This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label SOSOK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SOSOK. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Oktober 2009

’’Nikmati Pekerjaanmu!’’

Widya Katharina, Head of Marketing Division Fran’s Bakery

BEKERJA tanpa menikmati apa yang dikerjakan, tentu tak akan berbuah maksimal. Prinsip itulah yang selalu ditanamkan Widya Katharina pada bawahan dan rekan kerjanya di Fran’s Bakery.


Satu hal yang sering ditanyakan Widya pada rekan kerjanya adalah, apakah mereka sudah merasa nikmat di posisinya. Karena, bekerja dan tidak menikmatinya, kinerjanya pasti tak bisa optimal.

Untuk urusan yang satu ini, lulusan Blue Mountain Hotel Management Australia ini bahkan tak segan mencarikan posisi baru bagi karyawannya yang merasa tidak nyaman berada pada satu posisi. ’’Saya akan carikan tempat baru, kalau memang di divisi lama mereka merasa tidak nikmat,’’ kata wanita kelahiran 16 Maret 1975 ini.

Enjoy atau nikmat, kata istri Gan Huey Ming tak hanya berlaku pada diri sendiri. Perasaan nyaman bekerja, juga harus berlaku buat orang lain. Misalnya saja, saat menerima tamu. Karyawannya harus menyambut dan memberi respon positif, yang pada akhirnya membuat tamu jadi nyaman. ’’Ibaratnya, kalau kita mau diperlakukan baik oleh orang lain, ya kita harus memperlakukan mereka dengan baik,’’ tuturnya.

Hasilnya, banyak pekerja di Fran’s Bakery menjadi loyal pada perusahaan. Konkretnya, tak sedikit pegawai yang bekerja dengan masa kerja puluhan tahun. Ibu Kezia Abigail (5) dan kembar Philip Wicaksono (3), Philia Nadine (3) ini bergabung dengan Fran’s sejak tahun 1997. Ketika itu ia dipercaya oleh orang tuanya yang merupakan pendiri Fran’s Bakery yakni Boenarto dan Liliana, sebagai kepala toko Fran’s Gubeng. Lalu 1999 sampai sekarang, ia dipercaya sebagai Head of Marketing Division.

Meski perusahaan tempat ia bekerja adalah milik orang tua, namun tidak membuat Widya bersantai ria. Ia tetap bekerja secara profesional dan bertanggung jawab. Ia juga masuk kerja dan menerima gaji seperti pegawai lainnya. Bahkan, ketika hari Sabtu dan Minggu, ia minta waktu libur untuk keluarga, tetap saja terjadi negoisasi. ’’Tidak serta-merta dikabulkan. Saya tetap beri argumen, kenapa saya minta libur, di dua hari tersebut,’’ ujar Widya yang hobi membaca.

Bekerja dengan orang tua, bagi Widya memiliki nilai plus tersendiri. Ia jadi merasa lebih memiliki dan berkomitmen untuk mengembangkan usaha tersebut.

Satu hal lagi yang sering Widya lakukan pada stafnya adalah, selalu memberi waktu khusus untuk berkeluh kesah. Masalahnya bisa beragam. Tak harus masalah pekerjaan, soal pribadi atau keluarga pun, Widya mau meluangkan waktu. Bahkan, jika tak sempat bercerita di kantor, Widya selalu menitip pesan pada stafnya untuk SMS kalau ada masalah. ’’Karena kalau bicara telepon berjam-jam, tentu menghabiskan pulsa mereka. Biarlah saya yang aktif menghubungi mereka,’’ tegasnya.

Bagaimana dengan anak dan suami. Apa mereka tidak komplain tentang kesibukan dan bagi waktu dengan keluarga? ’’Ya saya masih terus berusaha menyeimbangkan antara karir dan keluarga. Tapi sebisa mungkin saya tak akan membawa masalah pekerjaan di rumah. Ketika di rumah, waktu saya benar-benar untuk keluarga,’’ tandasnya. [DEWI]

Minggu, 04 Oktober 2009

Pulang dari Luar Negeri Buka Kedai (2)


Kerja di Luar Negeri untuk Cari Pengalaman dan Modal

Umumnya, warga Indonesia berangkat ke luar negeri sebagai BMI karena faktor keterbatasan ekonomi keluarga. Keterbatasan perekonomian keluarga itu membuat mereka kehilangan kesempatan dalam banyak hal, seperti pendidikan dan usaha.


Namun, Arif Puji Rahayu (25) dan Lukman Hakim (28), pasangan muda yang tinggal di Jalan Tanjung No.49, Desa patihan Kidul, kecamatan Siman, Ponorogo, itu ternyata bukan termasuk BMI yang berangkat ke luar negeri karena faktor keterbatasan ekonomi keluarga. Keduanya berasal dari keluarga yang secara ekonomi cukup mampu, apalagi jika hanya untuk membiayai hidup dan pendidikan anak-anaknya.

Ketika ditanya apa yang mendorong mereka berangkat ke luar negeri sebagai BMI, pasangan tersebut pun hampir serentak menjawab karena ingin mencari pengalaman. Mereka ingin merasakan bagaimana sih rasanya hidup di luar negeri. ''Selain pengalaman, ya cari modal,'' ungkap Puji diiyakan Lukman.

Namun, tentang proses ke luar negeri, Lukman punya pengalaman yang menurut dirinya sangat berharga, yakni ditipu orang hingga belasan juta rupiah. Itu terjadi beberapa tahun sepulang dirinya dari Malaysia. Ceritanya, ia ingin bekerja lagi ke luar negeri. Tidak ke Malaysia, tetapi ke Korea. Sialnya, uang sudah masuk, dirinya tidak bisa berangkat, malah uang hangus.

Di Malaysia pun, sebelum dirinya mendapatkan majikan yang baik dan akhirnya diserahi sebuah restoran, Lukman sempat terlunta-lunta. Sebab, baru ia tahu setelah mau masuk Malaysia, dirinya ternyat masuk Malaysia secara ilegal.

Karena itu, di Malaysia dirinya tidak 'aman'. Ia sangat rawan tertangkap razia polisi Malaysia. Untuk menghindari itu, Lukman bersama beberapa temannya senasib, memilih mencari kerjaan di perkebunan, di hutan. Kalau malam, ia tidur di atas pohon. ''Tidur di bawah, nggak berani, Mas. Banyak ular di sana. Itu di hutan lho,'' kata Lukman.

Pengakuan Lukman, ia berhasil kerja ke Malaysia, itu pun setelah sekali gagal. Sebelumnya, ia sudah pernah proses ke Malaysia, tetapi gagal berangkat karena ulah oknum. Saat itu, ia terpaksa kehilangan uang sekitar Rp 3 juta.

Sementara Puji, ia mengaku sama sekali tidak ada masalah sehubungan dengan keberangkatan dan pekerjaannya di Hong Kong. Ia bersyukur mendapatkan majikan yang baik. ''Majikan saya sebetulnya maunya saya nambah setelah kontrak habis. Tapi, Mas (Lukman Hakim, Red) nyuruh saya pulang saja, ya saya pulang,'' kata Puji. [KUS/PUR]

Pulang dari Luar Negeri Buka Kedai (1)


Jika Anda pergi ke Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, dan melintas di Jalan Ki Ageng Kutu, di salah satu tepi jalanraya, Anda akan mendapati kedai yang cantik dan bersih. Kedai itu bernama Kedai Lucky. Tepatnya, kedai ini terletak di Jalan Ki Ageng Kutu No. 38, Tonantan, Ponorogo. Kalau masih bingung, cari perempatan Jeruk Sing. Nah, Kedai Lucky berada di selatan perempatan tersebut.

Kedai ini cukup nyaman untuk dijadikan tempat santap siang atau malam bersama keluarga atau kekasih. Ruangan sangat bersih, dengan tataruang yang agaknya sangat diperhitungkan dari segi artistiknya. Sepintas kilas, ada warna Bali dalam desain ruangan. Namun, ternyata pemiliknya mengaku bahwa dirinya tidak sengaja memberi warna lokal Bali dalam tataruang kedainya tersebut.

Kesan romantisnya pun dapat di kedai ini. Ketika Anda menikmati sajian di sini, Anda juga akan ditemani alunan musik-musik soft yang enak di telinga. Selain itu, pandangan mata Anda pun dimanjakan dengan dekorasi menarik dan sebuah akuarium besar berisi warna-warni ikan. Ikan-ikan dalam akuarium tersebut tidak sekadar hiasan, tetapi ikan-ikan itulah yang akan disajikan kepada pengunjung yang memesan menu masakan ikan. Jadi, jika Anda menikmati menu ikan di sini, Anda mendapatkan ikan-ikan segar yang menyehatkan.

Ada beberapa pilihan menu di kedai ini. Di antaranya, menu ikan gurami bakar atau goreng, ayam bakar, ayam goreng, soto ayam, dan nasi lemak. Minuman pun cukup bervariasi. Ada juice, soft drink, coffee and tea, juga pop ice dengan berbagai variasi. Tapi jangan cari dawet atau cendol di sini, sebab menu minuman tradisional tersebut tidak tersedia di sini.

Harga menu makanan dan minuman di kedai ini pun tidak mahal. Sebab, harga menu tertinggi hanyalah Rp 8000/porsi, yakni menu ayam bakar dan ayam goreng. Ikan gurami bakar atau goreng hanya Rp 3.500/ons, sedangkan minuman hanya Rp 1.500 hingga Rp 3000/gelas.

Kedai Lucky yang cantik ini ternyata milik pasangan suami-istri yang keduanya adalah mantan Buruh Migran Indonesia (BMI). Pasangan tersebut adalah Arif Puji Rahayu (25) dan Lukman Hakim (28). ’’Lucky itu nama anak saya,'' kata Puji, sapaan Arif Puji Rahayu, sambil senyam-senyum. ''Sekarang anak saya itu baru umur 1 tahun. Namanya Lucky Anisa Mahardika,'' tambahnya.

Puji adalah mantan BMI Hong Kong. Ia bekerja di Hong Kong selama 4 tahun 2002-2006. Sementara itu, Lukman Hakim, suami Puji, adalah mantan BMI Malaysia. Lelaki tambun tersebut bekerja di Malaysia selama 2 tahun (1999-2001).

''Jadi, saya ke Hong Kong itu setelah Mas (Lukman Hakim, Red) pulang dari Malaysia,'' ungkap Puji yang mengaku ketika berangkat ke Hong Kong, dirinya sudah menjalin asmara dengan Lukman Hakim yang sekarang menjadi suaminya.

Patungan
Kedai Lucky didirikan pada Januari 2006. Modal untuk mendirikan kedai itu sekitar Rp 30 juta hingga Rp 35 juta. Untuk sewa tempat saja menghabiskan dana Rp 3 juta setahun. Tempat itu mereka sewa selama 2 tahun. ''Modalnya memang besar, Mas, tapi itu tidak langsung. Bertahap. Ya, hasil patungan berdua,'' aku Lukman Hakim yang diiyakan sang istri.

Kedai yang belakangan namanya menjadi nama depan putri mereka itu, juga menyimpan sejarah tersendiri bagi pasangan muda tersebut. Sebab, selain didirikan dengan usaha berdua, kedai itu juga turut menandai hari bersejarah mereka: pernikahan.

''Ya, saya di Hong Kong dapat 3 tahun, terus saya cuti pulang dan menikah. Terus, Mas (Lukman Hakim, Red) buka kedai ini. Kedai sudah berdiri, terus saya kembali ke Hong Kong untuk menghabiskan kontrak kerja saya yang masih 1 tahun lagi,'' ungkap Puji.

Kedai itu didirikan beberapa tahun sepulang Lukman Hakim dari Malaysia sebagai BMI. Ide pendirian kedai itu merupakan ide Lukman. Ketika masih kerja di Malaysia, ia memang sudah mempunyai cita-cita untuk mendirikan rumah makan. Menyiapkan berbagai menu masakan, bagi Lukman memang tidak terlalu jadi masalah. Sebab, di Malaysia ia bekerja sebagai koki di sebuah restoran. Bahkan, karena majikannya mempercayainya, restoran tersebut kemudian diserahkan kepada Lukman pengelolaannya.

Bagaimana perkembangan kedai? ''Kalau perkembangannya, ya belum bagus amat sih, tapi alhamdulillah bisa berjalanlah. Nggak tentu. Kadang ramai, kadang juga sepi,'' tambah Puji.

Namun, diakui Puji dan Lukman saat ini kedainya sedang sepi meskipun hari-hari tertentu pengunjungnya tetap ramai. Ada dua hal yang menurut mereka menjadi penyebab sepinya kedainya akhir-akhir ini. Pertama, persaingan semakin ketat, terutama dengan semakin maraknya warung remang-remang di wilayah Kota Ponorogo. Menu yang disajikan warung-warung remang itu memang beda dengan menu di Kedai Lucky. Tapi, kata Lukman, pengunjung kebanyakan lebih suka ke warung remang-remang ketimbang warung terang benderang seperti kedainya.

Hal kedua yang membuat kedainya cenderung sepi belakangan ini adalah soal pelayanan. Diakui Lukman dan Puji, semula beberapa kali mereka punya karyawan untuk melayani pengunjung. Tapi sekarang tidak lagi, dan pengunjung mereka layani sendiri.

''Saya kalau punya pelayan di sini selalu dibawa kabur orang, Mas,'' kata Puji tertawa. Dibawa kabur orang, maksudnya, diajak jalan-jalan sama cowok, lalu lama-lama tidak kembali. Akhirnya, Lukman dan Puji jadi males juga mencari pelayan lagi.

Tapi, kurang begitu ramainya kedai miliknya itu, menurut Lukman, juga karena tanah tempat didirikan bagunan itu kurang cocok. ''Entah mengapa tiga tempat sederetan ini, nasibnya sama. Sepi. Kata orang tua, ini memang tempatnya sebetulnya nggak cocok untuk usaha,'' ungkap Lukman.

Presto
Namun, pasangan muda tersebut tidak hanya mengandalkan kedainya yang belum bisa memberikan penhasilan yang optimal. Lukman dan Puji juga usaha membuat bandeng presto. Menurut Lukman, justru bandeng prestonya itu yang lakunya bagus.

Mereka berdua membuat bandeng presto, lantas dipasarkan di Pasar Songgolangit, Ponorogo. Selain itu, mereka juga sudah punya pelanggan pedagang keliling dan karyawan lembaga pemerintah dan BNI. Dalam sehari, mereka bisa menghabiskan ikan bandeng sebanyak 2 kuintal untuk presto.

Namun, saat ditemui Peduli di kedainya, Selasa (12/08) lalu, Lukman dan Puji sedang meliburkan diri dari memroduksi bandeng presto. Sebabnya, saat itu ikan bandeng harganya sedang sangat mahal. Mereka memilih libur dan menunggu harga ikan bandeng kembali normal untuk memulai lagi memroduksi bandeng presto.

''Harga bandeng terus naik, Mas, entah kenapa. Tadinya Rp 10 ribu/kg, sekarang sampai Rp 13.500/kg. Pelanggan dari kalangan pedagang keliling kalau harga prestonya terus dinaikkan, mereka nggak mau. Soalnya, kalau harganya terlalu mahal, presto jadi nggak laku, nggak ada yang mau beli, katanya. Jadi, ya mendingan libur dulu. Sekarang buat presto kalau ada pesanan saja. Kalau ada pesanan, lumayan, Mas. Soalnya kalau pesan, pasti dalam jumlah besar,'' ungkap Lukman panjang-lebar.

Menurut Lukman, ikan bandeng sebanyak 1 kg bisa jadi empat kotak bandeng presto. Sekotak presto berisi tiga ekor ikan bandeng. ''Untungnya sedikit, Mas, tapi bandeng presto ini pembelinya banyak,'' katanya. [KUS/PUR]

Sabtu, 03 Oktober 2009

HESTI ARMIWULAN, SH, M.HUM: Hak Politik TKI harus Dipenuhi

Disadari atau tidak, tenaga kerja Indonesia (TKI) memberi kontributor yang besar bagi devisa negara. Sayangnya keberadaan TKI masih dipandang sebelah mata. Di dalam negeri tidak mendapat tempat, di luar negeripun terlunta-lunta. Inilah nasib yang dialami oleh para TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Padahal, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri hingga saat ini diperkirakan sebanyak 2,7 juta orang.

Namun ironisnya, sebagian besar dari para pahlawan tersebut (sekitar 2 juta orang) selalu dihantui oleh persoalan yang sampai sekarang belum terpecahkan, mulai dari persoalan yang ringan hingga besar, seperti kasus pembayaran upah, pemukulan, perkosaan sampai kasus TKI yang dihukum mati. Bahkan ketika harus pulang ke negaranya sendiri, ia tetap harus berjuang dan membayar mahal. Hal ini membuat miris wanita yang saat ini aktif dalam Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Hesti Armiwulan.

Wanita berjilbab ini cukup concern melihat permasalahan TKI yang tak pernah ditangani dengan baik. "Seharusnya pemerintah sadar bahwa kondisi TKI saat ini sangat memprihatinkan. UU tenaga kerja juga masih sangat lemah sehingga permasalahan TKI selalu tidak bisa diselesaikan dengan baik," terang Hesti yang menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya.

Di matanya, setiap persoalan TKI yang muncul selalu dianggap sebagai persoalan pribadi tiap warga negara. Padahal seharusnya setiap permasalahan satu orang saja warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah menjadi masalah bangsa.

Kontrol dan pengawasan TKI oleh pemerintah sendiri menurut Hesti juga sangat lemah. Terbukti masih banyak TKI bermasalah (muskila) yang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Selain itu masih banyak TKI yang menggunakan identitas palsu agar bisa bekerja di luar negeri dengan ketrampilan yang sangat minim. Mereka juga hanya dipenuhi hak ekonominya saja, seperti misalnya hak mendapatkan upah. Sementara hak sipil dan politik yang seharusnya menjadi tanggungan negara tak pernah diberikan. Padahal jelas tercantum dalam UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum oleh negara.

Hesti berharap, masalah ini tidak dikesampingkan pemerintah. Karena menurut data terbaru, pada 2005 TKI TKI telah menyumbang devisa negara US$ 2,5 miliar.

Selama kondisi ekonomi di tanah air belum pulih, Hesti yakin masih banyak ribuan TKI yang akan dikirim ke luar negeri. Untuk itu setidaknya pemerintah mulai berpikir untuk membuat undang-undang baru yang mendukung keberadaan TKI. Selain itu setidaknya sebelum TKI dikirim ke luar negeri. Mereka terlebih dahulu telah diberikan ketrampilan dan pengetahuan yang cukup tentang undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di negaranya maupun di negara yang akan ditempatinya.

"Pengetahuan tentang UU tenaga kerja ini penting. Sehingga ketika ia mendapatkan masalah sesegera mungkin ia bisa mengambil sikap yang benar sesuai hukum yang berlaku," terangnya. (kd)


Biodata
Nama : Hesti Armiwulan, SH, M.Hum
Pendidikan : S2 Ilmu Hukum
Status : Menikah, memiliki 2 anak
Jabatan : - Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Surabaya
- Dosen Fakultas Hukum Universitas
Surabaya

Sabtu, 26 September 2009

Berangkat ke Luar Negeri Berbekal Bahasa Tarzan


Ditolong ’’Toyib’’ di Negeri Arab

Rumah yang tergolong mewah dibandingkan rumah lain di sekitarnya itu dikelilingi pagar tembok sebatas dada. Di garasi samping tampak terparkir dua buah mobil pribadi yang kelihatannya sangat terawat. Itulah rumah Sukarmin [45] warga Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, yang pernah nekad berangkat ke Arab Saudi berbekal bahasa Tarzan.


Ketika Peduli dipersilakan masuk, ternyata ruang tamunya pun tampak tertata rapi, pada dinding-dindingya terdapat beberapa potret keluarga dan hiasan kaligrafi. Setelah duduk sejenak spontan Sukarmin mengatakan, ’’Semua ini mulai dari rumah serta isinya dan duabuah mobil itu merupakan hasil jerih payah saya bersama istri bekerja menjadi TKI di Arab Saudi.’’

Awalnya Sukarmin berprofesi sebagai sopir MPU [mobil penumpang umum], sedangkan istrinya [Katmini] sebagai pedagang candak-kulak untuk waktu yang cukup lama. Mengingat hasil dari pekerjaanya saat itu hanya cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja, Sukarmin bersama istrinya memutuskan untuk mengikuti jejak tetangganya yang telah berhasil menjadi TKI ke Arab saudi.

Pada Tahun 1990 saat itu dengan biaya Rp 300.000 ia memutuskan istrinya saja yang berangkat dahulu sementara Sukarmin masih tetap melanjutkan profesinya sebagai sopir MPU sambil menunggui dua anaknya masih berumur masing-masing 8 dan 5 tahun.

Setelah berada dipenampungan selama 3 bulan Istrinya jadi berangkat ke Arab Saudi tepatnya di Riyad. Saat itu ia memperoleh majikan yang cukup keras sifatnya sehingga banyak pengalaman yang pahit bila dirasakan namun ia tetap bertahan untuk menghabiskan masa kontraknya selama 2 tahun dengan gaji 600 real [RP 300.000] perbulan.

Membangun Pondasi
Selesai kontrak Istrinya pulang kemudian uang hasil bekerja di Arab Saudi selama 2 tahun ditambah uang Sukarmin dari hasil bekerja sebagai sopir diputuskan untuk membuat pondasi rumah, dan ternyata uang tersebut hanya cukup sebatas pondasi saja. Setelah 2 bulan dirumah istrinya memutuskan untuk kembali ke Arab Saudi walau anak-anaknya belum habis rasa rindunya.

Tahun 1993 Katmini kembali berada di Riyad namun saat itu memperoleh majikan yang cukup sabar, dan lagi ia sudah cukup menguasai bahasa dan adat orang Arab sehingga tidak banyak mengalami kendala. Semua pekerjaan yang menjadi bebannya bisa diselesaikan dengan baik. Pada majikan kedua ini istrinya menyelesaikan kontraknya selama 3 tahun tanpa hambatan yang berarti. Selesai kontraknya ia kembali ke Indonesia.

Dari hasil kontrak keduanya Sukarmin berhasil menyelesaikan rumah yang di idam-idamkan. ’’Ketika istri selesai kontrak kedua kalinya baru rumah ini bisa saya selesaikan dan sedikit membeli beberapa perabotan,’’ tuturnya.

Semangat Sukarmin untuk mengumpulkan real ternyata tidak pernah pudar setelah istrinya pulang kini dirinya yang memutuskan untuk gantian berangkat ke Arab saudi. Berbekal pengalaman yang dimiliki sebagai sopir dirinya melamar untuk menjadi sopir di Arab Saudi dengan modal tekad ternyata ia mendapatkan majikan juga.

Tahun 1997 ia mendapatkan giliran untuk pemberangkatan namun mengalami penundaan sampai lima kali jadi lima kali bolak-balik dari penampungan ke bandara. ’’Nasib apa yang akan menimpa saya baru mau berangkat saja sudah mengalami hal seperti ini,’’ tuturnya mengenang masa lalunya.

Baru pada pemberangkatan kelima Sukarmin jadi terbang. Satu satunya senjata yang selalu dibawa dan tidak lepas dari tangannya adalah buku panduan berbahasa Arab, padahal ia belum menguasai bahasa tersebut.

Toyib
Setibanya di bandara ia langsung dibawa ke kantor agensinya namun sampai 4 hari ia belum juga dijemput oleh calon majikannya. Ia hampir putus asa. Tetapi ada salah seorang sopir [TKI] di agensi tersebut yang berasal dari Madiun yang sudi menolong mempertemukan dengan calon majikan dengan cara tiap hari dibawa ke bandara ABHA.

’’Untungnya ada Khusnul TKI dari Madiun yang setiap hari menjemput saya dari agensi untuk ’dipamerkan’ di bandara supaya bisa di temukan oleh calon majikan,’’ tuturnya.

Pada hari ke 4 Sukarmin bisa bertemu dengan calon majikannya. Selama ikut majikan tugas utamanya adalah mengemudikan kendaraan antar-jemput dari bandara ke pemukiman penduduk. Pada saat bulan-bulan pertama kendala yang dialami Sukarmin adalah faktor bahasa. Sering kali dia menggunakan bahasa Tarzan dan satu lagi kata- kata Toyib [iya Yuan] menjadi andalan utama.

Dengan ’’Toyib’’ ternyata menurut Sukarmin membawa berkah juga, sering dimarahi majikan karena tidak mengerti maksudnya ia jawab dengan, ’’Toyib,’’ kena tegur polisi karena melanggar aturan lalulintas pun ia jawab dengan: ’’Toyib,’’ hingga majikan dan polisipun heran dibuatnya.

’’Toyib itu membawa berkah bagi saya. Yang penting Toyib! Apa saja yang dikatakan majikan bahkan siapa saja karena saya tidak mengerti maksudnya langsung saja saya jawab, ’’Toyib!’’ tutur Sukarmin sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Setelah setahun bekerja kebetulan majikannya saat itu membutuhkan pembantu wanita untuk urusan rumah tangga. Sukarmin memberanikan diri memohon supaya istrinya saja untuk menjadi pembantu rumah tangganya, dan majikannya ternyata menyetujuinya. Jadilah Sukarmin menjemput istrinya untuk bekerja di rumah majikannya.

Setelah Sukarmin bersama Istrinya berkumpul jadi satu majikan ternyata menjadikan dirinya lebih tenang dalam bekerja. Namun ternyata pekerjaan istrinya cukup berat bahkan boleh dikata sangat berat, karena anggota keluarga majikannya yang berjumlah 15 orang itu hampir semua urusan mulai cuci pakaian maupun urusan makanan hanya istrinya sendiri yang harus menyelesaikan.

Maka, satu tahun lewat mereka memutuskan untuk pulang ke tanah air. [PUR]

Jumat, 25 September 2009

Mantan Buruh Migran Tulus Subagyo: Kini Dosen, Petani, dan Pengusaha Sukses

Rumahnya di salah satu kawasan elite di Kota Malang, tepatnya di Perum Graha Dewata Blok FF1 No. 1 Joyo Agung. Penmpilan lelaki mungil ini tampak bersahaja. Padahal, sebenarnya ia sebegitu hebatnya!

Dengan ramah Tulus Subagyo menerima Peduli di rumahnya setelah janjian. Ia tinggal di rumah itu bersama sang istri, dr. Ira Setya Waty Subagyo, dan kedua anaknya. Selain sebagai hunian, rumah itu sekaligus dijadikan tempat praktik istrinya sebagai dokter umum dan bisnis wartel.

Tak lama Peduli berada di rumah cantik tersebut. Sebab, bersama Tulus Subagyo, Peduli segera meluncur ke kebun seluas 400 m2. Kebun itu penuh dengan tanaman buah naga. Di kebun ini, Peduli berbincang panjang dengan mantan TKI Jepang ini. ’’Saya jadi TKI di Jepan selama 3 tahun, dari tahun 2000 sampai tahun 2003,’’ ungkap Tulus.

Lebih lanjut dia menuturkan bahwa ia berangkat ke Jepang beberapa saat setelah tamat dari pendidikannya di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Ia tamat dari ITN tahun 1998. Saat itu ia masih tinggal bersama orangtuanya di Probolinggo. Ia baru pindah dan menetap di Kota Malang sejak 2003, sepulang dari Jepang.

’’Di Jepang saya bekerja di sebuah perusahaan plastik yang memroduksi berbagai komponen elektronika,’’ ujar pria kelahiran Probolinggo, 29 November 1973 ini.

Investasi
Kerja di Jepang, kata Tulus, sangat enak. Hampir tanpa kendala dirinya selama kerja di negeri sakura tersebut. Gajinya juga besar. ’’Tahun pertama saja, gajinya di sana kalau dirupiahkan hampir Rp 10 juta per bulan. Itu di luar lembur lho. Tahun kedua, ketiga, dan seterusnya, gaji lebih besar lagi dan jatah lembur juga lebih banyak,’’ ungkapnya.

Hasil kerja di Jepang selama 3 tahun itu, sebagian besar diinvestasikan di pertanian, perikanan, dan usaha wartel. Di pertanian, Tulus membudidayakan buah naga super red sejak 2003. Di perikanan, ia beternak lobster.

Namun, tidak seperti budidaya buah naga dan usaha wartel, ternak lobster tidak dilakukan di Kota Malang, tetapi di Probolinggo, di rumah orangtuanya. ’’Saudara saya yang merawat lobster saya di Probolinggo,’’ katanya. Hasil dari lobster itu, kata Tulus, juga bagus. Setidaknya, dirinya bisa memperoleh pemasukan dari lobster Rp 3 - 4 juta/bulan.

Menikah
Ditanya kenapa cepat-cepat pulang kalau kerja di Jepang penghasilannya sangat besar, Tulus Subagyo menjawab sambil tertawa, ’’Lha, saya kan mesti menikah.’’ Benar, setahun setelah kembali ke Indonesia, tepatnya tahun 2004, Tulus menikah dengan gadis idamannya, Ira Setya Waty, yang kini telah memberinya dua orang anak.

Tulus mengisahkan, ia bertemu Ira ketika dirinya masih kerja di Jepang. Ketika itu ia cuti kerja di tahun ke-2 dan pulang ke Indonesia. Suatu saat, ia main ke tempat salah seorang temannya di Surabaya dan oleh temannya, ia dikenalkan dengan Ira yang waktu itu masih menjadi mahasiswi kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Dua tahun pacaran, Tulus langsung melamar Ira dan akhirnya menikah tahun 2004.

Tak berhenti sampai di situ kisah sukses Tulus Subagyo. Sebab, selain jadi pengusaha, sejak tahun 2004 pula, dirinya dipercaya menjadi dosen di Universitas Yudarta, Singosari, Malang. Di sana ia memberikan mata kuliah teknik mesin sesuai dengan bidang keahliannya. Dan untuk menunjang kualitas akademiknya, Tulus pun kini tengah menempuh program magister (S2) teknik mesin di Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang. Wah, wah, wah! [KUS]

Minggu, 20 September 2009

Solikin: Belum Berpikir Buka Bisnis Sendiri

Terutama yang berekonomi lemah, apalagi jobless, pergi ke luar negeri jadi TKI sering jadi jawaban jitu. Begitu pula bagi Solikin (31), buruh tani asal perbatasan Lampung Tengah dan Lampung Utara. Penghasilannya di kampong sangat mepet untuk hidup dengan istrinya, Widiyati (28). Maka, pergilah ia ke Malaysia.

Hasilnya? Rumah permanen telah ia dirikan, lebih layak huni dibandingkan rumah masa kecilnya yang cuma berdinding geribig. Kebutuhan lain pun terpenuhi.

Minggu (29/10), warga Desa Gunungbatin, Kecamatan Terusan Unyai, Kabupaten Lampung Tengah, itu berkisah panjang kepada Peduli. Bapak satu anak yang kini sudah TK itu, menemui Peduli didampingi orangtuanya, Maryono dan Klumpuk. Solikin jadi TKI di Mayalsia selama 2 tahun, pulang tahun 2001. ’’Jadi, sudah 5 tahun yang lalu,’’ ungkap lelaki sederhana ini.

Kesulitan ekonomi jadi alasan utama Solikin jadi TKI. Solikin mengaku dirinya berasal dari keluarga pas-pasan. Orangtuanya seorang buruh tani. Sudah begitu, saudaranya banyak pula. Solikin anak bungsu dari 6 bersaudara.

Setelah dewasa, Solikin buruh tani seperti bapaknya. Namun, itu dirasakannya semakin tak dapat diandalkan, terlebih setelah tanggungjawab dan kebutuhan hidup semakin keras mendesak sejak ia menikahi Widiyati tahun 1998. Tambah pusing lagi kala istrinya hamil. Solikin yang berijazah SLTA itu mau kerja lain, tapi tak tahu kerja apa.

Diusir Malaysia
Saat demikian, sama sekali tak terpikir oleh Solikin untuk jadi TKI. Wawasan itu baru terbuka setelah seorang temannya mengajak ke Malaysia. Sang teman disuruh ke Malaysia oleh istrinya yang berada di negeri jiran itu sebagai TKW.

Tanpa berpikir panjang, Solikin setuju. Akhirnya, berangkat berdua ke Dumai, Riau, kemudian menyeberang ke Malaysia lewat jalur laut, dengan surat dari istri sang teman sebagai panduan.

Diarahkan dalam surat, kalau mau kerja di Malaysia, suruh masuk sebagai pelancong, sampai ke Malaysia terus mengurus visa dan cari kerja, dan setelah dapat pekerjaan, balik ke Indonesia untuk mengurus secara resmi, lalu kembali lagi ke Malaysia. ’’Tapi kami baru mau masuk, sudah nggak boleh oleh imigrasi Malaysia,’’ kata Solikin.

Ia dan temannya tak boleh masuk karena dalam surat jalan hanya diterangkan, berangkat ke Malaysia untuk kunjungan keluarga, bukan untuk kerja. ’’Dan ndilalah, istri Singgih (kawan Solikin itu—red.) terlambat menjemput. Istri Singgih baru datang setelah paspor kami dicap pulang. Pulanglah kami,’’ ujar Solikin tertawa mengenang kejadian itu.

Namun, tiga bulan kemudian ia kembali ke Malaysia setelah dokumen lengkap dan di sana ia bekerja di sebuah pabrik baja di Kawasan Malaka, dengan pendapatan bulat 40-50 ringgit/hari atau 1200-1500/bulan.

Giliran Istri ke Malaysia
Ketika ditanya tentang bisnis, Solikin mengaku tak terpikir untuk bisnis. Hal itu karena dirinya bingung mau usaha apa. Karena itu, setelah kembali ke Indonesia, ia justru melamar kerja ke PT Humas Jaya dan masih memendam keinginan untuk kembali ke Malaysia.

Namun, keinginan kembali jadi TKI dipendam karena ia akhirnya dapat kerja di PT Humas Jaya hingga sekarang. Itu perusahaan pengalengan nenas untuk diekspor ke luar negeri. Malah, kemudian giliran istrinya yang berangkat ke Malaysia. ’’Istri saya sudah 1 tahun ini kerja di Malaysia. Dia berangkat habis lebaran tahun 2005 lalu,’’ ungkap Solikin.

Bagaimana dengan sang anak? Untuk mengurus anaknya, Solikin menggaji seorang pekerja rumahtangga. Sementara itu, hubungan dengan sang istri dibangun lewat telepon dan surat. “Tapi yang paling sering, ya lewat telepon, karena ini hampir setiap saat,’’ ujarnya. [WIS/8-1]

Jumat, 18 September 2009

Titik Winarti: Pidato di Markas PBB-nya jadi Promosi

Sebelumnya, siapa pernah menyangka perempuan berhati mulia ini bisa melenggang ke Kantor Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat? Apalagi, hanya bermodalkan kemuliaan hati!

Kemuliaan hati. Itulah tampaknya yang layak dinobatkan sebagai kata kunci dalam kisah sukses ini. Sebab, jika modal uang, ya usaha mana yang tidak perlu modal uang? Banyak pula pengusaha kreatif, tetapi tidak menarik perhatian PBB. Kemuliaan hati. Nah itulah yang kemudian diramu dengan krativitas, ketekunan, dan kemauan keras oleh Titik Winarti, yang membuat ia sukses dalam bisnis, tetapi juga mendapatkan kebanggaan lebih karena diperhatikan organisasi dunia sekaliber PBB.

Kalau menilik modal awalnya, ya, biasa-biasa saja. Lha wong jumlahnya pun hanya Rp 500 ribu. Titik Winarti menekuni usaha kerajinan tangan (handicraft).

Momentum Lebaran
Waktu itu tahun 1995. Tiba-tiba saja Titik menyadari bahwa setiap menjelang hari raya Idul Fitri ia selalu tidak puas melihat suasana rumahnya yang tampak biasa-biasa saja. Dia ingin tampil beda. Ia ingin mengisi rumahnya, termasuk ruang tamunya, dengan barang-barang kerajinan yang menarik yang dibuatnya sendiri!

Akhirnya, para tamu yang datang berlebaran ke rumahnya pun memuji-muji karyanya. Buntutnya, mereka memesan produk yang sama. Padahal saat itu Titik masih dalam taraf belajar.

Dua tahun kemudian (1997), pesanan mulai ramai. Titik pun mulai berpikir bagaimana mengembangkan usahanya. ’’Saya melihat peluang ini bagus sekali. Sejak itu saya membuka usaha Tiara Handicraft di Jalan Sidosermo Indah Surabaya,’’ jelasnya.

Berpidato di Markas PBB
Karena yakin usahanya akan berkembang dengan baik Tititk pun meminta kepada suaminya untuk keluar dari pekerjaannya dan bersama dirinya menekuni usaha ini, sekaligus merekrut karyawan lebih banyak.

’’Awalnya cuma dua, sekarang saya sudah punya 40 karyawan. Mereka ini rata saya ambil dari Panti Bina Daksa yang menaungi anak-anak cacat serta Panti Bina Remaja yang rata-rata dari anak-anak putus sekolah,’’ tambahnya.

Berhasil mengembangkan usaha kerajinan di Surabaya. Ia pun mendapatkan kredit dari sebuah koperasi di daerahnya. Ia tak menyangka, koperasi tersebut mengikutkan namanya di ajang Microcredit Award 2005. Titik kemudian berhasil meraih gelar Microcredit Award 2005 itu, menyisihkan ratusan pengusaha nasional lainnya. Bukan itu saja. Usaha kecilnya ini mendapatkan perhatian dari PBB, hingga ia diundang untuk berpidato di Markas PBB, New York, AS.

Dampaknya luar biasa. Banyak orang yang lebih mengenal usahanya, sehingga pidato di forum PBB itu jadi promosi bagi pengembangan usahanya. Yang menarik, produk cinderamatanya dibikin para tunadaksa dan anak-anak putus sekolah. Ini dilakukannya setelah lima tahun menggeluti usahanya tersebut. Ia tergerak merekrut mereka setelah melihat keadaan di sekitar lingkungannya yang cukup memmrihatinkan.

Meski dirasakan berat pada awalnya, dengan sedikit perhatian, ternyata mereka mampu berkarya dan punya keinginan besar untuk berkembang. ’’Kita akan menemukan potensi yang istimewa pada diri mereka, yakni daya konsentrasi yang tinggi,’’ ujar Titik, memuji para pekerjanya tersebut.

Telaten dan Peduli
Namun demikian, Titik berusaha agar para calon pembeli tidak melihat, siapa pembuat produknya tersebut. Berdasarkan pengalamannya, banyak orang membeli produknya berdasarkan rasa belas kasihan. Tapi kini berbalik. Peningkatan kualitas produknya, mampu merambah pasar internasional. "Kini mereka melihat produknya dulu, baru tahu siapa pembuatnya," ujarnya.

Perempuan kelahiran Surabaya, 11 Maret 1970 ini merupakan perempuan Indonesia pertama yang meraih penghargaan ’’The Global Microintrepreneur Award,’’ saat pencanangan International Year Of Microcredit 2005 dari PBB.

Telaten dan peduli sekitar, itulah tips yang diberikan Titik pada para UKM lain yang ingin sukses. Ia melihat, sebenarnya potensi lingkungan sekitar bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha. Titik tak sekadar omong kosong. Ia telah membuktikannya sendiri. Meskipun 80 persen pegawainya cacat, Titik tak pernah sepi order. Selain menerima pesanan lokal, produk Titik juga merambah Jepang, Australia, Eropa, hingga Amerika. [KD]


Jenis usaha: Handicraft
Modal awal: Rp 500 ribu
Omzet per bulan: Rp 20-50 juta
Tips sukses: Telaten dan peduli lingkungan sekitar

Dr Nalini Muhdi Agung SpKJ [2]

Curi Waktu untuk Membaca

Aktivitas Nalini yang semakin sibuk dua terakhir membuat ibu 2 orang putri ini tak dapat lagi menyalurkan hobinya berkaraoke. ’’Dengan kondisi seperti ini sudah nggak sempat karaoke sejak 2 tahun lalu. Kangen sih sebenarnya, tapi bagaimana lagi?’’ aku Nalini.

Semakin banyaknya pasien yang ditanganinya membuat Nalini harus melakukan visite (kunjungan) ke RSU Dr Soetomo untuk memantau perkembangan pasiennya setiap hari. Sore harinya ia membuka praktik di kawasan Sutorejo Prima Utara Surabaya hingga malam hari.

’’Untuk menghabiskan waktu bersama keluarga saja saya harus mengajak putri dan suami saya visit ke rumah sakit dulu baru kemudian makan di luar,’’ lanjut istri Dr Agung Hadyono SpOG ini.

Satu hal yang tak bisa ditinggalkan Nalini adalah hobinya membaca buku. Setiap hari psikiater yang masih terlihat cantik di usianya yang ke-47 ini di dalam tasnya selalu ada buku. ’’Saya selalu mencuri waktu untuk membaca. Biarpun hanya 1 menit harus disempatkan. Biasanya sambil menunggu saya gunakan untuk membaca,’’ ujar Nalini.

Buku yang pernah dibacanya mulai buku karya Umar Kayam, Ahmad Tohari, Seno Gumira Aji Dharma, pengarang budaya Italia, Yunani, Afrika hingga pemikir Islam tentang masalah perempuan dari Mesir dan Maroko seperti Ali Afgar dan Laila Ahmad telah dibacanya tuntas. Namun, karena kesibukannya rata-rata Nalini baru bisa menyelesaikan satu judul buku sekitar sepekan.

’’Saya tertarik untuk mempelajari perempuan bukan dari segi mental saja, tapi juga dari segi lain seperti sosial, budaya, prilaku dan sebagainya.’’[NUY HARBIS]

Nama : Dr Nalini Muhdi Agung SpKJ
TTL : Kudus, 8 Mei 1959
Jabatan : Koordinator Pusat Krisis Terpadu Korban Kekerasan pada Perempuan dan Anak RSU Dr Soetomo Surabaya.
Pendidikan : - FK Undip, Semarang
- Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unair, Surabaya
- Trainee di St. Vincents Hospital Melbourne University.
Suami : Dr Agung Hadyono SpOG
Anak : 1. Damba Bestari (18)
2. Daya Banyu Bening (13)
Hobi : Musik (fussion jazz), menulis, membaca buku, traveling.

Dr Nalini Muhdi Agung SpKJ [1]

Jangan Katakan, ’’Sabarlah, Itu kan Suamimu’’

Laki-laki yang melewati masa kecilnya di lingkungan (keluarga) yang kurang baik akan tumbuh menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dan, 1 di antara 3 perempuan yang telah menikah pernah mengalami KDRT itu. Duh! Jangan biarkan orang yang paling kaucintai justru menyakitimu!

Tak seorang pun berhak melakukan kekerasan pada orang lain. Itu adalah hak hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan. Sayangnya, belakangan, jumlah korban KDRT terus meningkat. Setidaknya, 1 dari 3 perempuan yang telah menikah pernah mengalami domestic violence (KDRT). Inilah yang diungkap Dr Nalini Muhdi Agung SpKJ, Koordinator Pusat Krisis Terpadu Korban Kekerasan pada Perempuan dan Anak RSU Dr Soetomo Surabaya.

Tentu, data ini mencengangkan. Padahal, masih banyak korban yang tidak berani melapor. Menurut Nalini, kalangan yang paling banyak tidak melaporkan tindak KDRT berasal dari perempuan dengan tingkat sosial menengah ke atas.
’’Ini disebabkan kalangan mereka merasa ada stigma bahwa melaporkan itu aib. Jadi, oleh budaya mereka dikonstruksikan untuk menjaga nama keluarga. Padahal, sebenarnya mereka menderita. Ini yang sangat disayangkan,’’ ungkap Nalini saat ditemui di kantornya.

Jenis
Ada empat jenis KDRT yang biasa terjadi. Yaitu, physical abused, verbal emotional abused, sexual abused dan financial abused. Namun, jumlah korban verbal emotional abused adalah yang paling banyak terjadi daripada korban physical abused. Bentuknya seperti ditelantarkan, dimaki-maki, direndahkan, dilecehkan atau diremehkan.

’’Nah, yang melapor kebanyakan adalah yang mendapat perlakuan physical abused yang sudah keterlaluan seperti terjadi perlukaan yang tidak tertahankan baik luka tumpul maupun luka tajam. Sedangkan kalau hanya ditampar biasa banyak yang tidak melapor,’’ sambungnya.

Hal ini pula yang membuat Siti Nur Jazilah alias Lisa (22), pasien face off RSU Dr Soetomo yang mengalami kerusakan wajah akibat disiram air keras tak berani melaporkan tindakan suaminya, Mulyono (41). Akibatnya, korban KDRT yang ditangani Nalini ini harus menderita lahir dan batin selama lebih dari tiga tahun. Tetapi, ternyata ada yang lebih parah daripada Lisa.

’’Saya pernah menangani korban KDRT yang mengalami gabungan antara keempat jenis kekerasan itu. Selain mengalami physical abused dan verbal emotional abused, juga terjadi sexual abused dan financial abused. Sayangnya, korban seringkali menghilang dari peredaran, kemudian tiba-tiba muncul dengan kondisi yang sudah parah,’’ lanjut Nalini.

Penyebab
KDRT terjadi, terutama akibat kondisi latar belakang budaya patriarkis (yang cenderungmengunggulkan laki-laki) yang membedakan antara tugas perempuan dengan laki-laki. Pemisahan yang ketat antara tugas perempuan dengan laki-laki inilah pemicu terbentuknya pelaku dan korban. ’’Persepsi bahwa laki-laki itu harus agresif, sedangkan perempuan tidak boleh juga bisa menjadi penyebab. Persepsi tradisional yang terkadang dilegitimasi dengan justifikasi agama seperti inilah yang harus dihilangkan,’’ sahut psikiater yang masih nampak cantik diusianya yang ke-47 ini.

Penyebab lainnya, menurut Nalini adalah pengalaman buruk pelaku di masa kecil. Entah itu menjadi korban child abused atau hanya menjadi saksi dari orang tuanya atau tetangganya yang di-abused oleh pasangannya. Korban child abused ini cenderung akan mengalami suatu proses internalisasi dan proses identifikasi yang di masa dewasanya kelak jika dia menikah atau memiliki pasangan dan mempunyai anak, akan melakukan hal yang sama.

’’Jadi, mereka cenderung mencontoh dan bukan merupakan balas dendam karena itu termasuk sesuatu yang unconfused (tidak disadari),’’ terang Nalini.

Hal ini merupakan pengaruh dari persepsi dalam memori pelaku atau calon pelaku yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan penuh kekerasan. ’’Sehingga, orang yang mengalami hal itu di masa kecilnya cenderung memiliki dorongan puluhan kali untuk melakukan hal yang sama kepada pasangannya dibanding orang yang tidak pernah mengalami pengalaman serupa,’’ tegas ibu dua orang putri ini.

Selain dua penyebab utama itu, adanya gangguan kejiwaan seperti gangguan jiwa berat (psikotik) dan gangguan kepribadian (personality disorder) pada pelaku juga menjadi penyebab terjadinya KDRT.

Dampak
Korban KDRT akan mengalami gangguan-gangguan psikiatrik, seperti: depresi, kecemasan, panik, isolasi diri, gangguan stres pascatrauma atau gangguan seksual di kemudian hari. Entah itu menjadi seduktif (menggoda) atau justru punya persepsi negatif tentang seks. Sehingga korban mengalami gangguan fungsi seks di kemudian hari itu.

’’Gangguan pada pasangan (personal relationships) seperti ini banyak dialami oleh korban yang membuat dia tidak bisa menikmati seks atau sulit membedakan antara seks dengan cinta. Ini biasa ditemui pada korban yang mengalami trauma seksual baik karena incest (perkawinan sedarah) atau perkosaan,’’ papar Nalini.

Gangguan kepribadian di kemudian hari juga merupakan damapak terbanyak yang dialami korban. Seperti, anti sosial (orang yang sering menyalahi norma-norma yang biasanya akan menimbulkan masalah di masyarakat), histrionic (histeric) atau border line personality. ’’Ada juga yang berdampak pada gangguan jiwa berat (psikotik) tapi jumlahnya tidak sebanyak korban yang mengalami gangguan kepribadian.’’

Tindakan
Pertama, korban harus memahami bahwa tidak ada seorang pun yang berhak untuk melakukan kekerasan terhadap dirinya, apa pun kesalahan yang dilakukan. Termasuk kekerasan orangtua pada anak, atau majikan terhadap pegawainya. ’’Sering korban merasa bahwa kekerasan itu terjadi karena kesalahan dia. Persepsi ini yang harus dihilangkan,’’ tukas Nalini.

Kedua, korban harus tahu bahwa ada orang dan badan-badan yang bisa dia mintai pertolongan. Dukungan dari keluarga, teman dekat atau lainnya itu saat korban mendapat kesulitan merupakan hal terpenting. ’’Kita harus meyakinkan mereka bahwa kalau dia membutuhkan pertolongan, ada saya yang sewaktu-waktu bisa kamu hubungi. Dan bukan malah mengatakan sabar saja, sudahlah, itu juga kan suamimu. Tapi tahu-tahu sudah luka berat atau mati,’’ imbuh wanita asal Kudus ini.

Menurut Nalini, menyurahkan uneg-unegnya kepada orang lain merupakan 50 persen dari terapi yang diberikannya, terutama bagi korban verbal emotional abused. ’’Support inilah yang paling dia butuhkan. Karena sering korban merasa hopeless dan helpless, sehingga merasa tidak berdaya atau bahkan ada yang kemudian bunuh diri.’’

Ketiga, harus mengetahui dan mengantisipasi adanya tanda-tanda saat pelaku akan melakukan kekerasan. Misal, mukanya merah atau menegang, kemudian suaranya meninggi. Dengan antisipasi ini diharapkan agar korban tidak mendapatkan cidera, kecelakaan atau hal-hal membahayakan lainnya. Antisipasi ini berupa pemahaman dan informasi kepada korban tentang adanya siklus pelaku.

Siklus Pelaku
Tidak selamanya pelaku selalu berbuat kekerasan atau jahat. Ada kalanya pelaku itu terlihat sangat mencintai istri dan anak-anaknya, baik, menyesal dan meminta maaf. Siklus pelaku inilah yang jarang diketahui oleh korban.

Ada empat fase yang dimiliki pelaku. Yaitu, tension built up yang ditandai dengan adanya suatu ketegangan yang meningkat pada pelaku, explosion (melakukan kekerasan/meledak), regret (menyesal, meminta maaf, menangis, mohon-mohon ampun) kemudian romance (kelihatan manis, tampak mencintai dan tidak mau ditinggalkan).

Dan, fase ini akan terus berputar seperti musim.
’’Untuk itu, korban harus mengenali tanda-tanda kapan ada tension built up yang nantinya akan berlanjut kepada explosion atau ledakan amarah yang akhirnya membahayakan dia, baik secara psikis maupun secara fisik. Anak-anak juga akan hidup dalam ketegangan dan kecemasan meski tidak diekspresikan oleh si anak.’’

Penyegahan
Cara penyegahan yang optimal adalah membuat perempuan itu mandiri secara financial, sosial, dan emosional. ’’Karena seringkali korban merasa tidak berdaya.

Ketika ditanya kalau kamu salah apakah suamimu boleh memukul, mereka banyak mengatatakan boleh. Tapi ketika pertanyaan itu dibalik, kalau laki-laki yang salah boleh nggak di pukul? Mereka bilang tidak boleh. Dan, saat ditanya kenapa kamu lapor? Si korban menjawab karena sudah di atas ambang toleransinya. Persepsi korban maupun pelaku yang dilatarbelakangi budaya patriarkis inilah yang harus diubah. Sejak awal harus ditanamkan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh menyakiti mereka,’’ jelasnya.

Khusus bagi mereka yang telah mengalaminya, dibutuhkan communication skill (kemampuan berkomunikasi dengan baik) yang harus diekspresikan dengan baik pula bagi pelaku dan korban. Keduanya sebaiknya mendapatkan pelatihan-pelatihan dan psikoterapi untuk menghindari terjadinya KDRT.[NUY HARBIS]

Kamis, 17 September 2009

Pengin Belajar Memasak ke Swiss

Sigit Afiyanto setelah Jadi Koki di 3 Negara

’’Saya masih memendam keinginan untuk pergi ke Swiss, belajar jadi koki di sana. Kalo ada chanel ke sana, saya pasti berangkat.’’


Itulah yang dikatakan oleh Sigit Afiyanto, dalam bincang-bincangnya dengan Peduli di tempat kerjanya sekarang yaitu di Garden Cafe, Rumah Sakit Yasmin, Banyuwangi, Jatim.

Pria kelahiran 21 April 1983 asal Lumajang dan masih lajang ini adalah mantan TKI Singapura (akhir 2004), Thailand (pertengahan 2005) dan Malaysia (akhir 2005). Dia bekerja sebagai jurumasak alias koki. Bukan sembarang koki loh, sebab pangkatnya sudah chief alias kepala, kepala koki.

Pada mulanya ia bekerja ke luar negeri melalui PJTKI yang mencari koki melalui sekolahnya di SMK jurusan Tataboga. Ketika sudah di luar negri ia juga tidak langsung jadi koki. Selama sekitar dua bulan ia harus bekerja sebagai tukang cuci piring dan tukang buang sampah, di restoran Singapura. Setelah memasuki bulan ketiga baru mendapat kesempatan mengikuti tes untuk memasak masakan Indonesia. Ini yang kemudian mengantarkannya menjadi koki. Tetapi, karena di restoran tersebut dia bekerja selama 12 jam sehari tanpa istirahat dan hanya dapat libur sebulan sekali, Sigit lalu memutuskan pulang ke Indonesia.

Tak berapa lama kemudian dia berangkat ke luar negeri lagi. Kali ini ke Thailand dan langsung jadi koki. Setelah bekerja selama 3 bulan, dia memutuskan untuk pulang dan berangkat lagi ke restoran di Malaysia, Kuala Lumpur. Juga selama 3 bulan. Kemudian bekerja di hotel Sahid Surabaya selama 3 bulan. Lalu di hotel Melati Surabaya selama 2 tahun dan di Catering Ratna Boga Surabaya selama 6 bulan. Dia di sana bertanggung jawab dari servis, koki, hingga belanja.

’’Di Luar negeri kok kamu suka dengan "tiga bulan " sih?’’

’’Saya bekerja di sana untuk belajar, setelah saya mendapatkan apa yang saya cari, saya pulang.’’ katanya.

Sigit Afiyanto bekerja sebagai tulang punggung keluarganya. Dia mempunyai adik yang tinggal bersama ayah dan ibunya di Lumajang. Sigit sejak kecil sangat rajin membantu ibunya berjualan kue, sementara ayahnya sebagai satpam sampai sekarang.

’’Dulu saya sekeluarga serba kekurangan, pernah saya disuruh ibu menggadaikan sebuah radio butut ketika saya masih kecil,’’ ujarnya mengenang masa-masa sulit.

Sigit baru 2 minggu bergabung di Garden Cafe melalui kenalannya yang seorang konsultan di tempat dia bekerja di Surabaya dulu. Dia merasa senang bekerja di sana dan mudah sekali beradaptasi. Sehingga baru 2 minggu bekerja dia sudah kenal banyak orang, dari atasan sampai tukang parkir.

Oh, ya, Sigit mengaku punya banyak kenalan TKI di Hong Kong. Di antaranya, yang disebut Sigit, aktivis Eny Yuniar.

’’Apa rencana atau keinginan Anda?’’

’’Saya ingin menjadi bisnis owner di bidang restoran. Saya suka sekali membaca buku-buku bisnis,’’ jawabnya. [EKI]

Yuni Margaretha, Perajin Embroidery

Jualan, Buka Kursus, dan Jasa Penyucian

Seni embroidery berasal dari Jepang. Seni menghias kain dengan bordir ini kini banyak dipelajari oleh masyarakat Indonesia. Siapa sangka, bagi yang mau mengembangkannya bisa mendatangkan keuntungan yang menggiurkan seperti yang ditekuni Yuni Margaretha.


Perempuan yang pernah mengenyam pendidikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) mengaku awal mula mengenal embroidery di bangku SMK.

’’Saya belajar embroidery saat kelas 2 SMK. Saya tertarik dengan hasil yang didapat dengan kreasi embroidery,’’ ungkap perempuan berumur 30 tahun asal Surabaya ini.

Lulus SMK, sambil melanjutkan kuliah iseng-iseng Yuni membuat aneka kreasi embroidery mulai dari gorden, kain sketsel, taplak meja, bad cover, tudung saji, hiasan dinding, tas, tutup air gallon, tempat tissue dan masih banyak lagi.

Tak disangka kreasi Yuni ini mendapat sambutan yang cukup baik dari teman-teman dan tetangga sekitar sehingga ia banjir pesanan.

Pada 2001, bermodalkan Rp 15 juta pinjaman orangtua Yuni membuat galeri embroidery yang diberinya nama Margriet Embroidery Home yang bertempat di Jl. Penataran Surabaya.

Disini disediakan berbagai ragam kebutuhan interior, mulai dari interior ruang tamu, interior ruang makan dan interior kamar tidur pengantin. Warna khas etnik, putih, putih tulang dan krem, kain katun tenun ini terlihat elegan, ditambah dengan bordiran yang sangat halus.

Harga yang dipatok Yuni memang terbilang sedikit mahal. Untuk taplak meja tamu misalnya, ia mematok harga antara 35-50 ribu tergantung kesulitan bordir.

’’Memang, untuk sebagian orang yang tidak mengerti arti keindahan, harga yang kami patok dianggap terlalu mahal. Namun itu tidak sebanding dengan kerumitan embroidery yang dikerjakan dan bahan-bahan yang harus diimpor,’’ ujar Yuni.

Ciri Khas

Karena harganya terbilang mahal, maka kebanyakan yang menjadi pelanggan tetap adalah orang-orang menengah atas dan ekspatriat khususnya dari Jepang. Mereka sangat menyukai koleksi bordir kain katun tenun yang ada di galeri ini.

’’Ciri khas bordir disini adalah motif bunganya. Bagi warga Jepang, memajang koleksi embroidery seakan mengingatkan mereka seperti berada di kampung halaman,’’ lanjut Yuni sambil menunjukkan beberapa motif bunga yang ada. Ada bunga Tulip, bunga Mawar, bunga Anggrek dan bunga Vitas.

Selain kehalusan bordirannya, yang menjadi daya tarik gallery ini lagi adalah konsumen bisa memesan motif yang dikehendakinya. Sehingga bagi mereka yang ingin berkreasi sendiri, bisa menggambar motif bordir sesuai dengan keinginan mereka dan selanjutnya dikerjakan oleh pekerja gallery ini.

Buka Kurusus

Yuni juga membuka kursus bagi mereka yang ingin belajar seni embroidery. Hingga kini Yuni telah mengajarkan seni embroidery pada 50 muridnya. ’’Sebenarnya untuk kursus hanya bisnis iseng saja. Biasanya saya melayani grup minimal 5 orang,’’ terangnya.

Biaya kursus sendiri Rp 500 ribu, sudah termasuk bahan kursus dan buku-buku panduan.

Selain membuat embroidery dengan dasar kain, Yuni mulai mengembangkan embroidery pada kain tenun, kain katun Paris, dan kain karung.

Lucunya, Yuni juga menyediakan jasa penyucian embroidery karena perawatan dan pembersihannya memang harus ekstrahati-hati agar bordirnya tak rusak. Ke depan, Yuni juga akan membuka galeri di Bali dan Jakarta. [KD]

Senin, 19 Januari 2009

Wulan Guritno: Buka Salon Pencabut Bulu

Sekian waktu sukses malang-melintang di dunia hiburan, kini ibunda dari Shalom Syach Razadee ini juga mulai tertarik untuk menerjuni dunia bisnis. Dunia bisnis yang diterjuninya pertama kali adalah bisnis masakan Jepang. Bersama artis Krisdayanti dan Ami Gumelar, Wulan mendirikan rumah makan Takigawa. Setidaknya kini sudah ada dua outlet Takigawa Resto yang sudah didirikan oleh perempuan blasteran Jawa–Inggris ini. Satu di Cilandak Town Square lantai 1 dan di Senayan City lantai 5, Jakarta.

Wulan menerangkan bahwa Takigawa Resto ini merupakan perusahaan franchisee. Meski memiliki nama berbau Jepang, sebenarnya Takigawa adalah brand franchise lokal dari PT. Chala Boga Indonesia. Konsep Resto Takigawa sendiri sangat modern dan bernuansa Fusion Cuisine. Menu-menu yang ditawarkan pun tidak sekedar makanan tradisional seperti kamameshi (nasi bakar Jepang), tapi ada juga fusion food seperti takigawa roll, dino lovers, dan hot & sexy. Tidak ketinggalan juga ramen dan kushiyaki (sate khas Jepang) yang tersedia dalam berbagai jenis.

Tampaknya bisnis franchise resto Jepang semakin mantap saja dijalankan Wulan. Pasalnya resto Jepang saat ini begitu digemari masyarakat Indonesia meskipun restoran serupa jumlahnya kian banyak saja di Jakarta ini. Ditanya alasanya mengapa tertarik menerjuni bisnis ini salah satu pemain film Naga Bonar Jadi 2 ini mengungkapkan alasanya secara gambalng.

’’Restoran Jepang itu menurut riset dan analisa kita selama ini, sangat digemari. Terutama di Jakarta. Itu merupakan lifestyle yang sangat dominan sekali,’’ terang Wulan.

Wulan optimis kedua outlet Takigawa yang dijalankan bareng dua rekannya itu akan semakin berkembang lagi. Ini terbukti dari penghargaan yang diterimanya dari manajemen Citos yang memberikan penghargaan pada Resto Takigawanya itu sebagai Best Restaurant Tenant.

Bisnis Salon Waxing

Sukses menjalankan bisnis restoran masakan Jepang membuat pemain pendukung film Gie ini jadi ketagihan berbisnis lagi. Kali ini ia melirik bisnis kecantikan perempuan yang mengkhususkan diri pada waxing alias salon mencabut bulu halus di tubuh. Ditemani empat temannya, yakni Amanda, Janna Soekasah, Adriana Taurisia, dan Hayu Pangastuti, janda satu anak dari Attila Syah ini membuka salon wax pertama yang diberi nama Studio Waxing Poetre, di Jalan Ampera Raya, tepatnya di depan Pengadian Negeri Jakarta Selatan. Saat ditanya mengapa ia tertarik menerjuni dunia bisnis lebih jauh lagi, kekasih Adila Dimitri ini mengungkapkan kalau itu merupakan caranya untuk menyibukkan diri serta memperoleh keuntungan.

’’Saya menabung jika dapat honor. Nah, daripada uangnya habis nggak keliatan bentuknya, mending uangnya diputar lewat bisnis seperti ini,’’ tandasnya.

Ide pendirian dari salon khusus wax ini bermula dari pemikiran ia dan empat temannya untuk mencari bisnis baru khusus perempuan.

’’Kalau salon kan banyak, dan kita pengen yang lebih spesifik dan kepikiran kenapa nggak wax aja kan belum ada, makanya kita ambil bisnis ini,’’ jelasnya.

Wulan berharap salon wax ini berkembang dan bisa membuka cabang-cabang lain di Jakarta atau bahkan di luar Jakarta, mengingat salon wax sangat jarang ditemui di Indonesia, khususnya di Jakarta.

’’Yah, mudah-mudahan sih bisa berkembang. Namun, saya yakin selama perempuan masih ingin tampil cantik, bisnis salon akan terus berkembang,’’ katanya dengan nada optimis.

Berbeda dengan restoran yang membutuhkan perhatian khusus, menurut Wulan bisnis salon waxnya ini tidak terlalu ribet. Malah mulai dekorasi ruangan, tempat, sampai mencari karyawan bisa dikerjakannya sendiri ditemani keempat rekannya itu. [niken dari berbagai sumber]

Senin, 18 Februari 2008

Djayus Pete Alias Mbah Jo: Tak Sekadar Menyiarkan Tayub melalui Radio


Ia bukan seorang dalang wayang kulit, bBukan pula dalang kentrung. Tetapi, malam itu (Sabtu, 25/08/07) ia bisa menahan puluhan orang untuk melekan semalam suntuk mendengarkan cerita-ceritanya.


Sabtu malam itu (25/08/07) bertempat di Hotel Jangleng, Jl Panglima Sudirman, Bojonegoro, Jawa Timur, Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro mengadakan acara mengenang 2 orang sastrawan Jawa, R.P.A. Suryanto Sastroatmaja dan Yes Ismie Suryaatmaja. Sekitar 50 orang, terdiri atas sastrawan, guru dan para pecinta bahasa dan sasta Jawa hadir di acara yang baru berakhir pukul 24.00 itu. Memang cukup gayeng. Bahkan, di balai peristirahatan, seusai acara, sekitar 10-an orang memilih membangun obrolan ngalor-ngidul. Yang jadi bintang dalam acara tidak resmi itu, siapa lagi kalau bukan Djayus Pete, yang di wilayah Bojonegoro, terutama di Kecamatan Purwosari dan sekitarnya lebih dikenal sebagai Mbah Jo.

Ini memang bukan pertama kalinya Djayus Pete (59) jadi bintang di arena percakapan seperti itu. Di Blitar pada acara Temu Sastrawan Jawa Timur (2004) seorang pengarang yang telah menerbitkan puluhan buku sekaliber Suparto Brata pun betah begadang sampai pagi dengan mendengarkan kisah-kisah yang meluncur lancar dari seorang Djayus Pete. Dan dari ’penampilannya’ di Blitar itulah beberapa bulan kemudian Djayus diundang Jawa Pos untuk bercerita. Judul berita/iklan untuk acara itu pun terbilang aneh, ’’Saksikan Djayus Pete akan membacakan beberapa cerpen yang belum pernah ia tulis! Bla… bla…bla…!’’

Djayus Pete yang sehari-harinya bekerja sebagai guru di SDN Purwosari 3 Bojonegoro ini sebenarnya dikenal pula sebagai seorang sastrawan Jawa, yang dengan kumpulan cerpen berbahasa Jawa-nya Kreteg Emas Jurang Gupit mendapatkan Hadiah Rancage 2003. Tetapi, menurut pengakuannya, para tetangganya nyaris tak seorang pun mengenalnya sebagai sastrawan Jawa. ’’Kalau ada yang tahu bahwa saya ini penulis, pengarang, paling-paling ya teman-teman guru dan anak serta istri saya. Orang-orang di sekitar sini ini kan kebanyakan petani, atau pedagang kecil yang tidak membaca majalah berbahasa Jawa,’’ tutur Djayus.

Djayus punya dorongan kuat untuk menyapa mereka, para tetangganya itu, dan kemudian digunakanlah media radio. Itulah yang membuat Djayus tak pernah memersoalkan walaupun ia tidak mendapatkan honor dari pekerjaannya sebagai pembawa acara Tayub Mbah Jo di Radio Mulia FM, kemudian pindah ke Imbas FM, dan kini balik kucing ke Mulia FM, semuanya di Kecamatan Purwosari Bojonegoro. Sebelum menjadi pembawa acara Tayub Mbah Jo di kedua radio itu, Djayus pernah pula mengisi acara Gara-gara di RKPD Bojonegoro (2000 – 2003), sekali dalam sepekan. Hebatnya, Djayus tidak mendapatkan imbalan dari pekerjaan yang dipandangnya sebagai media ekspresi itu, bahkan ia nomboki sendiri biaya transportasinya dari rumah ke studio pergi-pulang.

Karena jarak antara rumahnya dengan studio RKPD Bojonegoro lumayan jauh, dan ada stasiun radio baru di dekat rumahnya, Djayus memilih berhenti siaran di RKPD. Maka masuklah ia ke radio baru itu, Mulia FM. Ia tidak lagi membawakan acara Gara-gara, melainkan Tayub Mbah Jo, yakni siaran gending-gending tayub dan campursari. Sebagai sastrawan, Djayus tak mau sekadar cuap-cuap asal-asalan. Ia selalu membuat persiapan tertulis dari rumah layaknya seorang guru yang akan mengajar di kelas. Bahkan, masih ditambah lagi persiapan alat-alat untuk menghidupkan suasana, seperti kaleng bekas, batu, dan sebagainya. ’’Kalau saya ngomong soal tukang bakso, ya saya ambil lepek lalu saya pukul-pukul dengan sendok, jadi pendengar soelah-olah merasakan bahwa ada penjual bakso beneran di studio,’’ katanya.

Dengan persiapan tertulis itu, Djayus pun bisa mengulas syair-syair tembang atau lagu campursari yang diudarakan, bahkan membumbuinya dengan komentar-komentar berkaiatan dengan sejarah, ilmu sosial, filsafat, bahkan juga agama.

’’Kalau misalnya ada syair tembang yang menyinggung-nyinggung soal perselingkuhan, kadang saya juga bukak-bukak Quran, untuk melihat surat apa ayat berapa yang membahas mengenai hal itu,’’ tutur Djayus memperkuat gambaran bahwa ia memang bukan penyiar sembarangan.

’’Saya ini juga kalau lepas siaran, kalau ada waktu luang, sering keluyuran ke warung-warung kopi, menemui para fans saya yang memang ya di situ-situlah komunitasnya. Lalu saya kenal pemilik warungnya, dan kemudian tak segan-segan menggojlognya waktu siaran. Maka, jangan heran kalau penggemar acara saya bukan hanya orang-orang yang sudah tua, tetapi juga anak-anak.

Ditambahkan Djayus, saat anjangsana ke warung-warung itu ia juga sambil melayani pembelian kartu request. Bahkan, kartu request yang dibawanya tak jarang ludes diborong para pemilik warung atau pembuat jamutradisional yang kepengin sekaligus mengiklankan dagangannya. Ia mengaku, walau tak sepeser pun dapat honor dari pemilik radio, dari jualan kartu request Rp 500/lembar itu dalam sebulan bisa dikantongi antara Rp 300.000 – Rp 400.000.

’’Ya lumayanlah, bisa buat beli rokok,’’ kata penggemar berat rokok cap Oeloeng ini, ’’toh, nggak dapat apa-apa pun saya juga senang.’’ Ya, dapat kesenangan itulah! [BON]



DJAYUS PETE
Lahir: 1 Agustus 1948
Pekerjaan: Guru SDN Purwosari 3 Bojonegoro
Istri: 1 orang
Anak: 4 orang (sudah berkerja semua)
Cucu: 5 orang

Buku: Kreteg Emas Jurang Gupit (DK-Jatim bersama AJI Surabaya, 2002)
Penghargaan: Hadiah Rancage (2003), Seniman Jatim (dari Gubernur Jawa Timur, 2005)

Acara di Radio:
Gara-gara di RKPD Bojonegoro (2000 – 2003)
Tayub Mbah Jo di Mulia FM Bojonegoro (2003 – 2005)
Tayub Mbah Jo di Imbas FM Bojonegoro (2005 – 2007
Tayub Mbah Jo di Mulia FM Bojonegoro (Juli, 2007 - sekarang)

Cita-cita:
Setelah pensiun, jadi pembawa acara Tayub Mbah Jo di radio, televisi lkokal di Bojonegoro, sambil terus mengarang.

Kamis, 24 Januari 2008

Kiki Amalia: Tertarik Bisnis Restoran Plus Pijat

Meski tergolong pendatang baru di dunia hiburan, Kiki Amalia tak mengabaikan masa depan. Saat ini, dia berangan-angan mendirikan sebuah rumah makan.Menurut dara kelahiran Jakarta 26 November 1981 ini, keinginan membuka bisnis kuliner itu timbul karena salah satu hobinya: makan. Kiki ingin membuat restoran berkonsep one stop shopping.


Yang tak kalah menarik, dia ingin mengkhususkan restoran tersebut untuk kaum hawa. ’’Aku pengin bikin restoran yang bisa dijadiin tempat ngumpul para perempuan,’’ ujarnya.

Bukan hanya makan dan minum. Kiki membayangkan, di restorannya nanti, para pengunjung bisa dimanjakan oleh pelayanan lain. ’’Misalnya, setelah makan, mereka bisa pijat kaki atau relaksasi,’’ ungkap perempuan 25 tahun tersebut.

Demi mewujudkan keinginan itu, Kiki mulai mengumpulkan uang. Hanya, dia belum bersedia mengungkapkan berapa lama lagi tabungannya cukup untuk memulai bisnis baru tersebut.

Menurut dia, usahanya nanti tidak sepenuhnya menggunakan uang dari tabungan pribadi. Dia berniat meminjam modal lebih besar ke bank. ’’Ada beberapa saudara yang membantu aku. Mereka akan mengusahakan peminjaman modal ke bank,’’ jelasnya.

Selain urusan modal, beberapa waktu belakangan, setiap ada pekerjaan di luar kota, Kiki selalu menyempatkan berburu makanan khas. Selain itu, dia mulai rajin mengikuti demo masak. Saat ini, dia mengaku sudah menguasai cara pembuatan beberapa makanan khas Indonesia.[KD]

Jumat, 11 Januari 2008

Tarini: Naik Garuda Gratis karena Tulisan


Beberapa waktu lalu (08/02/06) Tarini Sorrita (34), salah seorang anggota Cafe de Kossta, pulang kampung (Cirebon, Jawa Barat). Kesempatan cuti itu sekaligus dimanfaatkan Rini --begitulah sapaan akrap ibu seorang gadis 11 tahun ini—untuk meluncurkan buku cerpen-nya, Penari Naga Kecil (PNK). Acara peluncuran buku cerpen itu menyusul kesuksesan pentas sastra buruh migran yang sebelumnya telah beberapa kali digelar di Surabaya, Blitar, Jogjakarta, Wonosobo, Jember, bersama para penulis: Denok Rokhmatika, Etik Juwita, Maria Bo Niok, Winna Karni, Tania Roos.

Menjelang tengah malam yang dingin pada tanggal 10, Rini bertolak dari Cirebon ke Jogjakarta bersama ayah, ibu, dan putri tunggalnya, Wati Suhartini (11).

Siang harinya, saya datang dan segera bergabung dengan mereka yang sudah beristirahat bersama panitia: Maria Bo Niok yang kemudian jadi moderator acara dan Mr Gunkid. Bahkan cuci muka pun belum sempat, Maria sudah mengajak pergi ke Sekolah PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang didirikan oleh Serikat Pekerja Rumah Tangga Jogjakarta. Bertemu para siswa dan aktivis SPRT itu sungguh menyenangkan.

Sore, kami berempat langsung menuju Toko Buku Togamas di Jl Gejayan, tempat diskusi dan peluncuran buku PNK. Lepas magrib salah seorang panitia yang ditugasi menjemput orangtua dan anak Rini datang di tempat acara.

Cuaca Jogjakarta sedang sangat bersahabat. Tamu berdatangan. Ada aktivis LSM, ada mahasiswa, ada penulis. Tak kepalang tanggung, pengarang trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, dan pengamat sastra M Nurrahmat yang Kepala SMU 8 Jogjakarta diundang sebagai pembicara. Mereka pun sudah siap di tempat beberapa lama sebelum waktu yang ditentukan. Banyak pula rekan-rekan pers yang datang meliput. Ada dari Kompas, Gatra, Kedaulatan Rakyat, dan lain-lain, dan bahkan ada pula wartawan TVRI yang datang bersama jurukameranya. Penyair dan akademisi sastra Prof Dr Rachmat Djoko Pradopo pun hadir dan memberikan ucapan selamat secara khusus kepada Rini.

Para anggota SPRT Jogja, seorang di antara mereka didapuk membacakan salah satu cerpen karya Tarini dan seorang yang lain lagi membacakan puisi karya mereka sendiri, telah siap jauh waktu.

Acara berjalan lancar dan menarik. Semua komentar bernada dukungan dan menyemangati Rini. Setelah memberikan beberapa catatan, bahkan, M. Nurrahmat mengatakan, ’’Saya acungkan dua jempol untuk Mbak Rini!’’

Pesan Ahmad Tohari buat Rini, lebih-kurang begini, ’’Mbak Rini, salah satu kunci sukses seorang penulis itu ialah jangan pernah merasa jadi atau mencapai puncak sebagai penulis. Sebab, begitu perasaan itu timbul, tamatlah riwayat kita!’’

Tanggal 13 Februai, malam, Rini sudah berada di Surabaya, tepatnya di Gedung Cak Durasim, Kompleks Taman Budaya Jawa Timur, Jl Gentengkali 85 Surabaya dalam acara yang sama, diskusi dan pembacaan cerpennya. Didapuk sebagai pembahas adalah sastrawan Beni Setia (Madiun) dan Dra Emy Susanti, Msi, Ketua Pusat Studi Wanita Universitas Airlangga.

Acara yang juga dimeriahkan dengan kedatangan ratusan siswa SMU Trimurti Surabaya bersama guru bahasa Indonesia mereka, Ibu Ndari, diawali sambutan Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur, Dr. Setya Yuwana Sudikan, dan Kepala Taman Budaya Jawa Timur, Drs. Pribadi Agus Santosa, Msi.

Kata Beni, mengambil salah satu cerpen Rini sebagai acuan, Rini adalah tipe pekerja rumah tangga yang benar-benar profesional, bahkan telah memiliki kuatan yang bisa dibilang luar biasa yang memungkinkan ia berani dan bisa jothakan alias diam-diaman dengan Sang Majikan. ’’Lihatlah ini,’’ kata Beni sambil menunjuk sebuah gambar di dalam buku Penari Naga Kecil, ’’Rini bisa diam-diaman dengan majikannya, dan hanya berkomunikasi dengan tulisan pada secarik kertas!’’

Sementara itu, Emy menilai bahwa Rini bisa menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan di antara kita tidak perlu menibulkan masalah. ’’Rini bisa bersahabat dengan orang-orang dari negara mana saja tanpa masalah, seperti terlihat pada cerpennya Ular Putih, Ular Coklat, Ular Hitam!’’

Ada yang jauh lebih menarik daripada cerpen-cerpen Rini di dalam bukunya itu, yakni cerita tentang pengalaman Rini dengan Terminal III Bandara Soekarno-Hatta. []

Pinky Saptandari, Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan

’’Tetaplah Bangga pada Bangsa dan Negara Sendiri’’


Penampilannya luwes, bersahaja, dan tutur bahasanya lembut. Tapi, ia berani melontarkan kritik tajam untuk masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Itulah sosok Pinky Saptandari yang kini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Pemberdayaan PerempuanRepublik Indonesia. Apa pendapatnya tentang perempuan Indonesia yang berada di luar negeri sebagai domestic worker?

Sebutan pahlawan devisa bagi para tenaga kerja Indonesia yang mengais rejeki ke luar negeri begitu berarti bagi Pinky Saptandari. Ibu dua anak ini tak ingin julukan itu hanya sekedar manis di bibir saja tanpa langkah konkrit semua pihak untuk melindungi kepentingan para domestic worker alias PRT (pekerja rumah tangga) yang kerap menjadi korban eksploitasi ini.

’’Semua orang bilang TKI, termasuk TKW itu pahlawan devisa. Gubernur Jawa Timur Imam Utomo juga bilang begitu. Tapi wujud konkritnya apa? Apa hanya sekedar diucapkan? Yang seperti itu yang menurut saya harus ada kerjasama semua pihak, banyak hal perlu dibenahi, karena ini merupakan tanggungjawab kita bersama,’’ tegasnya saat ditemui di kantor Dewan Kota jalan Diponegoro Surabaya.

Menurut Pinky, pembenahan ini meliputi seluruh aspek pengiriman tenaga kerja Indonesia. Dan ini membutuhkan peran berbagai pihak mulai di tingkat kelurahan, kabupaten, kota provinsi, pemerintah, sampai pihak-pihak yang menjadi tempat tujuan para tenaga kerja (naker).

Prihatin

’’Kasihan lho mereka-mereka ini (TKI, Red). Di satu sisi dia disebut pahlawan devisa, tapi di sisi lain mereka diperlakukan seperti sapi perahan,’’ ujar Pinky dengan logat Suroboyoannya yang kental.

Keprihatinan Pinky ini tertuju pada nasib naker yang memrihatinkan di luar negeri. Para naker ilegal yang dipulangkan secara paksa termasuk para perempuan yang mengalami nasib mengenaskan akibat siksaan Sang Majikan atau pelecehan seksual membuat semua pihak harus segera bertindak. Sayangnya, peran nota kesepahaman antara dua negara juga belum maksimal. Padahal baru nota kesepahaman antara Indonesia–Malaysia yang telah disepakati. Itu pun belum sepenuhnya melindungi kepentingan tenaga kerja kita di Malaysia. Peraturan tenaga kerja yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia pun dianggap beberapa kalangan tak memuaskan.

Untuk itu pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan kita dengan Pusat Studi Wanita Malaysia saat ini sedang melakukan kajian. Kajian yang berkelanjutan. Kemudian, kajian tentang berbagai persoalan tenaga kerja kedua belah pihak yang kerap timbul ini di publikasikan dalam workshop di tingkat negara.

’’Nanti semua pihak yang berkepentingan dengan ketenagakerjaan itu diundang untuk mendengarkan hasil kajian tersebut. Langkah ini diharapkan bisa menjadi rekomendasi untuk dibuatnya kebijakan baru termasuk dalam perubahan nota kesepahaman antara kedua negara,’’ papar tokoh perempuan asal Surabaya ini.

Tujuannya tak lain adalah untuk melindungi kepentingan warga Negara masing-masing. Selain itu, juga untuk menguatkan bargaining position naker kita di mata negara lain. ’’Kalau Filipina bisa membuat bargaining position-nya kuat, kenapa kita tidak bisa?’’ sahutnya berapi-api.

Harus Cukup Bekal

Perhatian pemerintah terhadap pengusaha PJTKI nakal juga diperlukan. Setidaknya, pemerintah harus menindak tegas para PJTKI yang tidak sesuai aturan, terutama PJTKI yang terbukti mengirim tenaga kerja secara ilegal.

’’Walaupun resmi ternyata tidak semua PJTKI memberikan hak-haknya, memberikan informasi yang lengkap dan mendidik para TKW dengan bekal yang cukup. Baik technical skill maupun sosial skill seperti masalah hukum, bahasa, dan kultur negara lain. Padahal itu perlu!’’ seru wanita yang punya hobi melukis ini.

Saat ini Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Pendidikan Nasional sedang mendesain suatu sistem yang akan dijadikan standar bagi pengusaha PJTKI.

’’Standar ini nantinya juga berguna dalam penentuan akreditasi PJTKI setiap tahun yang segera ditetapkan oleh pemerintah. Dan sanksi yang diberlakukan pun sangat tegas agar membuat jera. Yaitu, berupa pencabutan ijin usaha bagi PJTKI yang tidak melaksanakannya,’’ sambung Pinky.

’’Kemarin di Medan saya temukan ada 14 anak yang bisa dibebaskan dari trafficking. Nah, untuk memulangkan mereka ke tempat asalnya ini kan seharusnya biayanya ditanggung oleh pemerintah daerah. Makanya, harus ada alokasi dana Pemerintah Daerah yang dipersiapkan untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini.’’

Bank Minded

Munculnya calo dan pungli di sekeliling para naker utamanya setelah kembali ke Indonesia juga harus segera ditangani. Sejak mereka mendaftar menjadi TKW, di Bandara Soekarno - Hatta hingga kembali ke tempat asal mereka.

Menurut Pinky, persoalan ini juga terkait dengan pemberdayaan dan kemandirian tenaga kerja itu sendiri. Para naker terutama TKW harus memiliki strategi untuk melindungi dirinya sekaligus mengamankan uangnya dari calo dan pungli.

’’Saya suka pada sebuah lembaga yang mengajarkan kepada TKW untuk bank minded. Gaji dibayar lewat bank. Dan, ketika mereka pulang pun tidak membawa banyak uang, secukupnya saja. Ini kan menguntungkan mereka, karena sumber pemerasan itu tidak ada,’’ terang ibu yang masih tampak cantik diusianya yang ke-47 ini.

’’Mata rantai praktik pungli dan calo ini harus diblokir. Dan upaya ini telah kita mulai sesuai Instruksi Menteri bahwa pemulangan tenaga kerja itu harus didampingi oleh dinas tenaga kerja,’’ tuturnya.

Peran masyarakat pun juga dibutuhkan. Terutama untuk mengubah stigma yang memandang rendah para TKW. Sebab, cara pandang seperti itu malah membuat para TKW jadi bertindak semaunya bahkan kehilangan rasa nasionalismenya.

’’Saya sangat jengkel dengan sikap pramugari pesawat yang cenderung meremehkan para TKW. Tapi, bagaimanapun saya berpesan kepada para TKW yang sudah lama di negeri orang ini agar tetap bangga pada bangsa dan negaranya sendiri.’’



Kemandirian

Pinky Saptandari sejak dulu dikenal sebagai tokoh kritis yang berani bersuara tentang berbagai persoalan. Seperti masalah perkotaan, gender, dunia kampus, anak jalanan, bahkan pemerintahan yang menyangkut kepentingan banyak pihak. Ia juga dikenal sebagai sosok yang jujur, mandiri, dan mendukung prinsip demokrasi.

Pinky juga tak segan mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan. Baik berupa pemikiran maupun tenaga ia tuangkan melalui aktivitas sosial yang dilakukannya sebagai Sekjen Dewan Kota Surabaya. Ia kerap membantu orang-orang kurang mampu dengan menggelar acara atau menggalang dana dari anggota Dewan Kota untuk membiayai aktivitas sosial tersebut. Ia pun rela untuk merogoh koceknya bagi yang membutuhkan. Bahkan, ia mau banting tulang demi membiayai aktivitasnya ini. Dan ia mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya.

’’Bagi saya itu bukan masalah. Karena saya melakukannya dengan ikhlas, senang hati, dan tanpa beban. Apalagi sejak kecil saya memang suka cari uang. Making some money untuk membiayai aktivitas sosial saya,” ungkap tokoh perempuan yang ramah ini.

Sikapnya itu ia turunkan pada kedua putranya sejak kecil. Ketika anak pertamanya masih kelas 4 SD, ia berani membawa adiknya yang sedang sakit ke rumah sakit tanpa bantuan orang tuanya. Bahkan, meski dirinya berkecukupan, anak-anaknya tak segan menjadi loper koran ataupun waitress sekedar untuk menimba pengalaman.

Bagi Pinky, kemandirian adalah tanggung jawab setiap orang. Tak peduli pria atau wanita. ’’Posisi pria dan wanita bagi saya itu setara. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang. Dan rumah tangga adalah kerjasama antara dua belah pihak semacam simbiosis mutualisme. Jadi, segalanya harus dirundingkan bersama. Kuncinya adalah komunikasi,’’ tuturnya seraya tersenyum. [NUY HARBIS]



Biodata :

Nama : Pinky Saptandari
TTL : Surabaya, 26 Mei 1958
Anak : dua putra
Pendidikan : 1984 Sarjana jurusan Sosiologi Unair Surabaya
1992 Studi Perempuan dan Pembangunan di Leiden, Netherland
1994 S2 jurusan Antropologi UI
Karir : Staf pengajar FISIP Unair Surabaya [1985 – sekarang]
Sekjen Dewan Kota [2002 – sekarang ]
Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan 2005 – sekarang

Bali saka Hongkong: Lik Kis Pengin Bukak Cafe lan Terus Nulis


’’Janma tan kena kinira, bathok bolu isi madu.’’ Mangkono unen-unen kang saiki wis ora populer lan ora pati dianggep. Upamane, dening sapa wae sing nganggep manawa pekerja rumah tangga utawa domestic worker [kerep diarani: rewang, batur, babu] kadidene pakaryan kang asor drajate. Lik Kismawati, sangsaya cas-cis-cus basa Inggris-e, dadi aktivis, lan sangsaya mekar bakat nulise sawise 7 taun dadi rewang neng Hongkong.



Dadi TKI watara 7 taun ing Hongkong wus cukup tumrap Lik Kis [jeneng jangkepe: Lik Kismawati].’’Sabisa-bisa aku ora arep bali kerja neng luwar negri maneh,’’ kandhane pawestri asal Desa Kraton, Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, iki. Lha, njur, apa rencanane sabanjure?

Ing kulawargane, Lik—ngono biasane dheweke diundang— iki anak mbarep. Sedulure 4. Kadidene anak mbarep, kenya 27 taun iki ngrumangsani gedhene tanggungjawabe. Apamaneh ngelingi yen kulawargane klebu sekeng. Ya merga sekenge kulawargane kuwi, biyen Lik mung bisa mungkasi sekolahe ing kelas 2 SMA.

Lik Kis dadi TKI wiwit November 1999 ing Hongkong nganti 15 Juni 2006. Dheweke rumangsa jinangkung pengeran jalaran sasuwene megawe ing Hongkong ora nate kepalang prekara sing abot. Majikane wong Hongkong asli. Majikan lanang pegawe restoran, dene Si Nyonya megawe ing rumah sakit.

Ing negarane Andy Lauw kuwi, Lik aktif ing organisasi Indonesiaan Migrant Worker Union (IMWU), lan ing pakumpulane para penulis: Komunitas Perantau Nusantara (Kopernus), lan Café de Kosta.

Kadidene anggota IMWU, dhek November 2005, Lik diprecaya makili organisasi TKI iku nekani acara ing Korea suwene 12 dina.

Pinter Nulis

Lik Kish hobi, lan dhasare pancen pinter nulis. Tulisane kang sepisanan kapacak ing kalawarti arupa reportase, yakuwi ing Tabloid Suara (Hong Kong). Tulisan sabanjure arupa esai lan crita cekak abasa Indonesia, kapacak ing kalawarti-kalawarti babaran Hongkong kaya ta: Intermezo, Berita Indonesia, Peduli, Ekspresi, lan Apa Kabar. Sawatara crita cekake uga kapacak ing ariwarti babaran Indonesia: Sinar Harapan (Jakarta) lan Surya (Surabaya). Saperangan cirta cekake Lik uga kapacak ing buku-buku kumpulan crita cekak: Kumpulan Cerpen Srikandi (2006), Nyanyian Imigran (2006), lan Selasar Kenangan (2006).

Kanthi tulisan-tulisane, Lik uga klebu kerep menang lomba. Wadon sing ora doyan pedhes iki tau dadi Juara II lan Juara Harapan III ing sayembara ngarang crita cekak kang dianakake dening Forum Lingkar Pena (FLP) Hongkong tahun 2005.

Suka-sekele Urip neng Paran

Jenenge wae wong bara, urip adoh saka kulawarga lan kampung kelairan, rasa kangen kuwi sok nganti thukul dadi prenthuling luh kang banjur tumetes nelesi pipi. Luwih-luwih, upamane, ing malem lan dina riyaya, ati rasane kaya nelangsa merga ora bisa kumpul kulawarga. Untunge, ujare Lik, neng Hongkong akeh kancane. Kanthi aktif ing organisasi lan nindakake bab-bab sing positif, ati kang sok tumlawung bisa dadi lejar.

Lik banjur kandha manawa rasa sedhih kang paling nandhes ing batine dhek isih ana Hongkong yakuwi nalika nampa kabar manawa wong tuwa lanange kang nyambutgawe dadi sopir, Sutrisno, tilar donya (Desember 2003). ’’Rasaku sedhih banget wektu kuwi,’’ kandhane Lik kang ngaku nganti seprene durung duwe pacangan iki.

Pengin Bukak Café

Sawise bali bali saka Hongkong, Lik mantep ora bakal budhal dadi TKI maneh. Dheweke pengin bukak usaha dhewe senajan cilik-cilikan. ’’Aku pengin wirausaha. Saiki isih nimbang-nimbang, milang-miling, endi sing sekirane nguntungake lan bisa taktindakake, sambi nerusake hobiku nulis,’’ ujare.

Kanggo pawitan, saiki Lik wis tuku lemah ing tlatah Gresik perangan kidul. ’’Saiki aku ya durung ngreti bakal taknggo apa lemah kuwi. Nanging, takkira bakal nguntungake, jalaran krungu-krungu neng kono mengko bakal dibangun tol Surabaya – Mojokerto, malah bakal ana terminale barang.’’

Pengin bukak usaha apa? ’’Penginku sih, bukak café. Sajake, ing lingkunganku usaha iku kepetung nguntungake,’’ mengkono pratelane Lik kang saiki isih kumpul wong tuwane ing Krian, Sidoarjo. [BONARI NABONENAR/KUSWINARTO]
sUmber: Majalah Jaya Baya

Kamis, 10 Januari 2008

Eni Kusuma Penulis Buku Anda Luar Biasa!!!


Setelah 6 tahun jadi TKI di Hong Kong, perempuan mungil asal Banyuwangi ini pulang ke tanah air untuk seterusnya sejak 25 Februari 2007 lalu. Sejarah penting pun ia ciptakan di awal-awal come back-nya. Tak tanggung-tanggung, sekaligus tiga sejarah ia ciptakan. Apa saja?

Beberapa bulan ini, wajah dan profil putri bungsu pasangan M. Yasin [60] dan Asfia [55] ini menjadi ’’santapan’’ sejumlah media massa. Pemilik nama asli Eni Kusumawati yang lahir di Banyuwangi, 22 Agustus 1972, ini pun telah tampil di sejumlah stasiun televisi.

Itu terutama terkait dengan terbitnya buku karangan Eni—panggilan Eni Kusumawati—berjudul Anda Luar Biasa!!! April 2007 lalu. Buku tersebut disebut-sebut sebagai buku motivator pertama yang lahir dari tangan seorang [mantan] pekerja rumah tangga [PRT] yang bekerja di luar negeri.

Sebagaimana judulnya, Anda Luar Biasa!!!, isi buku tersebut ternyata memang luar biasa. Dari sejumlah endorsment yang diberikan oleh beberapa orang yang cukup dikenal—sebagian seorang motivator—di buku tersebut, antara lain dapat diketahui bobot buku karya alumnus SMAN 1 Banyuwangi [kini SMAN 1 Glagah] ini. Semuanya menilai buku tersebut luar biasa dan dahsyat.

Pengakuan atas bobot buku Eni juga datang dalam Festival Sastra Buruh 2007 di Kampung Seni Bagus Putu Parto di Desa Gogodeso, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, 30 April 2007—1 Mei 2007 lalu. Darmono Saputro yang jadi salah seorang pembicara—mewakili kepala Subdin Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Jawa Timur yang berhalangan hadir—menyebut buku karya Eni memang luar biasa.

Menikah

Senin, 2 April 2007 menjadi hari istimewa karena hari itulah warga Jalan Belitung 21 Banyuwangi ini melepas masa lajangnya, menikah, dan menghilangkan keperawanannya dengan lelaki yang kini menjadi suaminya, Hisam [30], yang juga asal Banyuwangi.
Proses pertemuan hingga pernikahan adik dari Puji Rahayu Astuti [38] dan Ani Sulistyorini [35] ini dengan suaminya Hisam yang seorang karyawan perusahaan mebel kualitas ekspor ini boleh dibilang cukup unik juga. Ada kisah mirip-mirip juga dengan novel Siti Nurbaya. [Baca Nikah atau Enggak, Keputusan Ada di Bandara]. [KUS]

Sastrawan Jawa Tiwiek SA Bicara Soal TKI


Belum Banyak TKI Memikirkan Lapangan Kerja

Lelaki kelahiran 8 Juni 1948 ini lebih dikenal luas sebagai guru dan sastrawan. Namun, pemilik nama asli Suwigyo Adi ini ternyata juga punya perhatian lebih kepada TKI yang kerja di luar negeri. Penilaian suami Ruliyah ini patut mendapat perhatian TKI.

Kamis sore [01/03] Peduli berkunjung di kediaman Tiwiek SA di Desa Karangtalun, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tuluagung, Jawa Timur. Ngobrol agak panjang tentang sastra, pembicaraan kemudian meluncur ke persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Bermula dari kekagumannya terhadap tulisan sastra karya TKI.

Mantan kepala sekolah yang kini telah dikaruniai dua orang cucu ini mengaku, novel Catatan Harian Seorang Pramuwisma karya Rini Widyawati [mantan TKI Malaysia dan Hong Kong] sampai dia keloni saat tidur. Ia tak menyangka Rini Widyawati yang ’cuma’ lulusan SLTP bisa menulis novel sehebat itu.

’’Saya tidak akan pernah tahu kalau di luar negeri banyak TKI mendapat perlakuan yang tidak manusiawi kalau saya tidak membaca novel Rini,’’ ungkap penerima penghargaan dari Yayasan Rancage dan Yayasan Umm Aminah Foundation tahun 2006 itu.

Salah seorang kemenakannya, sebetulnya ada yang pernah jadi TKI, yakni di Abu Dhabi. ’’Tapi kalau pulang, dia tidak pernah cerita tentang perlakuan yang diterima TKI selama bekerja di sana,’’ ungkap Tiwiek dalam bahasa Jawa.

Menyayangkan

Menurut Tiwiek SA, banyak sekali orang Tulungagung yang menjadi TKI di luar negeri. Bahkan, menurut dia, di Jawa Timur, Tulungagunglah yang paling berhasil. Di sekitar rumah tinggalnya juga tak sedikit yang berangkat ke luar negeri sebagai TKI.

Bagaimana penilaiannya terhadap TKI? ’’Di sini [Tulungagung—Red], anak sini kalau ke luar negri itu sasarannya, pertama, rumah. Pasti rumah. Rumah mereka bagus-bagus. Kedua, setelah rumah adalah kendaraan. Terus, nanti pulang, ya sudah, ya cuma motor-motoran nggrang-nggreng, mobil-mobilan nggrang-nggreng. Nah, nanti uangnya habis, balik ke luar negeri lagi. Kalau tidak begitu, barang-barang yang telah dibelina dijual lagi. Itu karena kebutuhan hidup bergerak terus dan memerlukan biaya, sementara dirinya tidak lagi bekerja.’’

Disayangkan Tiwiek SA, jarang dari mereka yang berpikir untuk membuka lapangan kerja. ’’Ya, ada yang berpikir membuka lapangan kerja, tapi cuma sedikit. Yang banyak, ya yang seperti itu tadi,’’ ungkapnya.

Menurut dia, kalau TKI memikirkan lapangan kerja, tentu dirinya tidak perlu lagi berpikir untuk kembali lagi ke luar negeri setelah pulang ke kampung halaman. TKI sudah bisa mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang telah diciptakannya sendiri. Malah kalau sampai bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain, tentu itu lebih baik lagi.

Berjasa

Namun demikian, Tiwiek SA mengakui bahwa para TKI memiliki jasa besar terhadap kemajuan daerahnya, bahkan negaranya. Buktinya, kata dia, beberapa desa di Tulungagung rumahnya bagus-bagus dan jalannya aspal mulus-mulus.

’’Desa bisa menjadi seperti itu sebagian juga karena jasanya TKI,’’ kata pengarang yang hingga akhir 2006 lalu telah menghasilkan lebih dari 200 karya sastra, baik berbahasa Jawa maupun berbahasa Indonesia.

Oleh karena jasa-jasanya itu, Tiwiek SA berpendapat, tak sepantasnya para TKI mendapat perlakuan yang buruk seperti yang dikisahkan di dalam bebeberapa karya sastra karangan TKI dan mantan TKI. [KUS]