekerja pada orang yang memberinya gaji Rp 10.000/hari, pernah ada seorang laki-laki yang kuwat minum sampai habis sepuluh mangkuk lebih karena taruhan dengan temannya.

Berebut Lambaran

Yang benar-benar unik adalah cara penyajiannya. Mangkuk digunakan sebagai tempat dhawet, dengan sendok pendek, dan disodorkan ke pembeli dengan alas/lepek/lambaran, tetapi pembeli hanya boleh mengambil mangkuknya, sedangkan lambaran-nya tetap berada di tangan si penjual. Akibatnya, pembeli yang baru pertama kali datang biasanya akan memegangi lambaran-nya ketika disodori dan terjadilah tarik-menarik, seperti berebut dengan penjualnya.

Menurut Yanti, orang Ponorogo yang mengajak temannya dari luar kota untuk menikmati dawet Jabung sering mengoda si teman dengan cara membiarkannya untuk mengambil lebih dulu, tanpa diberitahu bagaimana adat-nya. Dan ketika terjadi tarik-menarik lambaran, ditertawailah si teman itu.

’’Kata orang lho Mas, ini Cuma kata orang, aku sendiri gak ngerti. Katanya, kalau lambarannya kita berikan, itu tandanya kalau berjodoh,’’ tutur Yanti. Lho?

Pengin Buka Sendiri

Yanti sebenarnya bukan perempuan asli Ponorogo. Ia berasal dari Nglames, Madiun. Sebelumnya selama 4 tahun ia bekerja di sebuah pabrik jamu di Madiun. Tetapi, karena ada konflik rumahtangga dan ia harus bercerai dengan suaminya, ia lalu membawa anak semata wayangnya ke Ponorogo atas ajakan seorang teman, lantas memasukkan anakknya ke sebuah pondok pesantren, dan ia sendiri bekerja sebagai penjual dawet itu.

Ditanya mengenai pendapatan dari jualan dawet itu, Yanti mengatakan kalau hari-hari biasa berkisar antara Rp 150.000 – Rp 200.000/hari. Tetapi pada hari hari mendekati dan sesudah lebaran, pendapatan bisa melonjak sampai Rp 1 juta sehari. ’’Pernah kok, sampai Rp 1.200.000 dalam sehari,’’ imbuh perempuan yang mengaku medapat buruhan dari pemilik warung Rp 10.000/hari ini.

Apakah dengan penghasilan seperti itu Yanti merasa cukup dan kerasan? ’’Sebetulnya pengin cari pekerjaan lain kalau ada, misalnya di toko atau apa. Tetapi ada teman yang menyarankan untuk membuka warung dawet sendiri. Di kampung saya di Nglames sana sebenarnya ada lahan di pinggir jalan yang bisa aku gunakan, tetapi masih belum punya modal yang cukup,’’ jawabnya. [KEN]

Peduli 20

0 komentar: