Kamis, 09 Februari 2012

Memulai Usaha: Modal Ngutang Mertua

Sebenarnya dua sahabat Wirawan Dwi dan Raditio Ario Yudono ini semula adalah orang-orang yang sudah bekerja di 2 perusahaan berbeda dengan jabatan yang enak dan gaji yang cukup. Hanya saja karena ingin menjadi orang yang lebih maju lagi dalam banyak hal, akhirnya keduanya memutuskan berhenti dari pekerjaan masing-masing dan berusaha mendirikan usaha sendiri.





 Sedang melakukan pemotretan

Dijumpai Peduli pada 7-8 Januari 2012 silam keduanya tampak giat bekerja mulai mengabadikan moment akad nikah, foto keluarga, foto post wedding hingga foto resepsi yang di gelar di hari yang berbeda. Meski harus repot karena memburu moment yang tak bisa diulang namun keduanya berusaha sebisa mungkin menghasilkan foto yang bagus dan bercitarasa seni, bukan sembarangan memotret mengabadikan moment semata. Akhirnya wawancara dengan Peduli baru bisa dilakukan usai mereka bekerja memotret pernikahan klien tersebut pada 8 Januari 2012 silam.

”Saya dulunya bekerja sebagai humas di salah satu LSM muslim. Saya dari dulu itu punya prinsip, kalau sudah punya pengalaman bekerja lima tahun sebagai karyawan, selanjutnya saya harus segera mandiri dengan mendirikan usaha sendiri,” terang Wira, panggilan akrab Wirawan sehari-hari membuka kisahnya.

Karena itulah di tahun 2008, setelah 5 tahun bekerja, ayah dari Zayd Vivere Gazanezard ini mulai memikirkan untuk mandiri. Bisa dibilang nekat, sebab saat itu karirnya sebagai humas sedang bagus-bagusnya namun ia malah memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya kala itu. Didukung latar belakang pendidikan S-1nya di bidang komunikasi dan pengalaman kerjanya sebagai humas selama 5 tahun maka pria kelahiran Surabaya, 21 Agustus 1982 ini nekat mendirikan usaha yang bergerak di media konsultan. Bukan sekedar mendirikan usaha tanpa perhitungan, pendirian usaha ini justru didukung berdasarkan pertimbangan yang sangat matang.





 Aryo sedang melakukan pemotretan [FOTO: NIKEN]


”Kalau menurut saya, di zaman sekarang ini, hampir semua instansi yang ada itu perlu media untuk mempererat hubungan dengan customernya, entah itu dalam bentuk buletin ataupun majalah. Nah, kan tidak semua instansi punya SDM untuk mengelolanya. Di situlah kami melihat adanya peluang untuk membuka usaha di bidang ini. Kami membantu instansi tersebut untuk membuat media yang mereka perlukan, dari membuat berita hingga majalah yang mereka perlukan itu jadi dalam bentuk majalah,” ungkap Wira di awal perbincangan dengan Peduli.

Dengan adanya celah bisnis ini maka Wira pun ingin menggarap usaha barunya ini lebih serius lagi. Ia pun akhirnya mengajak teman kecilnya dulu, Raditio Ario Yudono untuk berpatner mengelola usaha baru tersebut. Sebagai langkah pertama tentunya mereka memerlukan kamera yang lumayan canggih untuk mendukung kinerja mereka ke depannya nanti.

”Waktu itu saya meminjam uang dari mertua saya. Karena kamera second yang akan kami beli saat itu harganya 6 juta, akhirnya saya dipinjami uang mertua 3 juta ditambah tabungan saya, akhirnya bisa punya satu kamera untuk mendukung operasinonal kami saat itu,” lanjut suami dari Lusie Wardani ini.

Demi bisa menghasilkan gambar yang bagus, putra pasangan alm.Masduki dan Umrin ini rela belajar fotografi pada Yuyung Abdi dan Mamuk Suhermo, dua orang fotografer dari koran terkemuka di Surabaya sebagai tempat menimba ilmunya. Sembari belajar fotografi, Wira pun gencar memperkenalkan usaha barunya ini pada beberapa instansi lagi. Di dukung dengan latar belakangnya yang pernah bekerja sebagai humas, setidaknya ia punya contac dengan sejumlah instansi yang sewaktu-waktu bisa ia tawari untuk bekerjasama. Tak lama kemudian sahabatnya, Ario menyusulnya membeli sebuah kamera lagi untuk operasional. Dengan memanfaatkan uang hasil dari angpau pernikahannya, suami dari Sri Handaru Widiyastuti ini menambah satu lagi alat operasional untuk usaha yang baru didirikan mereka saat itu.

”Saya sebelum bergabung dengan sahabat saya ini dulunya bekerja sebagai tim keuangan di sebuah perusahaan. Sebenarnya kerjaan saya saat itu lumayan enak, jam 6 sore saya sudah ada di rumah. Tetapi istri saya melihat saya saat itu sepertinya tidak bahagia dengan pekerjaan saya. Akhirnya setelah saya ceritakan, istri saya tidak keberatan kalau saya memanfaatkan uang dari angpau yang kami dapatkan sewaktu menikah dulu sebagai modal usaha. Padahal sekarang saya kalau pulang ke rumah bisa sampai jam 12 malam lho, malah terkadang tidur di kantor pula, gitu istri saya tidak marah. Dia tahu saya menikmati kerjaan saya saat ini,”sahut Ario.





 Menunjukkan hasil pemotretan kepada pelanggan [FOTO: NIKEN]



Dengan dua kamera itu kinerja mereka semakin maksimal lagi. Apalagi Wira yang kala itu sudah mulai bisa menghasilkan foto bagus pelan-pelan berani melangkah dengan mengembangkan usaha barunya ini. Selain sebagai konsultan media, keduanya juga membuka usaha baru yakni di bidang fotografi. Mereka mendirikan usaha baru di bawah bendera usaha yang berbeda yang mereka namai dengan Story Photography, yang bergerak untuk menangani pembuatan foto ataupun syuting acara.

”Sekarang ini ya, kalau menurut saya semua event itu memerlukan dokumentasi, mulai dari kelahiran hingga kematian itu orang inginnya di dokumentasikan. Nah, itulah celah bisnis yang bisa kami garap dengan serius,”imbuh Wira.

Gencar Berpromosi

Untuk usaha barunya ini Wira pun mengaku gencar berpromosi memperkenalkan usahanya tersebut, maklum saja usaha serupa juga banyak di geluti orang, jadi persaingan pun lumayan ketat. Karena itulah di awal usahanya ini keduanya juga rela memotret orang secara gratisan.

”Dulu saya kalau ada orang punya hajat suka ikutan motret begitu, itu saya lakukan secara gratisan.Ya nggak apa-apa juga kalau agak rugi di awal usaha. Saya kan sedang mencari nama. Ya siapalah saya saat itu, orang tidak tahu saya dan hasil foto saya. Jadi wajar kalau cara berpromosinya masih dengan jalan gratisan seperti itu. Hasilnya saya tunjukan mereka, terus mereka bilang foto saya bagus dan orang itu bilang ke temannya. Temannya bilang ke temannya lagi, lama-lama banyak yang tahu. Ya getok tular begitu,”sambung Wira.

Karena instansi yang mereka datangi makin hari semakin banyak, dan kebanyakan dari customers yang mereka datangi mulai menanyakan kantor dan badan usaha yang mereka geluti saat itu maka keduanya pun mulai serius untuk membuat sebuah CV dan memiliki sebuah kantor yang representatif agar customer yang mereka tangani semakin percaya dengan mereka. Mereka akhirnya mendirikan kantor sekaligus studio di griyo Mapan Sentosa FB/IV-31 Waru-Sidoarjo. Dan mereka pun mulai mendirikan CV yang mereka beri nama Garis Miring – Integrated communications.

”Untuk nama tadinya ada banyak pilihan, tapi akhirnya dipilihlah Garis Miring sebagai nama, karena kalau orang desain bilang ya, jika ada tiga garis vertikal, terus ada satu garis miring saja di situ, tiga garis vertikal tadi kalah. Karena usaha kami bergerak di bidang desain, media dan fotografi jadi nama itu kami pilih sebagai nama dari CV kami,” papar Wira.
Dan pada akta pendirian CV-nya, Ario di dapuk sebagai persero aktifnya dan Wirawan sebagai persero pasifnya.

”Tapi kalau di kegiatan sehari-harinya, saya sebagai direktur keuangannya, dan mas Wira ini sebagai direktur marketingnya. Sengaja begitu karena dia memang banyak link-nya, sedangkan saya kan dulunya kerja di bagian keuangan. Jadi saya dipercaya untuk mengelola keuangan yang dihasilkan oleh usaha kami ini, termasuk mengelola karyawan kami yang kalau dijumlahkan bersama para freelance-nya ada sekitar 10 orang. Nah, bagian menggaji karyawan, membeli peralatan, melunasi hutang dan segala macamnya itu tugas saya,”imbuh sarjana jebolan Ekonomi Managemen Unair ini menuturkan. [niken anggraini]

0 komentar: