Selasa, 12 Februari 2008

"Dunia ini nggak aman, Nduk. Sumpah!"


Kalimat itu adalah pernyataan seorang wanita muda yang kutemui di satu warung makan ketika aku menunggu hujan reda.

Waktu itu, sejak berhari-hari hujan tidak ada henti mengguyur Hong Kong. Gerimis menyetopku untuk tidak langsung berkumpul dengan teman-teman di Taman Victoria. Pengajian yang sedianya akan dilaksanakan di lapangan rumput VP dan didatangi oleh ketua MPR pun bagiku seperti tidak ada daya tariknya bila harus memerangi hujan. So, aku hanya bisa berharap hujan akan berhenti kalau tidak secara tiba-tiba ya lambat laun tak mengapa asal bisa berhenti. Bukan apa-apa celana yang kupakai masih baru, aku tak tahu apakah warnanya bakalan luntur bila kena air.



Maka, aku memilih untuk mampir ke warung Indonesia di dekat halte. Menunggu kopiku jadi, aku memilih duduk di sudut paling belakang. Membuka-buka sms di ponselku kalau-kalau ada janji dengan kawan yang aku harus tepati hari ini. Aku tak tahu berapa lama aku mengutak-atik ponselku ketika seorang wanita energik menanyaku apakah kursi di depanku kosong? Kujawab iya, bahkan di samping kiriku juga kosong. Lalu ia duduk persis di depanku.

Aku kembali mengamat-amati poselku. Mendongak hanya untuk tersenyum pada wanita di depanku yang menurut perasaanku lagi mengamat-amatiku dengan tak tenang.

"Nggak makan, Mbak?"

"Dah pesan, tinggal nunggu."

"O.." kujawab seperti permisi untuk membaca ponselku lagi.

"Nduk…" ia memanggilku Nduk! Kalau dia kawanku pasti sudah kujawab, "Iya, Nek." Tapi dengannya, aku mengalah, "Iya, Mbak?"

"Jeng Axx Xxx ke Hong Kong, ya?" tanyanya, tentu menyebut lengkap nama itu, sengaja kubikin demikian untuk tidak mengaitkannya dengan orang lain pula.
"Jeng Axx Xxx?"

"I ya. Katanya ke sini bersama Mbah Rxx Xxx suaminya. Benar ya?"

"Wertanfdnflajejrangak.nfnjanfkaj" ini kalimatku dengan mata yang terjemahan bebasnya berarti "Siapa mereka, Nyai?" tapi bahasa dari mulutku bilang, "Wah, masak sih Mbak?"

"Iya. Katanya mau memasang pagar massal. Hari ini dia di hotel apa gitu deh, datangnya kemarin jam empat sore."

"Bikin pagar massal?"

"Kau tahu nggak di hotel apa?"

"Wah, ini aku dengar kalau mereka ke sini aja baru dari sampeyan je. Eh, Mbak mau pasang pagar juga?"

"Sudah, cuman tinggal nguatin aja. Kau mau pasang?"

"Aku juga udah. Cuman nggak dipasang sama Jeng Axx Xxx dan Mbah Rxx Xxx." Dipasang sama bapakku di kampung, di sekeliling kandang sapi, pagar yang kumaksudkan itu terbuat dari bambu Mbakyu, kalimat lain yang kuucapkan di usus.

"Memang itu, pasang pagar itu perlu. Kau tahu?"

"Tidak. Apa?"

"Aku dulu nggak seperti sekarang. Aku kerja banting tulang, kau tahu? Mati-matian dari Arab Saudi, Singapura, Malaysia, semua sudah kulakoni. Eh, laki yang di rumah disuruh njagain anak aja malah jagain anak orang. Sampai hamil pula!"

"Iya? Wah…"

"Iya, sumpah. SPP buat anak SD berapa sih sebulan? Kujatah sejuta. Rumah kupermak sampai menguras uangku hampir delapan puluh ribu. Eh, malah buat kencan sama bini barunya! Semprul!" delapan puluh ribu itu maksudnya delapan puluh juta rupiah, saudara-saudara.

"Sekarang?"

"Ya masih kencan. Kuusir malah bilang kalau dia diusir terus harus tinggal di mana? Coba bayangin. Sebagai perempuan aku melihatnya seperti pacet, ngisep darahku. Kau tahu? Aku pernah merasa bosan hidup, mau mati saja rasanya. Kalau tak ingat anakku membelaku, entah apa jadinya."

"Sudah dicerai?"

"Aku minta cerai, dia gak mau biayai. Coba, laki-laki macam apa itu!"

Laki-laki miskin pikirku, tapi aku hanya manyun agak prihatin juga melihat Mbak di depanku yang tambah berapi-api ini. Ceritanya memang biasa, tapi cara berceritanya itu lho begitu menggebunya, sampai-sampai makanan yang sudah diaduk-aduknya dari tadi pun belum sempat mampir ke mulutnya.

"Makanya, aku pasang pagar diri…" dia mengucapkan ini agak berbisik. "Dunia ini nggak aman. Sebagai perempuan kita lebih banyak mendapat tantangan. Kita nggak boleh lemah trus digobloki sama laki-laki. Kau juga perlu tahu, laki-laki itu nggak ada yang bener. Mereka juga suka main majik. Santet, jengges, pengasihan, hipnotis bersliweran di mana-mana. Hanya dengan memasang pagar kita mampu mengatasi semua itu…"

"Seperti pasang susuk, misalnya?"

"Ya. Memang semua itu juga perlu pengorbanan, perlu biaya. Tapi lebih baik berjaga-jaga daripada terlanjur celaka. Kamu sudah menikah?"

"Belum sempat…" jangan tanya mengapa kujawab demikian, asal nyemprot saja.

"Ingat, perempuan seperti kita selalu jadi sasaran laki-laki nggak baik. Selain untuk pagar diri, susuk juga untuk menambah kecantikan. Kamu tahu?"

"Iya? Aku nggak tahu."

"Kau kira kalau aku nggak pakai aku bisa seperti sekarang?" dalam hati aku coba mengira bagaimana dia ketika sebelum ini, yang muncul malah waktu dia hamil dan suaminya juga punya bini lain yang sama hamilnya.

Ia mengeluarkan rokok, "Rokok?" tawarnya, aku tak menggeleng atau mengangguk, cuman kutunjukan tanda dilarang merokok di pojok dekat kasir. Ia tertawa kecil dan memasukkan rokoknya kembali ke tas di samping duduknya. Ia mulai makan, aku mengaduk kopiku, aku coba mengira bagaimana seorang eh dua orang dukun sekaligus bisa melawat Hong Kong dengan tujuan pasang pagar untuk orang-orang seperti wanita di depanku, yang punya kata-kata meyakinkan tentang dunia yang tidak aman… dengan kearifan yang bagaimana sebenarnya kalimat itu dibikin? Atau ini adalah dampak gencarnya Si Jeng dan Si Mbah berpromosi tentang jengges, tenung itu?

Hujan masih rintik-rintik ketika aku keluar kedai. Aku teringat celanaku lagi. Ada pelajaran penting kupetik hari ini… never ever pakai celana baru yang belum dicuci terlebih dahulu. []

Dari:
ETIK JUWITA

0 komentar: