This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 18 Agustus 2010

Bukan Karyawan Biasa

Siapa bilang menjadi karyawan tak bisa membuat seseorang bisa mendapatkan celah guna mendapatkan uang lebih untuk tambahan kebutuhan rumah? Coba liat saja apa yang dilakukan Hadi Isnawan ini. Sekalipun setiap hari ia bekerja sebagai karyawan percetakan milik kakak iparnya, tapi ia juga bisa mendapatkan tambahan lebih dari sekedar karyawan biasa. Suami Sarinah ini bisa dibilang sebagai sosok pekerja keras. Dari sekitar pukul 8 pagi hingga sore ia bekerja pada usaha percetakan yang didirikan oleh kakak iparnya yang terletak di dearah Kendangsari gang XI Surabaya. Di sore harinya ia mencoba mencari kerja tambahan lagi. Memang, usaha yang digelutinya masih di bidang percetakan juga, dan masih menggunakan peralatan cetak milik kakak iparnya, namun untuk usahanya yang satu ini pendapatannya masuk ke kantong pribadinya sendiri. Bukan masuk ke CV milik kakak iparnya itu.

’’Kebetulan sama kakak ipar saya nggak apa-apa memanfaatkan mesin cetak miliknya, asal kerjaan saya sudah beres dan dilakukan diluar jam kerja saya,’’ kata Hadi.

Kebetulan kakak ipar Hadi sejak delapan tahun silam, mendirikan usaha percetakan yang sejak dulu sering menerima pesanan buku dari badan pendidikan dan pelatihan milik pemerintah Provinsi Jawa Timur. Hadi yang kala itu sudah bosan menjadi pekerja bangunan di ajak kakak iparnya untuk membantunya mengelola usaha sang kakak ipar tersebut. Seiring perjalanan waktu, setelah ia menikah sekitar empat tahun silam, ia berupaya mendapatkan uang tambahan di luar pekerjaannya sebagai karyawan sang kakak ipar tersebut. Maklum saja sebagai kepala keluarga, ia harus bertangung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya.

’’Sebenarnya gaji dari kakak ipar saya lumayan juga. Tapi, kebutuhan saya semakin hari kan semakin bertambah. Apalagi sekarang ada anak yang harus minum susu setiap hari. Jadi saya harus berpikir untuk mencari tambahan,’’ katanya memberi alasan.

Untunglah ayah dari Dian Chandra Sheva Isnawan ini pandai mencari celah untuk orderan. Bila selama ini cetakan yang ia kerjakan berupa buku maka ia sekarang mencari orderan yang bukan buku.

’’Kakak saya sering terima pesanan cetakan buku dari diklat Jatim, jadi orderan ya paling banyak buku-buku pelatihan ataupun buku panduan aja. Terus saya pikir kenapa saya nggak coba membuat cetakan-cetakan lainnya? Saya bilang ke kakak ipar saya boleh nggak saya coba untuk membuat pesanan lainnya seperti kartu nama atau undangan gitu. Kata kakak ipar saya nggak apa-apa, ya sudah saya jalankan aja,’’ terang Hadi lagi.

Bergerilya

Maka, Hadi pun mulai bergerilya. Saat sang kakak ipar memintanya untuk belanja kertas untuk pesanan buku yang datang ke CV-nya, Hadi memanfaatkan moment itu untuk menanyakan pada toko tempat ia membeli kertas itu apa ia memerlukan pesanan buku untuk nota, sticker ataupun spanduk. Jika toko itu memerlukannya, maka ia menawarkan diri untuk membuatkannya. Kadang Hadi pun menyempatkan diri mengunjungi beberapa toko lainnya untuk menayakan apakah mereka mau pesan nota tau tidak. Usaha ini tak sia-sia. Pelan tapi pasti pesanan mulai berdatangan. Selain nota ataupun sticker Hadi juga mulai mencari pelanggan untuk memesan undangan pernikahan ataupun sunatan. Usaha ini juga membuahkan hasil. Hadi juga mulai menerima pesanan undangan pernikahan ataupun sunatan dari orang-orang yang ditemuinya saat belanja kebutuhan CV kakak iparnya itu.

Untuk memenuhi permintaan pelanggannya yang mana menginginkan bentuk kertas undangannya menarik kadang Hadi menyiasatinya dengan membeli kertas undangan yang sudah jadi terus dicetak di tempatnya.

’’Kalau untuk yang tinta hitam atau yang nggak pakai warna mesin cetak kakak ipar saya bisa. Tapi, kalau mintanya tinta yang warna, biasanya saya cetakan di tempat cetak lain aja,’’ terang Hadi.

Soal keuntungan besar yang bisa diraupnya dari usaha sampingan ini, menurut bapak satu anak ini tidak terlalu membuatnya terburu-buru untuk mendapatkannya. Menurutnya saat ini yang penting usaha masih bisa berjalan dengan terus, sudah menjadi hal yang disyukurinya. Soal untung besar, belum menjadi sesuatu yang ingin dikejarnya dalam waktu dekat ini. Ia sudah merasa cukup memperoleh keuntungan yang tidak terlalu besar namun orderan yang datang padanya selalu datang setiap hari.

’’Untuk undangan kadang tergantung harga kertasnya. Kadang kalau pelanggan minta undangan yang harganya sekitar Rp 2.500, itu biasanya harga kertas undangannya sekitar seribu rupiah. Keuntungan bisa dibilang nggak terlalu besar, kan nanti saya harus membelikan plastik buat sampul undangannya. Terus saya juga harus membelikan sticker buat nempel nama, terus saya juga harus setting tulisannya, beli lempengan cetakan juga. Jadi kalau dihitung-hitung keuntungan juga nggak terlalu besar,’’ terang Hadi.

Menunjukkan Hasil

Usaha yang ditekuni Hadi ini lambat-laun mulai menunjukkan hasil. Langganan-langganan yang dulu dilayani kini jadi kerap merekomendasikan saudara atau teman mereka untuk pesan undangan, nota ataupun membuat aneka brosur ke Hadi ini bila mereka ingin membuat undangan ataupun aneka keperluan tadi. Lantaran pesanan yang dilayaninya juga mulai meningkat maka waktu untuk bekerja pun mulai sedikit ekstra pula.

Kadang Hadi harus tidur mendekati jam 12 malam dan bangun menjelang subuh untuk segera menyelesaikan orderan undangan, nota ataupun brosur yang datang padanya itu. Meski lelah, pria kelahiran Blitar ini berusaha keras memenuhi permintaan pelanggannya tepat waktu. Sebab jika pelanggan kecewa atas layanannya menurutnya itu bisa jadi boomerang yang mempengaruhi orderan yang akan datang padanya dibelakang hari kelak. Itu sebabnya ia berusaha kerja tepat waktu. Rasa lelah itu terbayar sudah manakala semua orderan selesai tepat waktu dan pelanggan segera melunasi pembayaran pesanannya itu.

Kini hasil kerja sampingannya itu sedikit demi sedikit terlihat hasilnya. Uang dari kerja sampingan ini bisa dipakai Hadi sebagai tambahan membeli seekor sapi yang kini ada di rumah orang tuanya di Blitar sana. Selain itu ia juga bisa membeli sebuah sepeda motor pula meski dengan cara menyicilnya.

’’Insya Allah tiga bulan lagi cicilan sepeda motor ini habis. Ini semua berkah dari Allah. Buat saya ini patut untuk disyukuri. Karena semua kerja keras itu kalau ditekuni dengan telaten dan sabar akan membuahkan hasil yang baik,’’ ujar pria yang kini sedang menabung agar bisa membeli rumah KPR ini. [niken anggraini]

Rabu, 11 Agustus 2010

Lagi Booming Burung Cinta (Lovebird)

’’Padahal, beberapa tahun lalu ini seekor paling seratus atau dua ratus ribu,’’ komentar seorang pengunjung Pasar Burung Splendid, Kota Malang, ketika mendengar seorang penjaga kios menjawab calon pembeli yang menanyakan harga seekor lovebird, ’’Yang kacamata kepala emas sejuta…’’ Memang lagi booming. Masih ingat betapa mahal tanaman hias gelombang cinta beberapa waktu lalu, yang kini sudah nyaris tak terdengar lagi kehebohannya? Nah.

Kali ini giliran burung cinta alias love bird yang sedang booming. Cipto, seorang pegawai di lingkungan Pemkab Trenggalek, hanya karena sejak anak-anak gemar burung, membeli sepasang lovebird kacamata kepala emas (begitulah ia menyebutnya), kepada teman sekantornya. Sepasang burung itu dibelinya dengan harga pertemanan Rp 1.500.000 (satu setengah juta rupiah). Itu disebut harga pertemanan, karena, ’’Harga pasarannya sejuta rupiah per ekor, lho!’’ katanya.

Ceritanya makin menarik ketika burung yang tergolong mahal itu (harga sepasang burung itu bisa dibelikan seekor kambing peranakan etawa yang cukup besar) dibawanya ke kampung. Orang tuanya gumun gak karuan melihat burung mahal itu. Dan gemparlah seluruh keluarga ketika ternyata kandanagnya kurang brukut, ada celah yang membuat seekor di antaranya melepaskan diri dan terbang entah ke mana.

Cipto tak putus asa. Ia kembali membeli seekor lagi sebagai gantinya yang lepas itu. Dan, sekitar 7 bulan kemudian ia sudah memiliki 3 ekor lovebird, karena 5 telor dari sepasang indukan yang dipeliharanya itu hanya satu yanag menetas. Sebagai pengalaman pertama, lumayanlah. Tetapi, gara-gara temannya merajuk untuk membelinya, anakan lovebird yang baru umur 2 bulan itu, beberapa waktu lalu, dilepaskan dengan harga Rp 1 juta.

Kini, pasangan lovebird milik Cipto itu sudah bertelor lagi. Ada 6 butir telornya. Dalam 3 bulan ke depan ia sangat mungkin dengan gampang menjual anakan yang menetas dengan harga Rp 1 juta/ekor. Bayangkan, kalau punya 80-an pasang indukan seperti Ipunk, seorang penangkar lovebird yang tinggal di Jl Lesti Gg I/44 Kota Malang, yang sempat dikunjungi Peduli itu.

Ipunk Purwo Adi, biasa disapa Ipunk, beruntung karena adiknya yang bekerja di sebuah perusahaan di Surabaya, mendapat klepercayaan sang bos untuk menerima hibah/grartis beberapa pasang love bird impor berikut kandangnya. Sepasang di antaranya yang didatangkan langsung dari Belanda, bahkan pernah ditawar dengan Rp 25 juta. Wouw!

Itulah awalnya Ipunk menangkar lovebird, yakni Juni 2009. Berapa Ipunk mendapat penghasilan per bulan dari anakan yang ia jual dari hasil penangkarannya itu, ia tidak mau mengaku. Tetapi, dari sekian banyak lovebird yang dimilikinya, ia menjual anakannya dengan harga bervariasi, sesuai jenis dan warna bulunya, dari Rp 200 ribu hingga Rp 1,5 juta/ekor.

Diakui Ipunk, kini permintaan pasar sangat tinggi. Bahkan, banyak yang pesan dan ia belum bisa memenuhinya. Jenis yang harganya melambung, menurut Ipunk, adalah jenis yang sering dilombakan dan mendapatkan juara.

Walau penangkaran lovebirdnya tergolong besar, Ipunk sepertinya santai, bahkan sehari-harinya ia tampak lebih sibuk membantu istrinya yang mengelola industri rumahan: kripik tempe.

Ipunk tak mengalami kesulitan berarti dalam usahanya menangkar lovebird, karena melalui orangtuanya sejak kecil ia sudah akrap dengan pemeliharaan/penangkaran burung kenari. Orangtua Ipunk kini juga masih mengembangkan penangkaran kenarinya, bahkan mulai juga mencoba menangkarkan cucak rawa. Sepasang cucak rawa yang dibelinya Rp 30.000.000 (tiga puluih juta rupiah) itu baru menunjukkan tanda-tanda kawin. Kandangnya dilengkapi kamera CCTV, jadi bisa selalu dimoniotor tanpa mengganggu ketenteraman si burung.

’’Ya, memang ini untuk lovebird lagi booming. Ngga tahu nanti sampai kapan. Tetapi kalau cucakrawa, itu harganya sudah stabil. Sejak dulu memang burung mahal,’’ ujar Ipunk. [purwo]

Penting: "Ngincipi" di Rumah Makan Lain

Ada sebuah rumah makan prasmanan di wilayah Tulungagung, Jawa Timur. Namanya Rumah Makan Mak Nyang. Lokasinya cukup strategis karena berada pada jalur utama yang menghubungkan kota Tulung agung dengan Trenggalek, tepatnya di Bolorejo. Pemilik warung ini adalah Slamet Muryanto (42) bersama istrinya Yayuktiani (30). Pria kelahiran Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabuppaten Trenggalek ini mulai membuka usaha rumah makan sejak 2005.

Ide untuk mendirikan rumah makan prasmanan ini berawal dari pemikiran Slamet, bahwa saat ini masyarakan rata-rata melakukan kegiatan sehari-harinya dengan mobilitas tinggi maka segala sesuatunya perlu dilakukan dengan cepat. Dari pertimbangan ini maka dengan cara prasmanan pembeli bisa memilih sendiri secara praktis tanpa harus menunggu pelayanan dari pramusaji rumah makan.

Menu yang disajikan cukup beragam, ada ladha ayam, lele goreng, oseng-oseng, puyuh goreng, sayur bening, lalapan, sayur bobor daun singkong, dan sayur lodeh. Jadi pembeli tinggal pilih dan ambil sendiri sesuai seleranya.

Adapun harga cukup terjangkau, karena hitunganya bila makan di rumah makan Mak Nyang ini yang dihitung adalah lauk yang digunakan. Menurut Slamet pelanggan sudah bisa menikmati sajian yang ada dengan uang Rp 4000 sampai Rp 10.000.

Selain rumah makan Mak Nyang ini ternyata Slamet juga memiliki rumah makan Mina Rasa yang letaknya hampir berhadap hadapan dengan rumah makan Mak Nyang. Mina rasa ini merupakan cikal bakal atau pertama kalinya Slamet terjun ke usaha rumah makan.

Sedangkan di rumah makan Mina Rasa ini menyajikan menu khusus pelanggan yang gemar masakan ikan laut atupun ikan air tawar. Menu yang disajikan dalam keadaan segar bahkan pembeli bisa memilih sendiri.

Dalam menjalankan usahanya yang jelas tidak bisa ditanngani sendiri, sementara ini Slamet dibantu oleh istrinya dan 15 orang karyawan di kedua rumah makannya.

Menurut Slamet khusus Mina Rasa resikonya relatif kecil karena semua baru bisa dimasak bila pembeli sudah memesan.

Sedangkan yang menjalankan atau mengelola Mina Rasa ia serahkan pada karyawannya yang telah menjadi kepercayaannya. Namun untuk pengadaan stok bahan bakunya tetap Slamet sendiri yang melakukan.

Di Rumah makan mina rasa ini Slamet karyawan yang menangani ada 7 orang, sedangkan di Rumah Makan Mak Nyang sejumlah 8 orang. Mereka menurut penuturan Slamet diambil dari daerahnya sendiri yaitu dari Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek.

Dari kedua rumah makan yang dimiliki setiap harinya Slamet meraup omset tidak kurang dari Rp 2 juta rupiah. Namun ketika ditanya berapa laba bersihnya dengan tersenyum ia tidak mau menyebut nominalnya.

”Usaha seperti ini sebenarnya sama saja dengan usaha lainnya, seperti yang saya alami, biarpun omsetnya setiap hari cukup lumayan namun setiap akhir bulan totalannya besar juga seperti untuk gaji karyawan, disisihkan untuk sewa lokasi, untuk pembelian bahan baku, akhirnya setelah dihitung-hitung ya… memang sisanya masih ada untuk disimpan buat jaga-jaga bila ada kebutuhan yang mendadak, siapa tahu namanya usaha kan kadang rame kadang kala ada sepinya,” ujar Slamet.

Gagal PNS

Perjalanan usaha Slamet ternyata tidak semulus yang dibayangkan banyak orang.

Awalnya selepas lulus SMA 1989 ia melanjutkan kuliah di SGPLB setelah lulus ia sempat nganggur dan menarik becak sambil jualan karung, itu dijalani selama 1 tahun. Lantas tahun berikutnya ia sempat buruh pada pedagang cengkeh, namun ia hanya bertahan selama 2 tahun karena pedagangnya bangkrut.

Tahun 1993 ia merantau ke Surabaya dan bekerja sebagai loper di Pasar Genteng, ia jalani selama 4 tahun dengan jangkauan Jawa Timur dan Madura. Dari pengalaman sebagai loper tersebut menurut Slamet ternyata banyak membantu usahanya yang dijalankan sekarang.

Tahun 1997 Slamet mencoba peruntungan dengan berbekal ijazah SGPLB mendaftarkan diri menjadi PNS namun nasib tidak berpihak padanya, uang jutaan rupiah yang digunakan sebagai pelicin hilang musnah, yang awalnya ia sudah lega karena SK sudah turun namun ternyata SK tersebut ternyata palsu maka pupuslah harapannya menjadi PNS.

Sejak itu ia sampai sekarang sudah tidak tertarik menjadi PNS. Lantas mulai Tahun 2000 ia mencoba usaha sendiri. Mula-mula yang dilakukan adalah jualan ikan hias dengan menyewa stan kecil di kota Tulung Agung selama 1 tahun dengan harga sewa Rp 650.000/bulan.

Dengan modal Rp 5 juta ternyata sudah cukup lengkap untuk mengisi stannya dengan berbagai jenis ikan hias. Dengan modal pengalaman sebagai loper ternyata sangat membantu untuk menarik pembeli.

Saat itu setiap hari menurut Slamet rata-rata omsetnya Rp 300 000. cukup lumayan sebagai pemula. Kemudian terjadilah boming ikan lohan, saat itulah bagi Slamet merupakan berkah yang tak terduga keuntungan yang diperoleh setiap hari hitungannya sudah jutaan.

Dari keuntungan itu ia tanamkan juga pada usaha pembuatan aquarium yang sampai saat ini tetap dijalankan. Namun Slamet mengkhususkan pembuatan aquarium untuk kalangan menengah ke atas dengan harga Rp 2 juta sampai Rp 30 juta per unit, lengkap dengan isinya.

Sedangkan awal mulanya Slamet membuka usaha rumah makan ceritanya ketika ada ada pemilik warung makan yang berencana menjual warung beserta tanahnya, yang kebetulan berdekatan dengan rumah produksi aquariumnya, kala itu dijual seharga Rp 30 juta.

”Saat itu kebetulan saya sedang ada uang dari hasil jualan ikan hias terutama ikan lohan, dan baru saja dapat pesanan aquarium ukuran besar dari Bupati Tulungagung, kemudian saya pikir-pikir bersama istri gimana kalau kita beli saja warung itu dan kita coba dikembangkan bila berjalan syukur dan seandainya tidak, toh masih bisa digunakan untuk lokasi ikan hias karena tempatnya cukup strategis. Ya alhamdulillah justru dari warung yang saya beli itu, usaha saya bisa berkembang seperti ini”, tutur Slamet.

Setelah berhasil mengembangkan warung yang sekarang menjadi rumah makan mina rasa, Slamet mencoba mengembangkan rumah makan prasmanan Mak Nyang, menurut penuturannya ia mengeluarkan modal hampir Rp 100 juta untuk sewa lokasi selama 10 tahun dan untuk modal usahanya.

Awal 2010 ia melebarkan sayapnya dengan menambah 2 orang karyawan ia membuka depot bakso Mak Nyang yang justru berlokasi di daerah asalnya yaitu Kecamatan Panggul.

Ekspansi ke Kampung Halaman


Saat ini rumah makan mina rasa dan depot baksonya dipegang oleh karyawan kepercayaannya sedangkan Rumah makan Maknyang tetap dikelola sendiri karena sekaligus dijadikan tempat kediamannya.

Untuk kelancaran usahanya ia membeli beberapa unit sepeda motor untuk karyawan sebuah mobil khusus untuk belanja serta satu unit mobil keluarga. Semua itu dibelinya dari uang hasil usaha rumah makan serta rumah produksi Aquarium.

Ayah dari empat orang anak ini menuturkan bahwa dalam setiap usaha pasti mengalami kendala, tapi yang penting sabar dan telaten. Selain itu yang tidak boleh dilupakan adalah harus pandai membaca peluang dan kreatif.

”Biarpun saya memiliki rumah makan sendiri saya justru lebih sering makan di luar karena dari sana saya bisa melihat dan merasakan, apa kekurangan, apa yang harus dibenahi dan apa yang harus saya lakukan pada usaha saya, baik dari segi pelayanan, rasa serta menu. Selama ini ide-ide yang ada kaitannya dengan rumah makan selalu muncul setelah saya habis makan di luar”, ujar Slamet.[purwo santosa]

Senin, 19 Juli 2010

Endang Nawarti, Pedagang Baju asal Blitar

’’Yang Penting Semangat dan Kerja Keras’’

Terlahir dari keluarga yang memang pedagang, membuat Endang yang asli Kediri ini akhirnya mengikuti jejak orang tuanya dengan berdagang pula. Melewati liku-liku berdagang mulai masih gadis hingga sekarang punya tiga anak, kini perempuan berkacamata ini bisa sedikit lega karena sudah memiliki 4 toko milik sendiri hasil kerja keras sejak tahun 1980 itu.


Sosok yang tak mudah menyerah dan tak kenal lelah. Itulah gambaran singkat mengenai sosok istri Mochamad Muhdi ini. Keberhasilan Endang memiliki usaha sendiri seperti sekarang ini diakuinya merupakan hasil kerja kerasnya sendiri. Endang memutuskan serius untuk menerjuni dunia dagang dan memulainya dari nol. Ia tidak melanjutkan usaha orang tuanya yang sudah berhasil di Kediri. Ia memilih pindah ke daerah Kawedanan, Wlingi, Blitar untuk tempat memulai berdagangnya. Untuk modalnya pun itu ia dapatkan dari hasil tabungannya sendiri, bukan pemberian orang tuanya.

’’Saya terbiasa bekerja keras sejak sebelum menikah kok Mbak. Saya terbiasa kerja dari pagi sampai larut malam. Saya ini senengnya mandiri. Mungkin bagi sebagian orang pekerjaan saya ini aneh. Tapi ya itulah. Saya sudah terbiasa sama rutinitas itu. Pagi habis salat subuh saya menyiapkan barang-barang yang mau saya sebarkan ke toko di pasar-pasar. Jam delapan pagi saya mulai keliling pasar-pasar. Pulang ke rumah jam satu siang. Setelah makan dan istirahat sebentar, jam tiga sore saya pergi kulakan barang. Kadang bisa ke Surabaya, Malang, Tulung Agung bahkan sampai Solo. Sampai rumah kadang saya bisa jam 1 malam ataupun jam 3 pagi. Habis gitu tidur. Bangun subuh dan bersiap nganter barang ke pasar-pasar lagi,’’ Endang bercerita.

Setelah menikah dengan Muhdi ditahun 1980, keduanya akhirnya pindah rumah ke daerah Talun, Blitar. Keduanya membeli rumah di daerah ini. Disini keduanya terus mengembangkan usahanya terus. Muhdi yang bekerja sebagai pegawai Tata Usaha di sebuah sekolah menengah pertama ini tidak menghentikan langkah Endang untuk terus bekerja menghasilkan uang sendiri. Ritme kerja Endang pun masih seperti dulu. Tak berubah meski dirinya tengah hamil anak pertama. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kendaraan umum pun tetap di jalaninya selama ia belum bisa membeli kendaraan sendiri dengan perut yang besar karena hamil itu.

Ketika hamil anak pertamanya, ia malah baru saja pulang kulakan dari luar kota, baru beberapa jam sampai rumah dia merasa mulas-mulas dan langsung segera berangakt ke bidan untuk melahirkan.

’’Pas mau melahirkan Wulan, saya itu ada kejadian yang lumayan menguji kesabaran, pas oper bus dari Malang mau pulang ke Blitar, itu krenetnya nggak sabaran. Sembilan karung barang dagangan saya dilempar-lemparin aja buat nurunin barang dari bus. Jahitannya jadi pada sobek. Saya nggak bisa menjahitnya karena perut saya kan sedang besar begitu. Saya langsung mengeluhkan pada krenet bus tadi. Tapi dia nggak peduli, akhirnya ada bus lain yang berhenti, bus Laksana Jaya. Krenetnya kasihan sama saya langsung dia membantu menjahit karung yang membuka. Saking berterimakasihnya ketika anak ketiga saya lahir, saya memberinyta nama Laksana belakangannya untuk mengingat kejadian itu,’’ kenang Endang.

Begitu sampai rumah jam sembilan malam, sekitar pukul dua belas malam Endang pun segera berangkat ke bidan karena tanda-tanda melahirkan sudah tampak. Dan benar saja. Beberapa menit sampai di rumah bidan sang jabang bayi langsung lahir.

Ternyata tak hanya lewat berdagang saja Endang berusaha mengais rezeki. Uang hasil penjualan itu juga masih ia olah lagi. Ia kemudian mengikuti kursus menjahit dan merias pengantin. Selain berdagang ia juga menerima jahitan pakaian dan merias pengantin hingga keluar kota. Pekerjaan ini ia lakoni sampai ia hamil besar. Kebiasaan bekerja selama hamil ini berlangsung hingga tiga anaknya lahir.

Ketika hamil anak kedua pun gara-gara sibuk merias pengantin kelahiran Riyo Ande Priambodo juga jadi molor hingga sepuluh bulan lebih. Tubuh yang giat mencari uang kesana kemari tampaknya membuat si janin enggan untuk mengganggu sang ibu yang sedang gigih mengumpulkan uang itu.

’’Waktu kelahiran anak ketiga saya, Rino Dayu Laksono, saya malah sudah pecah ketuban duluan sepulang dari kulakan barang. Kebetulan mobil saya mogok ditengah jalan. Pas mau mbenerin tiba-tiba saya merasa baju saya basah, segera aja nyari kendaraan buat berangkat ke bidan. Tapi yang ada justru dokar. Ya sudah saya akhirnya naik dokar aja buat ke bidannya,’’ terang Endang.

Kerja keras Endang yang bisa dibilang ektra keras ini di mata Muhdi dinilai sebagai tindakan yang sungguh luar biasa. Di matanya, Endang ini adalah perempuan yang kuat niatnya dan sedikit nekat.

’’Berdagang itu kalau nggak ada sedikit bakat, punya niat yang kuat dan sedikit nekat ya nggak jalan-jalan. Nah semuanya itu ada pada isti saya. Makanya sekarang bisa seperti sekarang ini. Makanya ya nggak heran kalau usaha istri saya bisa berkembang dengan baik, kan dia kerjanya juga ektra keras begitu. Bayangkan saja di saat orang sudah mancal kemulnya (berselimut) bersiap untuk tidur, istri saya masih dalam perjalanan pulang dari kulakan barang. Disaat orang lain pada sibuk memasak, dia sudah kerja pagi keliling dari pasar satu ke pasar lainnya,” ujar Muhdi.

Kerja Keras bukan Tuyul

Namun, tak selamanya hasil kerja keras keras orang dinilai positif oleh orang lain. Para tetangga yang sirik terhadap Endang melihat usaha Endang berhasil dari waktu ke waktu malah menyangka Endang memelihara tuyul atau semacamnya sehingga usahanya laris dan makin berkembang seperti tadi. Terlebih lagi ketika Endang mampu membeli sebuah mobil ceth o (mobil yang bahan bakarnya campuran) sebagai mobil untuk kulakan dan mengantar barang. Omongan tetangga semakin menjadi-jadi. Endang di tuduh sengaja memakai ilmu penglarisan. Padahal, untuk membeli mobil itu ia menabung dulu, itupun untuk menekan biaya pengeluaran akamodasi kulakan dan ngantar barang. Bahkan, demi penghematan keungan, Endang sendiri yang menyetir sendiri. Bahkan, kadang merangkap sebagai orang tukang ganti ban juga apabila ban mobil gembos atau mesin mendadak mati ditengah jalan.

’’Padahal semua itu tidak benar. Usaha berhasil itu ditentukan banyak hal. Selain hasil pemikiran dan kerja keras juga disertai doa. Ya istr saya juga rajin shalat hajatnya. Kadang nyempatin juga salat Dhuha. Wajar kalau usahanya sekrang berhasil seperti sekarang,’’ terang Muhdi.

4 Toko

Setelah sekian tahun bekerja keras, kini Endang sudah mendirikan empat toko untuk menjual barang dagangannya sendiri. Keempat toko itu ada di Wlingi, Talun, Kesamben, dan Sukosewu. Toko-toko ini sekarang di kelola kedua anak lelakinya. Endang sendiri hingga saat ini teatp bekerja, kulakan barang sore hingga malam hari, pagi hari ia titipkan ke toko-toko di pasar-pasar.

’’Kalau barang-barang yang saya jual di toko bisa dibeli secara bijian. Nah, kalau yang saya bawa ke pasar-pasar itu harus dibeli secara lusinan. Karena itu saya buka toko juga akhirnya sekarang-sekarang ini. Biar orang bisa beli bijian bila bener-bener membutuhkannya. Kan kalau saya nggak buka toko seperti ini orang susah bisa membeli barang-barang saya. Kan nggak semua orang mau beli dalam jumlah banyak,’’ papar Endang.

Dengan membuka toko seperti sekarang ini Endang merasa dia bisa membuka lapangan kerja baru bagi para warga sekitarnya. Selain itu ia ingin juga menumbuhkan jiwa berwiraswasta pada anak-anaknya.

’’Mereka kan sudah selesai kuliah semua. Daripada sibuk membuat lamaran kerja, lebih baik mereka membuka lapangan kerja baru. Itu bisa mendatangkan keberkahan juga buat orang lain,’’ ucapnya. [Niken Anggraini]

Minggu, 04 Juli 2010

Menulis sebagai Investasi*

Selamat kepada para aktivis FLP-HK dan segenap pendukungnya, yang telah menggelar Festival Sastra Migran (9/5). Mereka adalah insan-insan yang tak pernah mau diam menunggu, yang selalu menyibukkan diri dalam kerja yang sangat bermanfaat, baik bagi diri dan lingkungan mereka. Dan hebatnya, mereka merasa senang sambil bercucuran keringat itu! Gerakan literasi, memperkuat diri dan lingkungan melalui sarana tulisan, dengan membaca dan menulis, sungguh merupakan perjuangan dalam damai yang, yakinlah, hasil bakal bisa dipetik di kemudian hari.

Ndilalah pula tulisan ini saya buat ketika tadi siang saya bersama beberapa penulis berbicara di depan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) –almamater saya. Senang berada di antgara mereka. Dan pertanyaan mereka pun kadang terasa lucu, kadang mengejutkan pula!

’’Benarkah kadang-kadang Anda menulis hanya untuk kesenangan, dan membiarkan tidak mendapatkan apa-apa karenanya?’’ demikian salah satu kalimat pertanyaan yang langsung diarahkan kepada saya.

’’Ya, demikianlah, jika istilah ’apa-apa’ itu kita maksudkan sebagai ’uang.’ Menulis telah menjadi ’darah’ dalam hidup saya. Karena itu, sekali lagi jika ’apa-apa’ tadi kita maksudkan adalah ’uang’ tak sedikit saya melakukan kgiatan, termasuk menulis, dan tidak hanya tidak mendapatkan apa-apa, bahkan malah ’merugi’.’’

Diam. Tidak ada protes, tidak ada komplain. Saya tahu, mereka menunggu kalimat saya selanjutnya. Maka, saya pun melanjutkan kalimat saya.

’’Saya menulis untuk banyak media. Menulis di blog, di koran, di majalah. Bahkan melayani pesanan, misal, seseorang tiba-tiba memesan sebuah puisi berbahasa Jawa untuk dibaca pada pernikahan anaknya. Ada juga pejabat yang, melalui SMS, memesan dua kuplet pantun untuk menutup pidatonya. Sesuai hukum ekonomi, mereka yang melakukan pemesanan itu biasanya memberi imbalan, uang, di atas harga rata-rata, kalau tulisan itu ada harga rata-ratanya! Sedangkan tulisan yang saya kirimkan ke media atas inisiatif saya, tentu saya hanya menunggu, apakah honornya memuaskan, sekadar bisa buat beli rokok, atau bahkan ternyata tidak ada honor!’’

’’Lho, media cetak menerima tulisan tanpa mau memberi honor?’’

’’ Anda heran? Dan itu benar-benar ada. Saya bisa memberikan alamatnya jika Anda mau!’’

Mereka semakin diam! Wah. Cerita saya tampaknya menarik, ya? Dalam hati sebenarnya saya tertawa kecil. Ini bagian yang cukup indah. Betapa tidak? Saya diundang hari itu untuk memberikan suntikan semangat kepada para mahasiswa adik kelas saya, bahwa menulis (tentunya juga: membaca) itu sedemikian bermanfaatnya bagi kehidupan kita, dan saya dengan gagah-berani mengatakan tak masalah kalau dari tulisan kita tidak dapat apa-apa, tidak dapat honor?

Tak betah berlama-lama mempermainkan perasaan mereka, maka saya pun segera meluncur ke bagian kalimat-kalimat yang tampaknya paling mereka tunggu-tunggu.

’’Benar memang, sering saya tidak mendapatkan honor atas tulisan saya yang dimuat di media cetak. Tetapi, saya tetap merasa beruntung, bukan sok beruntung, lho. Mengapa? Sebagai anggota masyarakat, dengan melakukan urun rembug melalui tulisan, saya telah mengekspresikan rasa dan pikiran saya, dan karenanya saya telah melakukan hal yang baik bagi kesehatan jasmani dan rohani saya. Apalagi kalau tulisan saya itu kemudian membuat orang lain merasa senang, merasa mendapatkan informasi baru. Bukankah keberadaan saya menjadi lebih berguna? Apakah yang lebih mewah dari perasaan suka-cita karena merasa bermanfaat seperti itu? ’Itu keuntungan nonmaterialnya.’’

’’Memang masih ada keuntungan materialnya? Bukankah ini kisah tentang tulisan yang tidak mendapatkan honor?”

’’Sabarlah. Tidak ada honor itu kan dari koran yang memuatnya. Tetapi, kalau ada pembaca yang tertarik, dan kemudian mengundang saya untuk acara diskusi dengan tema seperti yang saya tulis itu, dan saya mendapatkan honor bagus dari acara diuskusi itu, apakah itu bukan material?’’

Waduh, halamannya hampir tak cukup! Begini saja, kesimpulan akhirnya, baik dapat honor maupun tidak dapat honor pada pemuatan pertamanya, dengan menulis sesungguhnya kita sedang berinvestasi. Bukankah orang bijak bilang, ’’Jika kita melakukan kebaikan dengan niat baik, maka Tuhan akan membalas dengan kebaikan berlipat-ganda pada saat dan tempat yang tidak kita duga?’’

Nah!


*) Dipublikasikan pertama di Majalah Peduli

Minggu, 11 April 2010

Sedih dan Gembira

April adalah bulan yang selalu saja mengingatkan kita kepada perempuan hebat bernama Kartini. Ia adalah lambang perlawanan terhadap ketertinggalan dan penindasan atas perempuan. Karena itulah ia dijuluki pahlawan emansipasi perempuan.

Kini kita membayangkan, andai saja Ibu Kartini masih berada di tengah-tengah kita, ia akan menangis sejadi-jadinya melihat kaumnya masih saja dipinggirkan, masih saja harus terpelanting dari negri yang dicintainya, untuk menegakkan kehidupannya. Sudah begitu, masih dapat perlakuan kurang baik pula. Masih dicitrakan sebagai warga negara kelas sekian pula. Padahal, sekian banyak warga lain ikut (lebih) menikmati cucuran keringat, airmata, dan bahkan darah mereka!

Apalagi jika sampai dengar kabar mengenai bergelimpangannya BMI korban penipuan orang-orang jahat. Dan notabene, pelaku kejahatan itu sebagian besar adalah: laki-laki. Kaum perempuan adalah kaum ibu. Dari merekalah generasi penerus bangsa dilahirkan. Kalau ada pepatah mengatakan ibu adalah bumi, dan laki-laki adalah langit, seharusnyalah tidak dimaknai bahwa langit lebih tinggi daripada bumi dan karenanya lebih mulia. Langit dan bumi adalah pasangan, yang satunya tidaklah lebih tinggi dan lebih mulia daripada lainnya. Bumi menumbuhkan segala macam flora, hal yang tak bisa dilakukan oleh langit. Dan langit menurunkan hujan, hal yang tidak dilakukan oleh bumi. Karena itulah, pertentangan mana lebih mulia: laki-laki atau perempuan, hanyalah urusan orang-orang cupet nalar (pikiran sempit). Yang pasti, kalau ada kaum atau bangsa yang menistakan perempuannya, niscaya bangsa itu sedang berada di bibir jurang kehancurannya sendiri. Dan tangis Ibu Kartini akan semakin menjadi-jadi.

Tetapi, ada kabar lain yang bisa membuat Ibu Kartini trersenyum bangga. Banyak BMI-HK yang gigih menuntut ilmu sambil banting-tulang mengais rezeki di Negeri Beton ini. Ada yang ambil kursus, ada yang ambil diploma, ada pula yang rajin ke perpustakaan, dan kemudian menuliskan buah pikirannya. Ibu Kartini pasti tersenyum bangga. Dan akan mengelus dengan penuh kasih setiap kaumnya yang tak kenal putus asa memerjuangkan hak-haknya sebagai manusia, melawan siapa pun yang merendahkan atau bahkan menistakan perempuan.

Apalagi bila dengar rencana kawan-kawan akan menyelenggarakan Festival Sastra Buruh Migran. Ibu Kartini pasti bertambah bangga lagi. Bukan hanya di dalam perasaan, tetapi pastilah disertai tindakan. Beliau akan segera menghubungi Ketua Panitianya, dan meminta agar beliau diberi kesempatan untuk membuka acara yang sangat bergengsi itu. Beliau putri seorang bupati, pasti tidak akan terlalu susah untuk mendapatkan tiket pesawat kelas eksekutif sekalipun.

Maka, jika kelak Festival Sastra Buruh Migran jadi digelar di HK, kalau tidak dibuka Presiden atau Menakertrans, atau Menteri Pemberdayaan Perempuan, biarlah dibuka Ibu Kita Kartini!*

Menggelar Festival Sastra Buruh Migran, Mau?

’’Tolong sampaikan ide saya agar Pak Gubernur dan tokoh-tokoh Jawa Timur yang lain, syukur Pak Menteri, agar mau ngasih dukungan/sambutan pada acara yang digelar BMI-HK nanti via internet. Dari PC diproyeksikan ke screen di panggung. Ini belum pernah dilakukan oleh pejabat-pejabat kita, memanfaatkan internet untuk memantau aktivitas BMI atau sebaliknya. Saya yakin ini akan diikuti pejabat-pejabat lain. Dengan begitu, akan bisa enyelamatkan ratusan juta rupiah. Lha wong kita yang di sini ngumpulne uang receh untuk mendanai yayasan-yayasan, rumah baca, TPQ, dan kaum dhuafa di tanah air... mereka malah berbondong-bondong ngabisin uang negara utk hajat kecil. coba uang segitu buat rakyat kecil yang butuh, kan lebih bermanfaat.’’

Begitulah bunyi sebagian surat Mbak Susie Utomo (Peduli No 46) yang sangat inspiratif itu. Lalu kita teringat sebuah acara yang cukup bergaung yang pernah kita gelar 2007 di Blitar: Festival Sastra Buruh. Tahun 2008 dan 2009 sudah lewat tanpa acara yang semula digagas untuk digelar setiap tahun di bulan Mei itu.

Maka, surat Mbak Susie itu bagaikan nggugah macan turu (membangunkan singa dari tidurnya). Di dalam sarasehan istimewa yang berlangsung secara marathon dengan beropindah-pindah tempat: kamar dan lobi hotel, warung, pantai, ruang tamu, trotoar, di Trenggalek, Magetan, Madiun (6 – 8 Februari 2010) terbulatkanlah tekad untuk kembali menggelar festival itu tahun ini. Di bulan Mei nanti.

Namanya juga festival atau pesta, ia bisa digelar di mana saja. Bisa di Indonesia, bisa di Hong Kong, Taiwan. Bisa di Trengalek, atau di Kudus. Bisa di kota atau di desa yang jauh. Bisa pula digelar di pinggir laut macam di Karanggangsa itu. Bisa pula digelar secara serentak atau berurutan waktu di beberapa tempat sekaligus.

Begitu luwesnya. Kalau ada yang merasa perlu dan bisa mengundanag sastrawan BMI-HK untuk datang ke Indonesia, atau mengundang/mengajak sastrawan mantan BMI untuk unjuk karya: baca cerpen atau puisi di Hong Kong, ya silakan saja.

Ini adalah persoalan kemauan. Pemerintah boleh bilang lagi krisis keuangan, dana habis untuk pemilukada atau menyantuni korban bencana, silakan saja. Kita tidak tahu kondiosi yang sebenarnya. Karena rakyat diperbolehkan meminta (mengambil uang tabungan yang dibayarkannya melalui pajak dengan bermacam bentuknya) ya kita coba meminta. Kalau tidak diberi, apa pun alasannya, ya kita terima. Maksudnya, kita terima alasannya itu, apapun juga. Bukankah kita bukan pemalak?

Kita akan berupaya untuk, setidaknya, menginspirasi banyak orang, termasuk para pemegang kendali kebijakan dari tingkat rukun kampUng, rukun kabupaten, rukun provinsi, atau rukun negara, bahwa pertama-tama adalah niat. Adalah kemauan, dan keyakinan bahwa yang diniati, yang dimaui, adalah sesuatu yang bagus, baik, ada manfaatnya.

Festival Sastra Buruh Migran itu, di mana pun dapat digelar, dengan sederhana atau Pun dengan gegap-gempita, ia tetaplah sesuatu yang besar, adalah sebuah prestise, sebuah kebanggaan bagi kawan-kawan buruh migran di mana pun berada, bahkan bukan hanya bagi mereka yang menyukai tulisan (sebagai penikmat atau pun sebagai kreator). Sebab, istilah buruh migran itu sudah otomatis nggepyok semuanya, seperti ketika masyarakat memiliki kesan negatif terhadap BMI, padahal konon sesungguhnya kalaulah ada yang layaK dilabeli negatif itu hanya sebagian sangat kecil saja, yang ikut terkena getahnya toh juga semua BMI? Begtulah gambarannya. Dan kita berkepentingan untuk menegakkan rasa bangga kita sebagai manusia yang berkarya, apa pun bidang yang kita geluti sekarang ini.

Jadi gimana ini, menggelar Festival Sastra Buruh Migran 2010, mau? Yuukkkk……….. ya!

Jumat, 05 Maret 2010

Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong

Selain sumbangan berupa devisa, Buruh Migran Indonesia (BMI) juga memiliki andil besar dalam bidang Budaya, termasuk Pariwisata. Selama ini kita kenal adanya buruh yang juga bekarya sebagai seniman, termasuk di antaranya sebagai penulis/sastrawan.

Di dalam bidang penulisan, ada BMI-HK yang kemudian kembali ke tanah air dan hidup sebagai penulis/motivator (Eni Kusuma, Banyuwangi). Eni dipandang sebagai sosok yang mampu menginspirasi, terlebih bagi sesama BMI/mantan BMI. Etik Juwita, mulai jadi cerpenis ketika masih bekerja di Hong Kong, salah satu cerpennya yang pernah dimuat Jawa Pos berjudul Bukan Yem terpilih dan masuk 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008 versi Pena Kencana.

Karena ketrampilannya menulis, Tania Rosandini (Malang), bahkan kemudian alih pekerjaan dari pekerja rumah tangga (di Hong Kong) menjadi jurnalis Radar Taiwan (di Taiwan). Ada beberapa BMI-HK yang juga bekerja sebagai koresponden tetap dan penulis lepas untuk media cetak yang terbit di Indonesia.

Terbentuknya komunitas/organisasi seni di kalangan buruh migran asal Indonesia di Hong Kong seperti: Forum Lingkar Pena, Sanggar Budaya, Sekar Bumi, dan lain-lain yang tidak hanya terlibat dalam acara-acara di kalangan BMI, melainkan juga berpartisipasi dalam acara-acara kesenian antarbangsa menunjukkan bahwa mereka layak disebut juga sebagai Duta Bangsa di bidang Budaya/Pariwisata.

Para BMI/Mantan BMI-HK juga telah menunjukkan sumbangan yang nyata terhadap pemberdayaan bangsanya melalui penguatan/peningkatan program memasyarakatkan tradisi baca/tulis di kampung halaman mereka, seperti yang dibangun oleh Maria Bo Niok (Wonosobo, Jawa Tengah) dengan rumah baca Istana Rumbia-nya. Di Jawa Timur ada juga kelompok belajar seperti yang dibangun oleh Nadia Cahyani (Magetan) dkk.

Mereka, para BMI/Mantan BMI-HK berprestasi/berdedikasi itu telah menunjukkan bahwa kepergian mereka bukan hanya untuk mengentaskan diri dan keluarga mereka dari berbagai persoalan. Mereka ternyata telah menunjukkan kepedulian yang luar biasa terhadap masyarakat di sekitarnya.

Oleh karena itulah, memberikan dukungan kepada mereka dalam bentuk penghormatan/penghargaan –betapa pun kecil nilai nominalnya—sebagai bentuk dukungan terhadap prestasi, dedikasi, konsistensi mereka adalah penting. Penting untuk lebih menginspirasi seluruh anak negri ini, bukan hanya sesama BMI/Mantan BMI.

Forum Budaya Buruh Migran Indonesia (FBBMI) menggagas pemberian penghargaan bagi BMI/Mantan BMI-HK yang berprestasi, berdedikasi, dan konsisten terkait bidang penulisan/sastra dalam rangka ikut memeringati Hari Buruh Sedunia (1 Mei) 2010.

Penghargaan direncanakan diberikan dalam bentuk piagam, piala, dan sejumlah uang.

Penghargaan diberikan untuk:

[1] Organisasi
Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan Bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong 2010 diberikan kepada sebanyak-banyaknya 3 organisasi yang:
[a] Berkedudukan di HK baik resmi (memiliki legalitas formal) maupun tidak resmi (informal)
[b] Menunjukkan aktivitas yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan bagian dari upaya pemberdayaan diri/lingkungan melalui kegiatan membaca dan/atau menulis
[c] lolos seleksi

[2] Perorangan
Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan Bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong diberikan kepada sebanyak-banyaknya 5 orang yang:
[a] berstatus sebagai BMI-HK/Mantan BMI-HK
[b] menunjukkan prestasi/dedikasi/konsistensi dalam bidang penulisan fiksi/nonfiksi.
[c] lolos seleksi

[3] Buku
Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan Bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong diberikan untuk sebanyak-banyaknya 10 buah buku yang:
[a] merupakan hasil karya BMI-HK/Mantan BMI-HK
[b] dapat berupa buku fiksi/nonfiksi
[c] lolos seleksi


Catatan:
[1] Ini masih berupa keinginan
[2] Tim Sleksi akan dibentuk kemudian
[3] Mohon dikoreksi, dan jika ada yang perlu ditambah/dikurangi

[4] Kontak:
forumburuhmigran@gmail.com
bonarine@gmail.com