Jumat, 08 Februari 2008

Cantik untuk Siapa? [2]

Siti Aminah

Tanpa kita sadari ternyata dalam urusan kecantikan globalisasi melakukan penetrasi sedemikan besar. Ia telah merombak tatanan kecantikan bangsa-bangsa yang berbeda dengan satu tatanan tunggal, kecantikan versi Bangsa Eropa. Tentu perombakan dan pengusungan nilai kecantikan baru ini bukan tanpa maksud. Kapitalis berdiri di belakang mereka dengan serangkaian produk yang dijanjikan akan mampu merealisasikan mimpi sebagian besar perempuan.



Tanpa sempat memikirkannya, ternyata pikiran kita telah dijajah oleh konsep cantik yang seragam itu, sehingga memudahkan pemilik modal memasarkan produk kecantikannya di seluruh dunia. Dan tanpa berpikir panjang para perempuan rela merogoh kocek dalam-dalam untuk mengejar mimpinya menjadi cantik. Padahal dengan konsep cantik ala Eropa seperti sekarang, tak mungkin bangsa Asia atau Afrika mewujudkannya. Kecantikan yang saat ini ditawarkan hanyalah utopia yang sengaja diciptakan oleh para pemilik modal (produsen alat kecantikan) untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka itulah seluruh bagian tubuh perempuan dicitrakan. Misalnya bulu mata yang indah adalah yang lentik, rambut yang cantik adalah yang lurus dan panjang, dan sebagainya. Semuanya itu dimunculkan agar semakin besar peluang perusahaan mengambil keuntungan dengan memroduksi beragam produk kecantikan. Ketika citra kecantikan telah dimiliki oleh para perempuan di mana perusahaan tersebut memasarkan produknya, maka ia akan memunculkan citra kecantikan baru. Contohnya, rambut berwarna yang kini mewabah di Asia yang sebenarnya tak lepas dari strategi dagang produsennya.

Melihat betapa antusiasnya perempuan ingin menjadi cantik tanpa peduli pada penderitaan yang harus dijalani, kita dapat berasumsi bahwa kecantikan tentunya bernilai luar biasa bagi mereka. Barangkali memang demikian. Bukankah jika seorang perempuan terlihat cantik, ia akan lebih banyak mendapat perhatian? Termasuk lebih gampang mendapatkan pekerjaan. Tengok saja iklan lowongan kerja, banyak di antaranya menyertakan syarat cantik atau penampilan menarik. Harapannya, majikan akan teruntungkan karena anggapan bahwa kecantikan karyawan akan mengundang datangnya pelanggan.

Dari gambaran demikian, tampak bahwa sebenarnya kecantikan tidak pernah berdiri sendiri. Jika kita telusur ke belakang, konsep kecantikan ternyata sarat dengan nilai maskulinitas. Jauh sebelum industri dan tekonologi komunikasi berkembang hebat seperti sekarang nilai kecantikan telah dihidupkan. Ia ada untuk melayani hasrat kekuasaan para penguasa atau orang-orang kaya. Kepemilikan terhadap sosok yang cantik pada zaman ini menjadi alat peneguhan status sosial. Maka, berlomba-lombalah para penguasa dan orang-orang kaya itu mendapatkan perempuan tercantik yang ada pada zamannya. Semakin cantik perempuan yang dapat disunting oleh seseorang, semakin terhormatlah ia. Siapa penentu nilai cantik itu? Tentu saja para penggunanya, para penguasa dan orang-orang kaya yang kesemuanya adalah laki-laki.

Keinginan menjadi cantik memang alamiah sifatnya. Dengan wajah cantik dan tubuh indah jalan kesuksesan seolah terbuka lapang. Kecantikan dipuja di mana-mana. Industri hiburan yang gemerlapan menunggu si cantik dan menjanjikan ketenaran, kesuksesan. Cantik adalah impian jutaan orang. Banyak yang tak mau berpikir panjang bahwa sebenarnya industri hiburan dan industri kecantikan itu ada dengan prinsip saling memanfaatkan dan menguntungkan. Dalam kondisi ini, maka hasrat menjadi cantik tanpa diimbangi hasrat membuka pikiran akan mengantarkan masyarakat menjadi bulan-bulanan industri.

Melihat sedemikian hebat kecantikan telah diperalat, kini saatnya kita bertanya: Sebenarnya kecantikan itu untuk siapa? [habis]

0 komentar: