Selasa, 12 Februari 2008

AWAL SEBUAH JAWABAN [SASTRA BABU]


Sebuah keinginan adalah juga harapan. Dan memiliki sebuah harapan adalah yang bisa membuat seseorang tergerak untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginannya tersebut. Ketika keinginan itu sudah sedemikian kuatnya mendesak untuk direalisasikan, tentunya saat itu pulalah sebuah usaha akan dimulai. Hal inilah yang berlaku terhadap diri saya sendiri ketika timbul keinginan untuk menelusuri tentang penggolongan sastra hingga tercetusnya sastra babu.


Seperti yang sudah saya sebutkan di postingan yang lalu (SIAPA TKI di OTAK ANDA). Bahwa saya tetap ingin mencari jawaban tentang pengotakan jenis sastra. Tentunya akan ada pertanyaan: kenapa Nera segitunya sich...? Ya, karena saya tengah ada dalam komunitas yang dikotak-kotak ini. Dan kami, para korban pengotakan hanya bisa diam tanpa berani untuk bertanya, apalagi menentang. Kenapa sastra yang mengandung unsur-unsur seni estetika itu dipetak-petak menjadi berkasta-kasta. Bahkan saya sempat su'udzon, bahwa bagi mereka (pengkotak) TKI memiliki nilai jual yang tinggi. Kenapa itu sempat terlintas dalam pikiran saya? Ya, karena meski digolongkan menjadi kasta sastra babu, ternyata karya-karya TKI tetaplah dicari. Diminati sebagai buah karya yang unik, lain dari pada yang lain dan bercerita tentang realitas yang penulis hadapi.

Mulai dari situlah, keinginan saya semakin hari semakin menuntut untuk mencari jawaban dari banyak kenapa yang ngendon di benak. Dan kemarin lusa, kira-kira habis buka puasa. Saya sempat ngobrol melalui YM dengan Sony de Bono (Penulis dan sastrawan senior) dari Surabaya. Yang juga penggiat milis Apresiasi-Sastra. Dalam kesempatan itu Cak Bono (begitu saya biasa memanggil beliau), mengabarkan bahwa sastra TKI sedang jadi bahan perbincangan hangat di kalangan sastra tanah air. Cak Bono juga memberikan dorongan spirit buat saya supaya tetap semangat untuk terus menoreh karya di dunia kepenulisan. Saya terima dengan suka cita cambukan yang diberika oleh Cak Bono. Tapi dalam kesempatan itu pula saya menanyakan banyak kenapa yang saya simpan. Yang ternyata dari Cak Bono pribadi kurang setuju dengan adanya pemetakan kasta sastra itu. Meski mungkin sebenarnya bukan bermaksud untuk mendiskriminasi sebuah karya menjadi berkasta-kasta. Tapi tak urung pernyataan Cak Bono itu saya jawab dengan berbagai protes. Kalau memang tidak bermaksud untuk mengotak-ngotak, kenapa harus memakai sebutan babu? Mungkin masih ada bahasa lain yang lebih bersifat menghargai dari sekedar kata babu itu. Dan lagi, jika memang sastra dari teman-teman perantau digolongan dalam kasta babu, buat apa pula para senoir melirik karya-karya TKI dan menjadikan bahan diskusi yang menarik. Bahkan menerbitkan karya itu menjadi sebuah buku.

Sekali lagi Cak Bono mengungkapkan salut atas apa yang saya perjuangkan. Tapi sungguh!!! Bukan rasa salut yang saya harapkan, tapi lebih pada penghargaan atas karya teman-teman TKI pada umumnya. Bukan untuk saya pribadi, tapi untuk semua. Karena saya tahu pasti, betapa teman-teman yang bekerja di rantau berusaha memanage waktu sedemikian rupa untuk bisa menulis, dan membuahkan karya. Itu karena kecintaan terhadap dunia tulis menulis itu sendiri. Bahkan tak sedikit di antaranya yang baru bisa menulis selepas jam satu dini hari. Itu karena tuntutan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Nah... apakah perjuangan seperti itu hanya dihargai sebesar harga garam saja? Tak adil bukan?

Sore itu juga saya minta pada Cak Bono untuk menjelaskan siapa pelopor penggolongan sastra itu? Cak Bono hanya menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya pengkastaan sastra. Dan mungkin cara pandang Cak Bono pun senada dengan alasan saya. Yaitu: Sastra adalah seni dan keindahan yang tak terbatas. So... tak ada alasan untuk memetaknya seenak udel sendiri. Cak Bono juga berjanji pada saya untuk membuat artikel perlawanan atas diskriminasi itu. Yang mana Artikel ini akan diposting di milis-milis sastra dan kepenulisan. Juga milis-milis TKI pada umumnya. Dan satu lagi, saya sempat kirim sebuah artikel tentang sastra babu yang sempat membuat perasaan saya tersodok. Artikel itu ditulis oleh seseorang yang mengaku penggiat sebuah komunitas sastra... Dan ternyata, dari komunitas ini pulalah sebutan babu itu muncul. Saya harapkan Cak Bono menjadikan artikel itu sebagai bahan acuan untuk menjawab diskriminasi ini. (Thanks Cak Bono***) (10/10)

DARI:
NERA ANDIANTI

0 komentar: