Sabtu, 31 Oktober 2009

TAK SELAMANYA BISA MENGGENDONG


Sebagai buruh yang mengandalkan kekuatan fisik dalam menjalankan pekerjaan, para buruh gendong di Pasar Beringharjo sadar benar bahwa usia sangat berpengaruh terhadap kerja-kerja mereka. Maka sebagian dari para buruh ini melakukan usaha lain, seperti bekerja pada pedagang pasar atau bahkan berdagang saat tidak ada gendongan.

Mak Ndung merupakan salah satu buruh gendong yang kini tidak menjadikan jasa gendongan sebagai andalan. Sejak tahun 1994, perempuan yang memilih bercerai dari suami karena dipoligami ini berjualan pakaian dalam dan baju anak di antara los pasar. Ia mengaku meski membuka lapak dagangan, aktivitas menggendong masih tetap ia lakukan. ’’Ya kalau ada gendongan ini saya tutup,’’ katanya.

Perempuan yang menjawab tidak tahu ketika ditanya berapa usianya itu, sadar bahwa suatu saat ia tak akan kuat menggendong lagi. Sehingga usaha ini awalnya ia niatkan sebagai cadangan. Modal berdagang waktu itu ia dapatkan dari pinjaman. Hal itu bisa dipahami karena mereka memang berasal dari kalangan ekonomi lemah. Kondisi ekonomi keluarga itu pulalah yang menjadikan pendidikan mereka terbatas, sehingga kalah dalam persaingan di bidang kerja yang lebih baik.

Seperti halnya Mak Ndung, Tuminah yang saat ini menjabat sebagai ketua Paguyuban Sayuk Rukun, juga menekuni usaha lain yaitu jual-beli besi bekas. Saat ini ia hanya menjual jasa gendongan kepada para pelanggannya saja. Para pelanggan jasa gendongan ini sebagian besar adalah para pedagang pasar. Saat menerima order gendongan, Tuminah memilih untuk menutup kiosnya.

Mak Ndung dan Tuminah merupakan contoh dari buruh gendong yang kemudian mengembangkan diri tak sekedar sebagai penjual jasa gendongan saja, melainkan juga berdagang. Buruh gendong lain yang tidak memiliki modal dan tidak mempunyai kemampuan dagang, memilih bekerja secara lepas pada para pedagang pasar sambil menunggu pengguna jasa gendongan. Namun tak sedikit buruh gendong yang terpaksa harus berpangku tangan menahan kantuk sambil menunggu pekerjaan, karena tak memiliki sambilan.

Melihat potret mereka serta situasi kerja seperti itu, tak heran jika seorang fotografer di Yogyakarta merasa malu setelah mengabadikan gambar dan berbincang dengan mereka. Ia mengatakan, saat para buruh gendong itu bingung apa yang akan dimakan hari ini, ia justru bingung memilih menu. [siti aminah]

0 komentar: