Minggu, 03 Februari 2008

Janda dalam Perspektif Perempuan

Predikat janda sering dipandang negatif. Apalagi jika dialami pada usia masih muda atau lebih dikenal sebagai janda kembang. Bagaimanakah liku-liku kehidupan sosial para janda dan peran mereka sebagai single parent?


Menyandang status janda, apa pun masalahnya, sering dianggap sebagai produk gagalnya perkawinan. Kasus seperti itu tidak dimonopoli salah satu golongan rumah tangga. Siapa pun pasangan suami istri itu, dari mana pun mereka berasal, bila tidak ada lagi komitmen dalam perkawinan, bisa saja terjadi perceraian. Itu berarti pihak perempuan (istri) merugi karena menyandang status janda.

Dalam masyarakat yang masih mengagungkan tingginya nilai perkawinan, perceraian memang membuat pasangan suami-istri mendapat tantangan berat, baik itu dari masyarakat sekitar maupun dari keluarga. Keinginan untuk berusaha melanjutkan hidup setelah dihadapkan pada keretakan rumah tangga, ternyata, juga memiliki dampak sosial yang cukup besar, terutama bagi pihak perempuan. Apalagi statusnya sebagai single parent.

Inilah yang melatarbelakangi Dr Widjanjanti Mulyono Santoso, staf pengajar FISIP UI, meneliti tentang janda dalam perspektif perempuan. Penelitian itu bekerja sama dengan Ford Foundations, Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI, Kartini Network, dan Jagori-India. Peneliti dari departemen sosiologi FISIP UI tersebut ingin mengetahui liku-liku kehidupan para janda dalam perjuangan hidup sebagai single parent serta soal kehidupan seksualitasnya.

Penelitian tersebut digarap dengan perspektif perempuan. Keterlibatan peneliti dengan subjek penelitian merupakan informasi yang bagus dan harus dipaparkan. Selain itu, isu yang digarap, seperti masalah janda, merupakan masalah yang melibatkan perempuan dan sudah menjadi pembicaraan sehari-hari.

Berdasar pengalaman penelitian dan pengalaman pribadi peneliti, masalah yang sangat sensitif tersebut akan memengaruhi penelitian. Dalam penelitian itu, peneliti melakukan riset dengan menjaring enam informan yang semuanya menyandang status janda, baik cerai, ditinggal suami, maupun suami meninggal.


Status Janda

Status janda keenam informan itu berangkat dari persoalan yang berbeda. Mulai menjalani mahligai perkawinan selama beberapa tahun hingga membuahkan keturunan.

Ada kasus perceraian dengan informan menggugat cerai suami karena merasa terbebani dengan persoalan rumah tangga. Juga banyak alasan lain yang dikemukakan informan. Misalnya, tidak ada kecocokan dalam rumah tangga, pembatasan ruang gerak istri, dan alasan-alasan yang tidak masuk akal, seperti guna-guna.

Tapi, sebelum memilih bercerai, para janda itu juga melakukan upaya untuk mempertahankan rumah tangganya. Informan yang keretakan rumah tangganya disebabkan adanya wanita idaman lain (WIL) juga sering melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan rumah tangganya. Misalnya, berdialog dengan suami.

Hanya, yang sering terjadi bukannya mendapatkan solusi untuk membenahi kondisi rumah tangga, justru informan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).


Stigma dalam Masyarakat

Menyandang status sebagai janda merupakan hal berat secara psikologis. Apalagi stigma status janda selalu dianalogikan dengan hal negatif. Misalnya, sering terlontar ucapan "perempuan gatel". Salah seorang informan mengungkapkan bahwa dirinya dipersalahkan atas perceraian itu.

Salah seorang informan bahkan pernah mengalami perlakuan kasar dengan cara dipanggil yang tidak biasa. Suatu waktu informan pulang malam. Ketika keluar dari bus, punggungnya ditepuk tukang sayur dekat rumahnya dan mengatakan, "Dasar janda".

Meskipun hal itu barangkali lelucon, orang lain yang mendengar bisa berpikir lain-lain. Orang lain mungkin akan berpikir bahwa janda merebut suami orang, tetapi informan merasa tidak peduli dengan pikiran tersebut. Dia mengaskan, bukan janda yang merebut suami orang, tetapi lelaki itu yang mendekati janda. Bukan perempuan yang membuat penderitaan, tetapi lelaki yang membuat perempuan menderita.

Beda lagi yang dialami informan lain. Dengan menyandang status sebagai janda di lingkungan kelas menengah bawah, dia merasakan begitu beratnya menjadi janda. Masyarakat telanjur mencap janda sebagai status yang rendah dan lingkungan selalu merasa curiga.

Sebenarnya, stigma janda yang tidak baik lebih banyak beredar di kalangan istri atau perempuan yang takut suaminya direbut atau digoda. Misalnya, yang dituturkan salah seorang informan. Amarah itu muncul karena dia menjadi bahan omongan atau pergunjingan tetangganya. Dia mengaku, lingkungannya memang termasuk kelas menengah ke bawah, yang kebanyakan orang masih sulit menerima perempuan hidup sendiri. (ryan/ade permana) []

Jawa Pos, Rabu, 11 Juli 2007

0 komentar: