Minggu, 24 Februari 2008

CINTA TAK PERNAH MATI [1]

Oleh: Sugeng Wiyadi

PRAM, air hujan berjatuhan di atap rumah ketika gagang telepon aku letakkan pada tempatnya. Mendung pun luruh di malam sepi. Di ruang tengah ini aku menikmati kekosongan seorang diri. Kepada siapa aku mesti membagi dukaku ini, Pram? Kepada Mama, Papa, atau Jie, suamiku? Mereka tak ada. Mereka sudah pergi ke alam keabadian. Kau masih ingat peristiwa tragis yang menimpaku beberapa tahun yang lalu bukan?



Waktu itu kami pergi tamasya ke Bromo. Kabut tebal menghadang kami di tengah perjalanan. Tapi Jie—yang belum paham liku-liku jalanan—terlalu berani mengemudikan mobil. Dan kami semua harus membayar mahal kecerobohan Jie. Mobil kami ambyur ke dalam jurang. Mama, Papa, dan Jie meninggal seketika di tempat kejadian. Sedangkan aku? Ah, aku masih harus merasa beruntung dengan keadaanku yang sekarang.

Pram, aku sangat kaget ketika menerima interlokal dari Yudhis—teman kita dari Yogya. Rasanya aku tak percaya bahwa begitu singkat perjalanan sejarahmu. Rasanya kita belum begitu lama berpisah. Ternyata dua puluh tahun sudah kita dipisahkan oleh waktu, jarak, dan keadaan. Dan kini—ketika aku merasa sepi melewati hidup seorang diri—aku mesti kehilangan lagi seseorang yang pernah begitu dekat dengan diriku.

Lalu, kepada siapa aku mesti membagi dukaku, Pram? Kepada anak-anakku? Ah, Pram, aku tak punya anak. Perkawinanku dengan Jie terbilang begitu singkat. Lalu, haruskah aku membagi dukaku pada Mooi—herderku yang kini mulai kolokan, kurus, dan sakit-sakitan itu? Atau kepada Bik Sumi, pembantuku yang sangat setia itu?

Rasanya tak mungkin.

Tiba-tiba saja aku mendapat pembenaran atas mimpiku beberapa hari yang lalu. Dalam tidurku, aku seolah-olah melihat matahari padam dan rembulan pecah berserakan. Adapun maknanya ialah: setelah orang-orang yang kukasihi pergi meninggalkan aku, pada gilirannya kau pun membiarkan aku sendirian. Mungkinkah mimpi itu sengaja kau kirimkan sebagai perlambang untukku, Pram?

Di tengah sepi malam dalam renyai hujan, kunikmati duka-nestapa ini sambil mengenangmu. Mengenang profilmu, pribadimu, sifat romantismu—yang pernah sengaja kulupakan selama bertahun-tahun. Barangkali untuk dapat menemukan kembali dirimu secara utuh adalah suatu kesia-siaan. Tapi tak apa. Aku berharap dengan begitu aku masih dapat menebus kesalahan dan dosa-dosaku kepadamu. Dengan begitu kau dapat memaafkan aku. [bersambung]

0 komentar: