Sabtu, 23 Februari 2008

Perajin Meubel Bambu di Trengalek: Mandeg Memroduksi Kualitas Ekspor

Eksportir Tak Lancar Membayar



Dengan sentuhan tangan-tangan kreatif, bambu yang sekian tahun lalu identik dengan kehidupan pedesaan [rumah bambu, dinding bambu] bisa tampil sebagai barang-barang, perabotan, yang berkesan mewah dan bahkan jadi komoditas ekspor.Tetapi, Saiful [perajin di Trenggalek, Jawa Timur] memilih berhenti memroduksi meubel bambu kualitas ekspor gara-gara sistem pembayarannya buruk.



Desa Sumber Gayam, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek dikenal pula sebagai sentra industri kerajinan berbahan bambu. Salah seorang perajinnya ialah Saiful Anam [37]. Bapak dua orang anak ini mengawali usahanya sejak Tahun 1997. Sebelumnya, Saiful bekerja di industri meubel bambu di Bali. Selama 4 tahun bekerja di bali ia banyak memperoleh pengalaman mengenai seluk-beluk mulai dari proses pembuatan meubel dari bambu yang berkualitas sekaligus bagaimana cara melayani konsumen maupun cara-cara pemasarannya.

Setahun setelah mempersunting Ngaisah [27] gadis desa Sumbergayam, laki-laki kelahiran Kencong Jember ini memutuskan membuka usaha pembuatan meubel dari bambu, sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Dengan modal tidak lebih dari Rp 500 ribu, saat itu ia gunakan membeli bambu dan rotan sebagai bahan bakunya. Dari pembelian tersebut setelah diproses ternyata cukup untuk beberapa set meja kursi. Saat itu seluruh pengerjaannya ditangani sendiri.

’’Awalnya, pembeli dari produk saya sebatas tetangga dan teman dekat saya. Kemudian secara gethok tular produk ini mulai dikenal masyarakat luas utamanya di lingkup Trenggalek,’’ ujarnya.

Hal itu ditandai juga dengan semakin banyaknya pesanan yang mengalir ke rumah produksinya. Untuk meningkatkan pelayanan terhadap konsumen Saiful memutuskan merekrut karyawan untuk membantu produksinya. Setelah dibantu 5 orang karyawan, Saiful bisa menyelesaikan setiap pesanan tepat pada waktunya, bahkan mampu membuat stok produksi.

Pameran

Pada Tahun 2000 Saiful mengikuti beberapa pameran di Kediri dan Surabaya, dan barang yang dibawa semua habis terjual. ’’Selama mengikuti pameran ada beberapa pembeli yang menawarkan kerjasama untuk memasok produk meubel bambu,’’ tuturnya. ’’Salah satunya adalah pengusaha meubel dari Surabaya, meminta dibuatkan yang berkualitas ekspor,’’ lanjutnya.

Tawaran yang datang tersebut oleh Saiful segera direspon, maka selain melayani konsumen lokal ia menyisihkan waktu untuk membuat meubel yang memiliki kualitas standar ekspor. Hal itu bukan perkara sulit bagi Saiful yang telah berpengalaman di Bali selama 4 tahun.

Kiriman pertama saat itu adalah 10 set meja kursi dengan nilai Rp 10 juta, dengan dibayar kontan. Selanjutnya, menurut Saiful setiap bulannya 10 set terkirim ke Surabaya. ’’Sebetulnya harganya tinggi dan keuntungannya cukup lumayan, tetapi faktor utama bagi saya adalah kelancaran pembayarannya. Memang untuk satu sampai empat kali kirim dibayar kontan, namun kiriman selanjutnya kadang dibayar separo, bahkan sempat pembayarannya tertunda sampai saat pengiriman selanjutnya,’’ tuturnya.
Kemudian setelah dirasa hal tersebut akan menjadikan beban pikirannya yang imbasnya akan berpengaruh pada kualitas dan kelancaran produknya, saiful memutuskan untuk menghentikan kiriman ke Surabaya. Ia lebih berkonsentrasi membidik pasar lokal untuk kelas menengah ke bawah.

Saat ini dengan karyawan sebanyak 10 orang, rmah produksi Saiful siap mengolah bahan baku bambu ulung yang berwarna hitam menjadi perangkat meja kursi yang berkesan mewah. Setiap bulannya Saiful mampu menjual 10 sampai 15 set. Selain meja kursi juga memroduksi almari, sekat ruangan, dan perangkat/dekorasi untuk pesta pernikahan yang semua terbuat dari bambu.

Mengenai harga jualnya, produk Saiful ini tergolong murah. Setiap setnya berkisar antara Rp 600 ribu sampai Rp 700 ribu, untuk Almari Rp 700 ribu, meja kursi Rp 700 ribu, penyekat ruangan Rp 600 ribu, sedangkan kwade dipatok harga Rp 1,25 juta.

Karyawan

Kendala utama yang dialamai menurut Saiful adalah tenaga kerja. ’’Karyawan saya ini rata-rata hanya setengah hari kerja karena kebanyakan mereka adalah anak-anak pondok pesantren. Warga sini sendiri kebanyakan tidak telaten apalagi saya hanya mampu membayar Rp 25 ribu/ harinya. Sedangkan mereka pada umumnya minta Rp 35 ribu/hari. Bila saya paksakan saya sendiri yang akan merugi. Karena biaya untuk finishing-nya sekarang mahal terutama seperti harga milamin yang selalu melonjak,’’ ujarnya.

’’Mengenai bahan baku tidak mengalami kendala, karena sudah ada pedagang yang selalu rutin memasok bambu dan rotan. Satu truk bambu seharga Rp 2,5 juta, bila diolah akan menjadi 12 set meubel,’’ lanjutnya.

Dari hasil penjualan yang rata-rata setiap bulannya sebanyak 12 set tersebut, akan memperoleh pemasukan sekitar Rp 7 sampai Rp 8 juta. Setelah dipotong pembelian bahan baku dan biaya operasional paling tidak Saiful masih bisa menyisihkan hasil kurang lebih Rp 1,5 juta.

Pendapatan tersebut sudah cukup lumayan dan bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selain itu ia juga masih bisa menyisihkan untuk ditabung. [PUR]

dari Peduli Nomor 13

0 komentar: