Jumat, 08 Februari 2008

BABU

Oleh: Eni Kusuma

Tulisan ini saya buat untuk mengukuhkan gelar yang melekat pada saya atau mengiringi rekan yang lain, ini hanya bagi yang "merasa" saja. Yang saya maksud "merasa" di sini adalah yang merasa nyaman dan enjoy saja di sebut: TKW, TKI, PRT, rewang, buruh, babu atau barangkali ada sebutan yang lebih "angker" lagi (mengutip istilah dari Bonari Nabonenar, --terimakasih Guru atas postingan karyanya, tulisan yang mencerahkan saya. Karena memang begitulah kenyataannya. Istilah-istilah itu memang mengiringi profesi pembantu rumah tangga. Jika (maaf) tidak nyaman di sebut begitu, menurut saya jangan bekerja di profesi ini.



Terus terang saya salut dengan pribadi (seorang pembantu rumah tangga) yang dengan berani menyebut dirinya "babu" sebagai imej dari profesinya pada khalayak secara profesional, bukan yang menggembor-gemborkan di pasar-pasar. Menurut saya, jika istilah "babu" sebagai kata sapaan yang selalu menyapa rekan-rekan kita sesama pembantu di setiap kali mereka bertemu, kedengarannya memang seperti "merendahkan diri sendiri". Terus terang kata ini tidak mengandung "energi" atau "semangat".

Coba bayangkan, (meskipun saya tidak keberatan) disapa dengan "Hey, Babu, lagi ke pasar yah?" atau seorang yang bukan babu menyapa kita dengan sebutan "babu" yang menurut si babu sendiri "merendahkannya" .

Namun jika kita openmind, apa pun sebutan tentang profesi kita tidak akan berpengaruh pada kepribadian kita. Memang inilah kenyataannya, so what? Sekali lagi jika kita "terbuka" tentu kita akan dengan senang hati menerima sebutan apa pun tanpa melihat maksud dari si penyebut tadi. Selalulah untuk memandang positif sesuatu tanpa harus melihat "maksud" dari sebuah perkataan. Lho, bagaimana jika sebutan itu jelas-jelas maksudnya untuk menghina dan di pakai untuk menghina, secara transparan lagi?

Jika toh demikian, kenapa mesti merasa terhina? Kita sebagai pribadi lebih berharga dari sebuah hinaan. Seseorang itu yang dilihat adalah kiprah dan perbuatannya. Seperti yang dapat kita baca melalui pesan yang tertangkap dari cerpen Kuswinarto (terimakasih Guru, atas karyanya, sebuah cerpen yang mencerahkan saya). Bahwa apa sih yang di sebut dengan harga diri? Apakah seorang pejabat yang notebene "terhormat" secara profesi namun "cacat" secara moral? Ataukah seorang pembantu yang notebene "tidak terhormat" secara profesi namun memiliki kemampuan untuk mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar menurut hukum, agama dan nurani? (memang sih yang ideal itu yang ..yah yang ideal menurut kebanyakan orang...yang ideallah pokoknya...masih menurut kebanyakan orang loh, hehehe).

Lalu, bagaimana dengan seorang pembantu yang ingin meraih posisi "terhormat" secara profesi? Atau alih profesi menjadi seorang sastrawan atau penulis? Apakah perlu menghilangkan "kenyataan" profesi sebelumnya? Ini hanyalah sebuah pilihan. Terserah Anda memilih yang mana. Namun bagi saya, kenyataan profesi sebelumnya "harus" selalu melekat pada saya. Karena profesi sebelumnya bagi saya adalah bekal untuk meraih profesi selanjutnya. Terus terang saya adalah penganut "yang lalu biarlah berlalu" bahkan sejak SD, itulah sebabnya guru sejarah saya dengan pedenya memberi nilai jelek untuk pelajaran sejarah saya. Namun dalam hal ini saya ingin tetap dikenal sebagai pembantu, meskipun saya nanti pensiun jadi pembantu dan dikenal sebagai motivator... cieeee.

Memang untuk pribadi yang masih kurang openmind dalam menyikapi segala sesuatu agak kesulitan menerima segala macam pengkotak-kotakan atau sekat-sekat yang terjadi di sekitar kita. Yang justru tidak dapat kita hindari. Namun pribadi yang openmind justru tidak terbelenggu oleh pengkotak-kotakan atau sekat-sekat itu sendiri. Menerima namun tidak terbelenggu, tetap "terbuka", dan universal, itulah ciri orang yang open minded. Tentang openmind ini saya sudah membahasnya di salah satu kumpulan artikel saya yang berjudul "Open mind menguak rahasia sukses?" Namun pembahasannya secara umum.

Kenapa justru sebagai bekal? Dengan identitas saya yang sebenarnya, justru memudahkan saya dalam meraih apa pun. Orang akan melihat saya sebagai seorang yang ingin "tumbuh" dan "berkembang" sehingga para guru akan membantu saya.

Dan kenapa saya setuju dengan lebel "genre babu" ? Karena seperti yang sudah saya jelaskan pada tulisan pertama yaitu, ini sebagai upaya branding untuk lebih di kenal. Kita ndak usah "alergi" dengan sebutan "menjual" di sini. Jika identitas kita atau sebutan tertentu justru bisa "menjual" dan menarik perhatian, why not? So what gitu loh![]

19 Oct 2006 20:30:01 -0700

0 komentar: