This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 31 Oktober 2009

TAK SELAMANYA BISA MENGGENDONG


Sebagai buruh yang mengandalkan kekuatan fisik dalam menjalankan pekerjaan, para buruh gendong di Pasar Beringharjo sadar benar bahwa usia sangat berpengaruh terhadap kerja-kerja mereka. Maka sebagian dari para buruh ini melakukan usaha lain, seperti bekerja pada pedagang pasar atau bahkan berdagang saat tidak ada gendongan.

Mak Ndung merupakan salah satu buruh gendong yang kini tidak menjadikan jasa gendongan sebagai andalan. Sejak tahun 1994, perempuan yang memilih bercerai dari suami karena dipoligami ini berjualan pakaian dalam dan baju anak di antara los pasar. Ia mengaku meski membuka lapak dagangan, aktivitas menggendong masih tetap ia lakukan. ’’Ya kalau ada gendongan ini saya tutup,’’ katanya.

Perempuan yang menjawab tidak tahu ketika ditanya berapa usianya itu, sadar bahwa suatu saat ia tak akan kuat menggendong lagi. Sehingga usaha ini awalnya ia niatkan sebagai cadangan. Modal berdagang waktu itu ia dapatkan dari pinjaman. Hal itu bisa dipahami karena mereka memang berasal dari kalangan ekonomi lemah. Kondisi ekonomi keluarga itu pulalah yang menjadikan pendidikan mereka terbatas, sehingga kalah dalam persaingan di bidang kerja yang lebih baik.

Seperti halnya Mak Ndung, Tuminah yang saat ini menjabat sebagai ketua Paguyuban Sayuk Rukun, juga menekuni usaha lain yaitu jual-beli besi bekas. Saat ini ia hanya menjual jasa gendongan kepada para pelanggannya saja. Para pelanggan jasa gendongan ini sebagian besar adalah para pedagang pasar. Saat menerima order gendongan, Tuminah memilih untuk menutup kiosnya.

Mak Ndung dan Tuminah merupakan contoh dari buruh gendong yang kemudian mengembangkan diri tak sekedar sebagai penjual jasa gendongan saja, melainkan juga berdagang. Buruh gendong lain yang tidak memiliki modal dan tidak mempunyai kemampuan dagang, memilih bekerja secara lepas pada para pedagang pasar sambil menunggu pengguna jasa gendongan. Namun tak sedikit buruh gendong yang terpaksa harus berpangku tangan menahan kantuk sambil menunggu pekerjaan, karena tak memiliki sambilan.

Melihat potret mereka serta situasi kerja seperti itu, tak heran jika seorang fotografer di Yogyakarta merasa malu setelah mengabadikan gambar dan berbincang dengan mereka. Ia mengatakan, saat para buruh gendong itu bingung apa yang akan dimakan hari ini, ia justru bingung memilih menu. [siti aminah]

KEHIDUPAN HARUS TETAP BERJALAN

Kalau saja ada pilihan yang lebih layak, tentu perempuan-perempuan itu tak perlu menjual tenaga sebagai buruh gendong demi menyambung hidup mereka. Bisa dipastikan tak ada satu pun di antara mereka pernah membayangkan akan menjalani kehidupan sebagai buruh gendong. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hiduplah yang akhirnya mendamparkan mereka pada profesi tersebut.

Mak Ndung, perempuan asal Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta mengaku keterlibatannya sebagai buruh gendong dipicu oleh praktek poligami suaminya. ’’Suami punya isteri tiga,’’ katanya awal Mei lalu. Sebagai isteri pertama, Mak Ndung merasa diabaikan kebutuhannya. Suami tidak lagi memberi nafkah padanya, sehingga Mak Ndung harus memutar otak, mencari cara agar kehidupannya bersama anaknya tetap bisa berjalan.

Maka mulailah babak baru kehidupan perempuan itu. Tahun 1980 Mak Ndung memutuskan menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo. Sehari-hari ia menghabiskan waktu di pasar yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari desa asalnya. ’’Waktu itu sambil momong anak. Kalau nggendong (beban), kadang anak saya tumpangkan di atas,’’ cerita Mak Ndung tentang masa lalunya.

Jauhnya jarak rumah dan tempat kerja menjadikan Mak Ndung dan sebagian besar buruh gendong lain menyewa kamar di sekitar pasar. Menurut pihak Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) Yogyakarta, dulu banyak di antara mereka yang tidur di pasar. Tetapi sekarang hal itu sudah jarang ditemui. Para buruh ini tinggal di kamar sewaan secara berkelompok. ’’Seribu rupiah seharinya,’’ jawab Mak Ndung ketika ditanya berapa biaya sewa kamar mereka.

Mengenai pendapatan, Amin Muftiyanah, Direktur Yasanti mengungkapkan rata-rata mereka mendapatkan penghasilan setiap harinya sebesar Rp 15 ribu rupiah. Penghasilan ini didapatkan dari setidaknya 10 kali menggendong beban seberat 50-100 kilogram. Sebab untuk beban seberat itu mereka rata-rata hanya mendapatkan upah Rp 1500.

Dengan konstruksi pasar bertingkat seperti sekarang, jelas beban kerja mereka semakin berat. Tak jarang para buruh perempuan ini harus menggendong dari lantai bawah ke lantai atas, atau sebaliknya. Menurut Amin, ini tentu saja berpengaruh terhadap kesehatan perempuan, termasuk di dalamnya fungsi reproduksi perempuan. Terlebih sebagian buruh tersebut berada dalam kategori usia usia subur atau produktif.

Untuk itulah Yasanti bersama Paguyuban Buruh Gendong Pasar Beringharjo ’’Sayuk Rukun’’ mengadvokasi agar buruh gendong dapat mengakses layanan kesehatan masyarakat di kawasan pasar. Sebab sangat sulit bagi mereka mengakses layanan kesehatan di daerah asal, karena aktivitas keseharian mereka di pasar. Tak hanya itu, Yasanti dan Sayuk Rukun juga mengusahakan agar para buruh gendong diberi ruang beristirahat mengingat pekerjaan mereka menguras banyak tenaga.

Tak hanya pemerintah yang diharapkan memberi perhatian pada mereka. Masyarakat sebagai pengguna jasa pun diupayakan memiliki kepedulian dan penghargaan terhadap kerja para buruh perempuan ini. ’’Paling tidak dengan mengupah mereka secara layak,’’ kata Amin.[siti aminah]

Buruh Gendong Pasar Beringharjo Yogyakarta

Potret Keras dan Beratnya Kehidupan

Adzan dhuhur tengah berkumandang ketika tiga orang perempuan sibuk membongkar muatan dari sebuah mobil yang terparkir di lantai dua Pasar Beringharjo di pusat Kota Yogyakarta. Satu di antara mereka tampak sekuat tenaga mengeluarkan muatan dari dalam kendaraan. Sedang dua orang lainnya mengangkut dari kendaraan ke gudang yang terletak di antara los pasar.


Itulah rutinitas yang dijalani oleh para perempuan buruh angkut yang biasa disebut buruh gendong. Dinamakan buruh gendong karena mereka mengangkut beban dengan cara digendong. Berbeda dengan buruh angkut laki-laki yang biasanya memanggul beban tanpa alat bantu selendang seperti halnya buruh perempuan.

Keberadaan buruh gendong ini sangat mudah dikenali. Selendang lurik yang mereka selempangkan serta celemek yang mereka kenakan menjadi penanda bahwa mereka adalah buruh gendong. Amin Muftiyanah, direktur Yayasan Annisa Swasti yang sejak tahun 1990-an mendampingi para buruh ini mengatakan bahwa usia mereka beragam. Mulai dari 20 - 60 tahun. Rata-rata para buruh gendong ini mampu membawa 50 - 100 kilogram dalam satu kali gendongan.

Meski Amin menilai bahwa pekerjaan buruh gendong tampak tidak manusiawi, tetapi banyak perempuan yang terlibat dalam sektor ini. Di Pasar Beringharjo yang berlantai tiga ini saja jumlahnya tak kurang dari 500 orang. Mereka tersebar dari lantai satu sampai lantai tiga.

Menurut Mak Ndung, mantan ketua Paguyuban Buruh Gendong Pasar Beringharjo ’’Sayuk Rukun’’, sebagian besar buruh di gendong di pasar ini berasal dari Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DI Yogyakarta. Namun ternyata tak hanya dari wilayah DI Yogyakarta saja. Buruh yang berasal dari Kabupaten Boyolali, Klaten, dan Sukoharjo ketiganya terletak di Propinsi Jawa Tengah, juga banyak ditemukan di sini.

Sebagian dari mereka berasal dari desa yang sama. Ini terjadi karena biasanya mereka yang telah menjadi buruh membawa serta para tetangga atau menjadi jalan masuk warga sedesanya ke dalam lingkungan pasar. Selain dengan cara ini, masuknya para perempuan ini ke pasar sebagai buruh gendong karena diajak oleh orang orang tua atau justru menggantikan profesi orang tua mereka.

Dapat dikatakan menjalani hidup sebagai buruh gendong sebenarnya adalah pilihan terakhir ketika tak ada lagi yang dapat mereka pilih. Bahkan, Mak Ndung yang telah menjadi buruh gendong sejak tahun 1980 melontarkan, ’’Orang yang mau jadi buruh gendong itu paling jelek. Tidak punya kepinteran tidak punya keterampilan, hanya mengandalkan tenaga.’’

Kondisi ini ternyata tidak membuat mereka terus berada dalam keterbatasan dan keterpurukan. Keterlibatan mereka dalam paguyuban merupakan salah satu bukti bahwa ada tekad dalam diri mereka untuk memajukan diri. Seperti kata Tuminah, setiap 35 hari sekali (selapan) buruh gendong yang tergabung dalam paguyuban ini mengadakan pertemuan. ’’Setiap Minggu-Pon di Masjid Muttaqien,’’ kata Tuminah.

Dalam pertemuan rutin ini, selain diisi dengan berbagai materi juga diadakan arisan dan simpan pinjam. Namun seperti halnya kegiatan simpan pinjam di banyak tempat, belakangan, ’’Simpanan bubar, tinggal pinjaman,’’ Mak Ndung menuturkan.

Meski tidak semua kegiatan berjalan lancar, setidaknya keberadaan paguyuban telah diakui kemanfaatannya oleh para buruh gendong. Jika dulu keberadaan mereka tidak dianggap, kini Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pasar telah mengakui buruh gendong sebagai warga pasar. Dengan pengakuan ini, setidaknya para buruh dapat bekerja dengan lebih nyaman, tidak lagi dianggap sebagai pihak yang harus ’disingkirkan’ dari lingkungan pasar. [siti aminah]

Minggu, 11 Oktober 2009

MEMANGGIL REZEKI DENGAN TEROMPET


Tahun baru, tak afdol rasanya tanpa kehadiran terompet. Suara terompet yang kadang tak enak di dengar namun menjadi tanda pergantian waktu di tahun yang baru biasa dikumandangkan saat pesta pergantian tahun digelar. Itulah mengapa, terompet selalu hadir di jalan-jalan protocol di kota besar di Indonesia termasuk Surabaya.

Para pedagang kaki lima yang sehari-hari berjualan makanan maupun kebutuhan rumah tangga lainnya, dua minggu menjelang tahun baru berbondong-bondong beralih berdagang terompet.

’’Habis jualan terompet untungnya lumayan. Satu terompet bisa dapat untung hingga Rp 7 ribu,’’ ujar Siti Nur Rodiah (40) pedagang terompet ‘dadakan’ yang sehari-hari berjualan di sepanjang jalan raya Ngagel.

Bila tak masuk tahun baru, sehari-hari wanita yang akrab dipanggil Rodiah ini berjualan perlengkapan rumah tangga tradisional seperti pembakar sate, kipas bamboo dan aneka peralatan masak lainnya.

Namun memasuki tanggal 15 Desember, sudah tahun yang kelima Rodiah menambah jualannya yakni terompet.

Terompet-terompet yang dijual Rodiah ini didatangkan dari Jawa Barat. “Biasanya ada yang dating kesini mengirim barang jadi saya tidak harus kulakan di tempat lain. Teman-teman yang berdagang di sepanjang jalan raya Ngagel juga berasal dari penjual yang sama. Mereka tidak mematok harga jual, terserah kita yang penting kita setor harga kulakan ke mereka,” jelas Rodiah yang sudah 8 tahun berjualan di sepanjang jalan ini.

Namun karena kebersamaan, Rodiah membuat kesepakatan harga dengan sesama penjual di sepanjang jalan ini. “Biar bersaing secara sehat dan nggak saling iri,” ungkapnya.

Terompet yang ditawarkan Rodiah beragam, mulai yang berharga Rp 15 ribu dengan bentuk standar hingga yang berharga Rp 75 ribu. Yang paling mahal adalah terompet berbentuk saxophone dengan hiasan warna-warni. Selain itu, Rodiah juga menjual pernik-pernik tahun baru lainnya seperti topi dan topeng.

Setiap momen tahun baru, Rodiah biasa menjual 100 – 200 buah terompet. Namun semua tergantung musim. Bila cuaca lebih banyak bersahabat, Rodiah bisa menjual banyak. Namun bila setiap hari hujan, bisa dipastikan terompet-nya jarang laku. “Apalagi sekarang banyak saingan. Para penjual terompet juga makin kreatif, bentuknya sekarang macam-macam sehingga persaingannya tinggi,” terangnya.

Meski Cuma berjualan 2 minggu untung yang diraih cukup lumayan. Minimal Rodiah bisa mengantongi untung Rp 300 ribu. Sayangnya terompet hanya digunakan saat tahun baru. Maka Rodiah pun hanya akan mendapat untung tinggi setahun sekali. Sisanya 11 bulan, Rodiah pilih berjualan peralatan dapur dengan untung tak seberapa. [dewi]

''Perajin Batu Akik Butuh Pasar''

’’Akik adalah khas Pacitan. Nama batu akik Pacitan sudah dikenal. Tapi, kenapa di sini batu akik ndak bisa bertahan?’’ Hal itu disampaikan Pak Timbul, nama aslinya Paiman, saat berbincang-bincang dengan Peduli di rumahnya di Desa Gendaran, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Hal itu dikemukakan terkait dengan pasar batu akik yang saat ini, menurut dia, tak hanya lesu, tetapi sudah hancur karena dayabeli masyarakat anjlok sejak krismon tahun 1990-an.

Selain itu, saat ini ongkos produksi - termasuk bensin, solar, dan oli - juga jauh lebih mahal daripada masa jayanya bisnis batu akik dulu sebelum krismon. Kata Pak Timbul, kalau dipukul rata, dulu seorang pekerja dapat 1 kodi batu akik per hari. Ongkos produksi untuk 1 kodi batu akik dulu hanya sebesar Rp 500, tetapi sekarang ongkos produksinya mencapai Rp 10.000/kodi. Satu kodi berisi 20 biji batu akik. ’’Dulu bensin masih Rp 1.100, sekarang sudah berapa? Tapi, kendala utamanya adalah pasar,’’ tegas Pak Timbul yang mulai merajin batu akik sejak tahun 1968.

Karena rusaknya pasar batu akik, pekerja Pak Timbul pun kini menyusut drastis. Dulu waktu ramai, Pak Timbul mempekerjakan sampai belasan orang untuk mengolah batu akik. Yang bekerja pun saat itu sampai dipisah-pisah. Yang khusus memotong batu, ada sendiri. Yang khusus membentuk, ada sendiri, Yang khusus ndadekke, juga ada sendiri. Sekarang, dari belasan orang karyawan Pak Timbul, tinggal 4 orang saja yang masih bertahan. Selain yang 4 orang itu, semua sudah mencari pekerjaan lain.

’’Dulu waktu ramai, dapat I kodi langsung laku. Kalau sekarang, enggak. Kadang-kadang 1 bulan laku 1 kodi saja belum tentu. Lha, repot sekarang,’’ keluh Pak Timbul yang mengaku batu untuk bahan baku usahanya diperoleh dari petani. Ada orang-orang yang bekerja mencari batu di gunung, kemudian Pak Timbul membeli dari mereka.

’’Batu akik sebagian besar yang saya tekuni ya dari Pacitan. Carinya ke gunung. Tidak cari sendiri batunya, tapi kiriman dari petani. Selain dari Pacitan, kadang juga dari Trenggalek dan Ponorogo,’’ akunya.

Ditanya berapa pendapatannya kini sebagai perajin batu akik, Pak Timbul enggan mengungkapkan. ’’Sekarang hasilnya yang jelas warek dipangan (kenyang dimakan, Red),’’ katanya.

Butuh Bantuan
Terkait dengan hancurnya pasar batu akik, Pak Timbul mengaku cukup pusing. Pusing bukan karena memikirkan profesi lain apa yang bisa memberikan pendapatan yang lebih baik daripada profesi perajin batu akik. Bukan itu. Pak Timbul mengaku pusing memikirkan bagaimana caranya mengembalikan kejayaan bisnis batu akik.

Karena kendala utamanya adalah pasar, untuk mengembalikan kejayaan bisnis batu akik, menurut Pak Timbul, adalah memperbaiki pasar. Itulah yang memusingkan Pak Timbul. Yakni, memikirkan pasar atu akik.

Dan sebetulnya, Pak Timbul secara pribadi sudah punya solusi. Yakni, menurunkan harga jual produk batu akik. Namun, penurunan harga itu harus diimbangi dengan peningkatan efektivitas proses produksi. Dalam hal ini, menurut Pak Timbul, peralatan harus diperbaharui sehingga dengan peralatan yang lebih baik, proses produksi lebih cepat dan bahan baku yang terbuang dapat diminimalisasi. Pak Timbul yakin, dengan cara itu pasar batu akik bias lebih hidup daripada beberapa tahun terakhir ini.

Sekarang ini, menurut Pak Timbul, harga jual batu akik minimal Rp 2000/biji. Dengan harga jual sebesar itu, untung yang diperoleh Pak Timbul sebagai produsen batu akik sebetulnya tergolong minim. Karena, Pak Timbul hanya untung Rp 100/biji batu akik. ’’Kalau harga Rp 2000/biji itu dibilang murah, nyatanya tak ada orang mau beli?’’ ungkapnya.

Untuk menjalankan solusinya untuk mengatasi kehancuran pasar itu, Pak Timbul mengaku sangat membutuhkan bantuan modal, tapi bukan modal berupa uang, melainkan modal berupa alat untuk memperbaiki pasar. Untuk itu, Pak Timbul mengaku sudah menyampaikan keluhannya terkait dengan hancurnya pasar batu akik ke Pemkab Pacitan. Sayangnya, kata dia, hingga saat ini, pihak pemerintah belum memberikan tanggapan.

’’Padahal batu akik ini termasuk salah satu icon Kabupaten Pacitan. Nama Pacitan ini terangkat antara lain juga karena batu akik ini,’’ ungkap Pak Timbul penuh penekanan. [KUS/PUR]

''Batu Akik Ini Penghidupan Saya''

Sepi atau lesunya pasar batu akik sejak krismon tahun 1990-an, tak berarti batu akik sudah tak memberikan income sama sekali bagi penggelutnya. Hal itu diakui oleh Parto Wiyono, pemilik took bernama Gems Stones Art Shop di Desa Sukodono, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Bahkan, meskipun jarang, dirinya masih bisa memperoleh pendapatan yang banyak dari tokonya yang menjual produk-produk dari batu serta peralatan kerajinan batu akik itu. ’’Sekarang kalau ramai, ya dapat uang, bahkan sampai banyak. Kalau sepi, ya blong seperti hari ini, nggak dapat uang,’’ ungkapnya seraya mengembangkan senyum yang tak begitu manis.

Di toko milik Parto Wiyono dipajang berbagai produk, seperti cincin akik, gelang dari batu, batu akik atau mata cincin, hiasan, dan lain-lain. Bahkan ada juga meja dan kursi dari batu. Parto Wiyono tidak memroduksi sendiri isi tokonya itu. Dulu, ia memang seorang perajin batu akik, tetapi sudah lama dirinya hanya mengelola tokonya itu.

Bisnisnya di batu akik dimulai tahun 1963 sebagai pedagang keliling. Sebagai pedagang keliling, Parto Wiyono mengaku sudah pernah menjual batu-batu akik sampai kota-kota di Blitar, kediri, Tegal, dan Pekalongan. Di kota-kota itu, ia menjual batu akik dengan cara menghamparkan dagangannya di trotoar jalan atau di emper toko. ’’Kalau jual keliling, saya lama. Sebulan sekali saya baru pulang,’’ ungkapnya.

Kemampuannya sebagai perajin batu akik diperoleh Parto Wiyono ketika dirinya masih ikut orang. Orang yang diikuti itu seorang perajin batu akik. ’’Saya diajari dan akhirnya saya bisa,’’ kenangnya. Maka, ia pun menjalani profesi sebagai perajin sekaligus pedagang batu akik.

Aktivitas jualan keliling dihentikan sejak tahun 1985. Di tahun itu, Parto Wiyono mendirikan toko bernama Gems Stones Art Shop itu. Aktivitasnya sebagai perajin batu akik pun berhenti karena kesibukan mengurus tokonya itu. ’’Sekarang saya hanya memasarkan atau menjual hasil kerajian batu akik. Para pembuat produk, yang cocok harganya, menjual ke saya, lalu saya yang memasarkan,'' akunya.

Berapa harganya? ’’Kalau cincin yang ini, satunya kalau untuk dijual lagi Rp 25.000 bisa. Kalau untuk sendiri, Rp 50.000. Ya, begitu. Kalau saya munine (memberi harga, Red) Rp 50.000, terus nanti pembelinya tinggal menawarnya berapa,'' katanya.

Dikatakan Parto Wiyono, harga batu akik di tokonya bervariasi. Bisa juga beli kodian. Ada yang 1 kodi Rp 10.000. Ada yang Rp 50.000/kodi. Ada pula yang Rp 150.000/kodi. Satu kodi berisi 20 biji batu akik. Jenis batunya pun bermacam-macam. Ada diamond, ijo lumut, fosil, ada pula kecubung.

Setia pada Batu Akik
Meskipun batu akik saat ini cenderung kurang dapat maksimal memberikan keuntungan, Parto Wiyono tidak berminat untuk mengganti isi tokonya dengan barang dagangan yang lebih menjanjikan keuntungan finansial. Ia tetap setia menjual batu akik meskipun masa jaya batu akik kini hanya tinggal kenangan manis. Bahkan, Parto Wiyono mengatakan, dirinya tidak akan pernah meninggalkan batu akik.

’’Dari kecil hinggal setua ini, saya menggeluti batu akik. Jadi, saya sudah merasakan pahitnya, lalu merasakan manisnya, lalu merasakan pahitnya lagi. Saya tidak akan meninggalkan batu akik karena batu akik. Selain memang saya sudah senang dengan batu akik sejak kecil, saya tetap menggeluti batu akik ini karena inilah penghidupan saya,’’ ungkap Parto Wiyono dengan senyum.

Selain itu, menurut dia, daripada berpikir beralihprofesi, lebih baik mengupayakan bagaimana caranya agar pasar batu akik kembali ramai. Sepinya pasar batu akik saat ini, menurut dia, merupakan ujian. Dan, masih kata dia, seorang bakul seperti dirinya harus tahan uji.

Untuk itu, Parto Wiyono selalu berusaha untuk bias mengetahui minat pembeli atau pelanggan. ’’Yang digemari pelanggan apa, itu lalu saya cari,’’ ungkapnya.

Alhasil, saat ini, Gems Stones Art Shop miliknya tak memulu menjual produk-produk karya perajin dari daerahnya. Di toko itu juga dipajang aneka produk bebatuan dari daerah lain. Bahkan, banyak pula produk nonbatu yang dipajang di dalam etalase-etalase. Itu semua karena sebagai pedagang, sebagai bakul, Parto Wiyono mendengar apa kata pembeli atau pelanggan. Dan, itu semua, sudah tentu, dilakukan agar toko yang dikelolanya sejak tahun 1985 itu tetap memberinya penghasilan. [KUS/PUR]

Usaha Kerajinan Batu Akik di Kec. Donorojo, Kab. Pacitan

Masih ’’Klenger’’ sejak Krismon Tahun '90-an

Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, terutama Desa Sukodono dan Desa Gendaran, sudah dikenal luas hingga mancanegara sebagai salah satu sentra kerajinan batu akik di Indonesia. Bahkan, di desa tersebut ada pasar khusus untuk kerajinan batu akik. Dinamakan Pasar Kliwon karena pasar ini hanya buka khusus pada hari Kliwon dalam penanggalan Jawa.


Meskipun sudah puluhan tahun dikenal sebagai sentra kerajinan batu akik, ketika Peduli mengunjungi dua desa tersebut pada Kamis (6/12), hampir tidak ditemukan aktivitas pengolahan batu akik. Ketika tiba di tempat, Peduli sempat tanya kepada beberapa warga dan mereka menginformasikan beberapa alamat yang mereka kenal sebagai tempat pengolahan batu akik.

Namun, beberapa rumah yang ditunjukkan oleh beberapa warga tersebut ternyata sudah tidak lagi berproduksi. Para perajinnya sudah lama tidak lagi menggeluti batu akik. Di beberapa tempat yang dulu digunakan untuk mengolah batu akik memang masih ada berbagai peralatan. Namun, alat-alat itu pating gledak tak terawat, seolah-olah tak ada yang punya. Alat-alat itu seperti sudah tak ada gunanya lagi.

’’Sekarang ini pasar batu akik sudah lesu, Mas. Sepi. Makanya sudah jarang perajin yang masih mau memroduksi batu akik. Banyak yang mencari pekerjaan lain,’’ ungkap Parto Wiyono, pemilik Gems Stones Art Shop di Desa Sukodono, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, yang ditemui Peduli di tokonya yang memang sepi pembeli. Gems Stones Art Shop milik Parto Wiyono menjual batu akik, hiasan dari batu, dan aneka alat pemroses batu akik.

Kakek yang punya nama kecil Tukijo ini menggeluti batu akik sejak tahun 1963. Menurut dia, pasar batu akik saat ini tak seramai dulu. Bedanya jauh sekali, katanya. ’’Masa-masa paling ramai tahun 1960-an sampai 1995-an. Itulah masa jaya-jayanya batu akik. Saat itu hasil dari batu akik, boleh dibilang, sangat membanggakan,’’ terang Parto Wiyono.

Hal senada diungkapkan oleh Paiman, perajin batu akik. Warga Desa Gendaran, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, ini ialah seorang dari beberapa orang perajin batu akik yang masih setia dengan profesinya. Ketika ditemui Peduli di rumahnya, lelaki yang lebih dikenal sebagai Pak Timbul ini bersama beberapa orang karyawannya tengah mengolah batu gunung menjadi produk kerajinan batu akik. Saking terkenalnya Pak Timbul, nama usaha kerajinan batu akiknya pun diberi nama Kerajinan Batu Akik Timbul.

Menurut Pak Timbul, pasar batu akik saat ini malah tidak hanya lesu, tetapi sudah mbrosot jauh (sangat drastis turunnya, Red). Penyebab terpuruknya pasar batu akik tersebut, menurut lelaki yang namanya populer gara-gara batu akik ini, adalah daya beli masyarakat yang anjlok. ’’Karena daya beli anjlok, sampai sekarang pasar mbrosot jauh. Pelanggan dari kota lain, bahkan dari luar negeri, dulu banyak. Tapi sekarang tidak ada,’’ ungkap Pak Timbul tak bergairah.

Krismon
Parto Wiyono sebagai pegadang batu akik dan Pak Timbul sebagai perajin batu akik yang sama-sama menggeluti batu akik sejak tahun 1960-an, memiliki pandangan yang sama tentang penyebab terpuruknya dayabeli masyarakat yang mengakibatkan hancurnya pasar batu akik sekarang ini. Menurut mereka, penyebabnya adalah krisis moneter (krismon) di tahun 1990-an. Daya beli yang rendah itu merupakan akibat dari krismon sejak tahun 1990-an itu.

’’Batu akik termasuk barang kesenangan, bukan kebutuhan pokok. Sialnya, sebagai barang kesenangan, batu akik tidak seperti emas. Kalau sudah dibeli, batu akik tidak bisa dijual lagi. Dijual lagi bisa, tapi jarang ada yang mau membeli. Beda dengan emas,’’ kata Parto Wiyono.

Karena 'hanya' barang kesenangan, kata dia, saat ekonomi sulit, orang memilih menahan diri untuk membeli akik. Barang-barang kebutuhan pokok tentu lebih diutamakan. Terlebih, sejak krismon, banyak orang yang terpaksa kehilangan sumber pendapatan karena jadi korban PHK.

Meskipun pasar batu akik saat ini memilukan, tidak seperti beberapa penggelut batu akik lain yang meninggalkan batu akik, Parto Wiyono dan Pak Timbul tetap bertahan di bisnis batu akik. Parto Wiyono tetap setia dengan toko batu akiknya, Pak Timbul tetap menghasilkan produk-produk kerajinan batu akik. Keduanya berharap batu akik bisa seperti pada masa jayanya.

Dulu waktu ramai, Parto Wiyono memasarkan batu akik sampai beberapa kota di Jawa Tengah. Sementara Pak Timbul mengaku, sebagai perajin, di masa kejayaan batu akik dulu dirinya sampai kewalahan memenuhi permintaan yang datang tak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Korea, Arab, Taiwan, dan Australia.

Akankah saat-saat manis itu terulang di waktu-waktu mendatang sehingga bisa kembali menggairahkan perajin batu akik di Desa Sukodono dan Desa Gendaran, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur? Semoga! [KUS/PUR]

Usaha Jenang Syabun di Tulungagung

Pasar Bagus, Untung Bagus, Modal Kurang

Kesulitan mengembangkan usaha dialami oleh pasangan Asro’i dan Siti Fathonah, pemilik usaha rumahan jenang syabun di Kabupaten Tulungagung. Bagaimana tidak? Pasar bagus, untungnya juga lumayan. Tapi sayangnya, mereka kesulitan modal.


Diakui oleh Siti Fathonah, selain bulan puasa dan saat-saat sekolah libur, pasar penganan berbahan utama beras ketan, gula, dan kelapa tersebut sangat bagus dan cukup stabil. Sehingga, menurut dia, usaha itu sebetulnya bisa dijadikan sumber penghasilan yang bisa diandalkan.

Pasar terbaik bagi produk jenang syabun adalah saat-saat menjelang lebaran, saat ada pertunjukan di daerah sekitar, atau saat musim hajatan. Di waktu-waktu itu, menurut Fathonah, pemesan atau pembeli jenang syabun sangat banyak.

Untung yang didapat dari jenang syabun juga lumayan. Selama ini, untuk sekali membuat jenang syabun, Fathonah menghabiskan beras ketan sebanyak 10 kg dan 35 kelapa. Dari 10 kg beras ketan itu, jika habis terjual semua, keuntungan yang diperoleh sebanyak Rp 762.500.

Bahan sebanyak 10 kg beras ketan itu, dijelaskan Fathonah, jadi sebanyak 2.000 biji jenang syabun. Jenang syabun produk Asro’i dan Fathonah selain dijual sendiri ke konsumen langsung, juga sebagian dititipkan ke toko-toko terdekat. Jenang dijual dalam bentuk kemasan. Tiap kemasan berisi 8 biji jenang dan oleh keluarga itu satu kemasan dijual seharga Rp 4.250. ’’Nanti, di toko, satu kemasnya dijual Rp 4.500 – Rp 5.000,’’ kata Fathonah.

Ibu dari 6 orang anak itu mengaku, dirinya sering kebingungan sendiri saat menghadapi banyak pesanan. ’’Kami bingung bukan apa-apa. Tapi karena tak punya modal untuk memenuhi pesanan-pesanan itu. Soalnya, hasil selama ini, ya untuk makan sehari-hari. Padahal sebetulnya, untuk sekali buat jenang, dengan bahan 10 kg ketan, modalnya nggak banyak. Hanya Rp 300.000. Itu sudah komplit,’’ kata Fathonah yang mengaku menjalankan usaha itu sudah turun-temurun.

Pinjaman Modal
Jenang syabun rasanya manis. Kalau digigit atau dikunyah, layaknya jenang, ia agak a lot. Jenang ini, kata Fathonah, disukai anak-anak. Banyak juga yang membeli untuk oleh-oleh. Di tempat-tempat hajatan dan saat lebaran, jenang ini disuguhkan kepada tamu bersama kue-kue jenis lain.

Ya, pasar jenang syabun termasuk bagus. Buktinya, baru melayani permintaan di sekitar tempat tinggalnya saja, Fathonah dan suaminya sudah kewalahan.

Fathonah mengatakan, kalau ada yang memberikan pinjaman modal, itu sangat bagus. ’’Kalau ada yang meminjami, bagusnya menjelang lebaran. Saat itu, banyak pesanan. Kalau ada modalnya, buat jenang bisa sampai satu kuintal beras ketan dalam sehari. Bener lho, Mas, ini. Tapi itu kalau ada dananya itu tadi,’’ ungkap Fathonah tertawa.

Untuk saat ini, kata dia, boro-boro masak 1 kuintal ketan tiap hari. Bisa bertahan sekali masak 10 kg ketan saja perhari, itu sudah bagus. ’’Habis gimana? Anak yang besar sudah SMA, adiknya SMP, semua butuh biaya, sedang jenang syabun inilah sumber penghasilan kami satu-satunya,’’ ungkap warga Desa Sembung tersebut.

Itulah sebabnya Fathonah merasa kesulitan untuk mengembangkan usahanya itu. Kini, bersama sang suami dan dibantu oleh anak-anaknya, Fathonah hanya bisa berusaha untuk bertahan bagaimana bisa tetap berproduksi seperti biasanya, yakni 10 kg beras ketan sekali masak. [KUS & PUR]

Sabtu, 10 Oktober 2009

Mujari: dari Truk ke Beras-Kencur

Mujari benar-benar telah melakukan banting stir! Merasa gak cukup hidup dengan menjadi sopir, ia lalu berhenti nyopir dan banting stir ke usaha bikin jamu segar: beras-kencur.

Minuman segar sekaligus jamu itulah yang ditawarkan Mujari [40] Warga RT 13 Kelurahan Kelutan, Kecamatan Kota, Kabupaten Trenggalek. Sebelum mennggeluti usaha ini Mujari berkerja sebagai sopir truk sedangkan istrinya Sri Utami [45] mencoba membuka mracangan di teras rumahnya. Dengan semakin banyaknya armada baru, persaingan semakin ketat dan Mujari memutuskan untuk berhenti sebagai pengemudi karena pendapatannya sudah tidak bisa untuk menutup kebutuhan keluarganya.

Satu bulan berhenti Mujari mencoba membuka usaha sendiri. Pilihannya jatuh pada produk minuman jamu beras kencur. Hal ini dengan pertimbangan bahan baku yang mudah diperoleh serta proses pembuatanya tidak terlalu sulit.

Tahun 2000 Mujari mulai memroduksi minuman ini. Modal Rp1,5 juta dari hasil penjualan dagangan istrinya yang saat itu juga diputuskan untuk tutup, ia belikan satu buah mesin giling dan sisanya untuk pembelian bahan baku dan beberapa peralatan pendukung.

Model Titip
Bersama istrinya Mujari mencoba membuat sebanyak 50 botol jamu beras kencur yang masing-masing berukuran 600 ml. Produk awal ini ia jual secara keliling, dan ternyata dalam satu hari habis terjual. Melihat sambutan konsumen cukup baik, kapasitas produksinya pun ditingkatkan. Selain di jual sendiri di wilayah kota juga di titipkan pada warung-warung yan ada. Dengan model penjualan seperti ini pada tahun pertama rata-rata dalam satu hari bisa laku 100 botol.

Minuman beras kencur ini hanya bisa tahan satu hari karena tidak di beri bahan pengawaet apapun dan cara pembuatannya dengan cara tradisional. Adapun resep pembuatannya menurut Mujari adalah, untuk membuat 30 liter jamu di perlukan bahan: 1 kg kencur, 0,5 kg beras ,0,5 kg jeruk nipis 0,5 kg asam jawa, dan 2 kg gula pasir serta 1 kg gula merah.

Semua bahan tersebut dicuci bersih kecuali gula, untuk kencur dihilangkan kulit arinya sedang jeruk nipis cukup diambil airnya saja. Setelah beras dan kencur digiling sampai halus lantas diperas dengan menggunakan yang telah direbus dan didiamkan selama 12 jam. Setelah itu di masukkan asam, gula pasir dan gula merah yang telah dihancurkan kemudian diaduk sampai rata bila ukuran air belum mencapai 30 liter bisa ditambahkan air masak sampai mencapai ukuran tersebut.

Kemudian air perasan tersebut disaring menngunakan kain kasa yang halus, selesai disaring kemudian didiamkan selama 1 jam lantas jamu telah siap dikemas dalam botol dan siap di edarkan. Untuk kemasan ia memakai botol bekas air mineral dan setiap buahnya ia beli seharga Rp 150. pemasok kemasannya kebanyakan dari hotel-hotel yang berada di wilayah Trenggalek Tulungagung dan Kediri.

Saat ini Mujari memiliki 5 orang karyawan, dengan waktu kerja selama 3 jam serta upah Rp 2500/jam. Pada musim penghujan sehari mampu menjual 200 botol, dengan harga jual Rp 800 per botol, bila musim kemarau ia bisa menjual sampai 600 botol ukuran 600 ml.

Pasar utama jamu beras kencur produksi mujari ini masih dalam lingkup Kabupaten Trenggalek saja dan saat ini telah memiliki pembeli sekaligus padagang tetap yang siap mengedarkan jamunya yaitu para pedagang sayur keliling [ethek] yang jangkauannya sampai ke pelosok desa.

Selain Beras kencur Mujari mulai mencoba meramu jamu untuk penghilang bau badan yaitu sirih-kunci, namun saat ini masih dalam tahap perkenalan dan penjajagan pasar.

Kendala utama produk jamu ini adalah soal musim. ’’Bila musim hujan seperti ini omzet penjualan jamu saya turun dratis. Namun, saat kemarau tiba merupakan musim rezeki bagi saya,’’ tutur Mujari.

Omzet per bulan dari usaha minuman sekaligus jamu ini bila dihitung pada musim penghujan mencapai 6.000 botol dengan nilai nominal Rp 4.800.000. Setelah dikurangi bahan baku dan biaya produksi Mujari masih memperoleh untung sebesar Rp 900.000. Namun, pada musim kemarau omset penjualan mencapai 600 botol /hari atau 18. 000 botol setiap bulan maka akan memperoleh pendapatan sebesar 18.000 x Rp 800 = Rp 14.400.000, dan setelah dikurangi pembelian bahan baku dan biaya produksi masih memperoleh untung sebesar Rp 4.400.000.

Lumayan, kan? [PUR]

Pasang Iklan di Koran untuk Menipu Calon Tenaga Kerja

Waspadalah terhadap calo tenaga kerja. Iklan yang dipasang di koran bisa jadi adalah jaring yang sengaja dipasang untuk melakukan penipuan. Kini, orang makin pintar melakukan penyamaran untuk menjerat calon korbannya. Apalagi, jika calon mangsanya orang-orang desa yang lugu dan sangat membutuhkan pekerjaan. Salah perhitungan sedikit saja, bukan pekerjaan yang didapat, tapi justru kerugian.

Darmiasih [23], misalnya. Akhir tahun 2006 lalu, warga Desa Bodar, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur ini, terkecoh sebuah iklan di media massa. Isinya, perusahaan penyalur jasa tenaga kerja PT Karya Manunggal Jati [KMJ] Jl Jabaran, Kecamatan Belongbendo, Sidoarjo membutuhkan tenaga muda untuk disalurkan ke sebuah perusahaan yang membutuhkan. Untuk kepentingan tersebut, pencari kerja cukup menghubungi telepone Drs Andreas P Tampubolon, dan menyerahkan biaya Rp 900 ribu.

Karena tertarik dan memang butuh pekerjaan, Darmiasih pun mengontak nomor telepone yang tertera dalam iklan tersebut. Dari sana, dilakukan kesepakatan untuk melakukan pertemuan sekaligus menyerahkan uang sebagai syaratnya. Darmiasih yang tidak mengecek langsung alamat perusahaan itu, telah masuk perangkap.

Di Warung
Apalagi, Andreas meminta pertemuan dan penyerahan uang dilakukan di kantor KMJ, di Balongbendo. Darmisih pun makin terbimbang untuk segera mendapatkan pekerjaan. Namun, sesampai di depan kantor KMJ, calon korban diajak ke sebuah warung di dekat perusahaan tersebut, dengan alasan kantor sedang ramai.

Darmiasih tidak curiga. Pakaian Andreas rapi, dan layaknya pegawai kantoran. Bicaranya meyakinkan. kendaraan yang dipakai pun Suzuki APV. Dan, di warung itulah penyerahan uang Rp 900 ribu serta pendataan diri dilakukan. Dijanjikan, dalam sebulan akan mendapatkan panggilan.

Tetapi, setelah ditunggu-tunggu, tidak ada surat yang datang ke rumah, sehingga membuatnya Darmiasih cemas. Maka, keberanian untuk bertanya pun muncul dengan mendatangi kantor KMJ, di Balongbendo, untuk mencari Andreas, dan menanyakan janjinya.

Hasilnya, KMJ yang terletak 100 meter dari Markas Kepolisian Sektor [Mapolsek] Balongbendo itu memang perusahaan pengerah jasa tenaga kerja, tetapi tidak memiliki karyawan bernama Andreas P Tampubolon, dan tidak pernah menarik uang sebagaimana ada dalam iklan. Darmiasih sadar bahwa dia tertipu. PT KMJ sendiri, merasa namanya tercoreng, sebab komplain seperti itu bukan baru sekali diterima. Maka, perusahaan menurunkan tim untuk melakukan pelacakan.

Syukurlah, dari hasil pelacakan tim KMJ, identitas dan alamat Andreas bisa terkuak. Sehingga, kasus ini pun dilaporkan ke Mapolsek Balongbendo, Kepolisian Resorr Sidoarjo. Tersangka, kemudian ditangkap di rumahnya, di Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Balongbendo.

Guru Honorer
’’Tersangka saat ini kami tahan. Kami memiliki bukti-bukti yang cukup atas pelanggaran pidana yang dilakukan tersangka. Dan ternyata, korban bukan hanya Darmiasih, tetapi juga ada dua korban lagi yang sudah kami periksa untuk memperkuat sangkaan kepada tersangka,’’ kata Kepala Polsek Balongbendo, AKP Cipto.

Dua korban yang dimaksud, adalah Sri Hartini [24], warga Desa Kwagen, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, dan Agus Tiorini [24], warga Desa Karangreji Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulunggagung. ’’Dua korban ini sama-sama tertipu dengan cara yang sama, dan sudah menyerahkan uang masing-masing Rp 900 ribu kepada tersangka.’’

Dari hasil pemeriksaan, polisi mendapatkan pengakuan tersangka, ternyata dia bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah di Krian. Dan diduga karena ingin cepat kaya dengan jalan pintas, maka cara itu yang dilakukan, meski merugikan orang lain.

Kepada masyarakat khususnya pencari pekerjaan, AKP Cipto menyarankan agar tidak mudah percaya dengan iklan yang bertujuan untuk menipu. Caranya, dengan mengecek atau mendatangi langsung perusahaan yang dimaksud. Dan menannyakan kepada petugas yang ada. ’’Korban dari tersangka ini, juga banyak tetapi ada di luar daerah,’’ katanya.

Polisi, juga mencium adanya korban lain, dengan modus serupa. Namun, kasusnya tidak bisa diproses di Balongbendo, karena kasusnya terjadi di luar daerah. [YUN]

Menyambung Hidup dengan Tali


Hidup sebagai tukang becak ternyata hanya bisa serba pas-pasan. Merasa kualitas kehidupannya sebagai tukang becak tak makin membaik, Dasuki lalu menjual dua buah becaknya dan banting setir ke bisnis pembuatan [memintal] tali dari rafia.

Dasuki [44] ayah tiga anak dari hasil perkawinannya dengan Marini [38] warga Desa Sumberdadi, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, menekuni usaha pembuatan tali tambang dari bahan tali rafia. Konsumen utama dari hasil dari produk ini adalah peternak sapi dan kambing

Usaha pembuatan tali ini dirintis sejak 1983. Sebelumnya, Dasuki bekerja sebagai penarik becak. Pendapatan dari hasil menarik becak ternyata hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Setelah dia pikir-pikir, menarik becak tidak akan bisa meningkatkan taraf hidup keluarganya. Maka, Dasuki lalu menjual 2 buah becaknya, dan laku Rp 400.000.

Dengan modal Rp 400.000 itulah, Dasuki memulai usahanya. Mula-mula banyak kendala, baik dari segi pembuatannya karena dikerjakan secara manual, dan apalagi pemasarannya .
Setelah berjalan sekitar 2 tahun hasil produksinya mulai bisa merebut hati dan bisa diterima oleh konsumennya. Lalu Dasuki bisa beli motor untuk memperlancar dalam pemasarannya, karena sebelumnya untuk memasarkan hasil produksinya ia mengandalkan sepeda.

Tambah Modal
Kemudian muncul permasalahan modal. Untuk mengembangkan dan meningkatkan kapasitas produksinya ternyata perlu tambahan modal satu-satunya cara bagi Dasuki adalah meminjam uang dengan jaminan BPKB kendaraannya.

Saat ini kapasitas produksinya mencapai 300 kodi setiap bulan. Dalam 1 kodi berisi 20 tali dengan panjang masing-masing 3 meter. Maka, kalau dihitung panjangnya, dalam sebulan Dasuki mampu memintal rafia menjadi tambang sepanjang 300 x 20 x 3 = 18.000 meter. Itu menghabiskan bahan baku tali rafia sebanyak 5 kuintal.

Biaya yang dikeluarkan setiap bulannya untuk menghasilkan 300 kodi sebesar Rp 3.600.000; dengan rincian harga rafia saat ini Rp 720.000 per kuintal. Adapun harga jual tambang plastik ini setiap kodi Rp18.000. Keuntungan yang bisa dipetik dalam sebulan adalah Rp 18.000 x 300 = Rp 5.400.000 - Rp 3.600.000 = Rp 1.800.000.

Libatkan Anak dan Istri
Semua anggota keluarga Dasuki [istri dan kedua anaknya], ikut terlibat di dalam pekerjaan ini. Hanya pada saat-saat permintaan meningkat, yakni 1 sampai 3 bulan sebelum Hari Raya Idul Adha diperlukan tenaga tambahan.

Sebenarnya kegiatan memintal tali rafia menjadi sebuah tambang ternyata tidak terlalu sulit, karena ada mesinnya. Mesin itu dibuat sendiri dengan memodifikasi pompa air, yakni diambil dinamonya, kemudian ujung as dinamo tempat mengaitkan tali rafia.

Bila tali telah dikaitkan pada sebatang kayu dan ujung yang lainnya dikaitkan pada dinamo, kemudian dinamo dihidupkan, maka tali tersebut secara otomatis akan memelintir mengikuti putaran dinamo, dan akan memintal menjadi sebuah tambang. Keuntungan lain penggunaan alat ini adalah memudahkan pemintal untuk membuat panjang pendek pintalan.

Untuk pemasarannya selain telah memiliki langganan pedagang tetap Dasuki juga memasarkan sendiri terutama ke pasar-pasar hewan. Saat ini selain di wilayah Tulungagung, jangkauan pasarnya telah mencapai Ponorogo, Madiun, Trenggalek, Kediri, dan Blitar. [PURWO SANTOSA]

Tanam Tanpa Tanah, Bertahan 6 Tahun

Terbatasnya lahan pertanian atau tanah bukan lagi menjadi satu kendala untuk bisa bercocok tanam. Karena saat ini sudah ditemukan cara bertanam tanpa menggunakan media tanah, yaitu dengan menggunakan system tanam hydrphonik.

Mungkin sistem tanam ini masih sangat baru bagi kebanyakan orang Indonesia, apalagi sistem hidrophonik dengan menggunakan water storing crystals [kristal penyimpan air], kristal atau gel yang terbuat dari rumput laut.

Crystal ini berasal dari Jepang dan baru dipopulerkan di Indonesia sekitar enam bulan yang lalu, Delon Collection adalah satu-satunya agen wilayah Surabaya.

Meski masih baru, ternyata bisnis ini sangat menggiurkan dan berprospek. Sisi menarik yang ditawarkan dalam usaha ini adalah keunikan kristal sehingga menarik minat pembeli yang tidak memiliki lahan luas untuk bercocok tanam.

Kristal itu sangat menarik karena berwarna-warni. Ada sekitar sembilan warna yang tersedia. Merah tua, merah muda, kuning, biru putih, hijau, oranye, ungu, dan coklat. Semua warna tersebut tidak dari bahan kimia, akan tetapi diambil dari pewarna alami. Dan hal ini menjadikan media tanam ini tampak begitu indah bila dipajang di rumah.

’’Sebenarnya dua tahun yang lalu sudah ada yang memopulerkan gel ini di Indonesia, akan tetapi itu adalah gel yang palsu,’’ terang Novan pemilik Dellon Collection di Royal Plaza.
Bermodalkan pengetahuan yang cukup dengan modal Rp 7 juta Novan mengembangkan usaha ini.

Menurutnya, gel yang ketika ditekan masih terasa lembek adalah yang palsu, sedang yang asli teksturnya sangat keras dan tidak lembek.

Dengan gel ini, bertanam akan menjadi sesuatu yang tidak memakan waktu lama dan tidak merepotkan. Karena kristal ini terbuat dari rumput laut yang sudah mengandung nutrisi atau hara yang sangat dibutuhkan tanaman.

Untuk menggunakannya, kristal tersebut harus direndam dengan air mineral selama empat jam. Setelah itu ditiriskan dan diangin-anginkan di atas kertas koran atau kertas merang, hingga permukaan gel menjadi kering. Baru kemudian gel tersebut bisa digunakan untuk media tanam. Dan tanaman siap ditanam setelah terlebih dulu dicelup dengan air dan dibersihkan dari tanah.

Keunggulan dari penanaman dengan gel ini banyak sekali, karena tanpa tanah, maka tidak kotor dan bisa diletakkan dimana pun, tidak butuh disiram, gel bisa bertahan sampai enam tahun, dan yang pasti ramah lingkungan. Hanya yang perlu diperhatikan, tanaman dengan menggunakan media ini tidak memerlukan sinar matahari lagi untuk melakukan fotosintetis, karena nutrisi yang diperlukan sudah tersedia. Bahkan medianya akan kering ketika terkena sinar matahari langsung. Gel atau kristal ini dijual antara Rp 25 - 50 ribu per pot-nya.

’’Karena produk ini masih baru, saya juga masih mencari agen untuk seluruh Indonesia,’’ tambahnya.

Syaratnya bermodalkan Rp 2,5 juta Novan akan memberikan produk-produk gel 9 warna lengkap dengan pembelajaran bagaimana cara menggunakan dan merawat kristal dan tanamannya. [KD]

jenis usaha: crsystal hidroponik
modal awal: Rp 2,5 juta
omzet per minggu: Rp 300.000 – Rp 400.000
pemasaran: mencari agen sebanyak-banyaknya

Jumat, 09 Oktober 2009

Ting-ting Jahe di Trengalek

Sekitar 10 pembuat jajanan ting-ting jahe buka usaha setelah dapat pelatihan dari Dinas Perindustrian Kabupaten. Tapi, di Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek, kini tinggal bertahan seorang saja: yang telaten, yang bertahan, yang menuai hasilnya!

Bentuknya berupa gulungan pipih, warnanya coklat dan rasanya manis pedas. Inilah makanan ringan buatan Kateni (40) warga Desa Joho, Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek. Namanya: ting-ting jahe. Bahan utamanya: jahe, gula, kelapa, dan wijen.

Kateni mulai mengawali usaha ting ting jahenya ini sejak 2003. ’’Sebenarnya usaha ini yang memulai adalah istri saya Dasih(35) dengan mencoba membuat ting-ting dari 5 Kg gula pasir beberapa butir kelapa serta jahe. Saya sendiri awalnya adalah sopir truk, kemudian saya memutuskan berhenti menjadi Sopir lantas sampai sekarang saya membantu istri menekuni usaha ini”. Ujar Kateni.

Ketrampilan membuat ting-ting jahe ini merupakan hasil dari pelatihan yang dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian Kabupaten Trenggalek. ’’Awalnya yang memroduksi ting-ting jahe ini ada sekitar 10 orang termasuk istri saya, dan mereka rata-rata yang pernah mengikuti pelatihan. Namun, saat ini yang bertahan tinggal saya, yang lain kelihatannya tidak telaten,’’ tutur Kateni.

Saat ini dengan dibantu seorang karyawan dalam 1 minggu bisa menghabiskan 50 kg bahan baku dan menghasilkan sekitar 700 bungkus dalam dua ukuran, yaitu ukuran ¼ kg dan ukuran kecil satu kemasan berisi 7 biji.

Harga jual ting-ting jahe ini untuk kemasan ¼ kg Rp 6000, ini merupakan kualitas A ukurannya-pun seragam sedangkan untuk kemasan kecil berisi 6 biji yang merupakan hasil sisa atau potongan dari kualitas A dijual dengan harga Rp 1.000.

Dari hasil menjual 700 bungkus ting-ting jahe setelah dikurangi pembelian bahan baku dan ongkos produksi Kateni memperoleh laba bersih tidak kurang dari Rp 350.000.
Pemasarannya dilakukan sendiri oleh istrinya awalnya dilakukan dengan cara dititipkan pada toko-toko di wilayah Kecamatan Pule. Jangkauan pasarnya saat ini masih sebatas Kabupaten Trenggalek dan ada sebagian pelanggan dari Ponorogo. Biasanya pedagang langganannya langsung memesan sendiri dan mengambilnya sendiri, demikian pula halnya pembeli perorangan.

’’Seperti saat ini, karena menjelang hari raya rata-rata pedagang langganan saya memesan lebih banyak dari biasanya, dan pesanan dari perorangan pun cukup banyak hingga saya sempat kewalahan memenuhinya,’’ ujarnya.
Para pemesan biasanya menitipkan uang sebagai panjar terlebih dahulu. ’’Biasanya pesanan banyak datang saat musim hajatan dan menjelang hari raya. Seandainya harga bahan baku tidak mengalami kenaikan untungnya ya cukup lumayan,’’ kata Kateni lagi.

Bila saat hari hari biasa produksinya rata-rata 700 bungkus setiap minggunya, namun saat menjelang hari raya dan musim hajatan produksinya bisa mencapai 2.000 bungkus setiap minggunya atau paling tidak 6.000 bungkus sebulan dengan penghasilan bisa mencapai Rp 3 juta sebulannya.

’’Kendala utama usaha ting-ting jahe ini adalah harga bahan baku yang sering mengalami kenaikan, seperti saat ini harga kelapa yang biasanya Rp 750, menjadi Rp 2.000/buah. Gula, jahe dan wijen juga ikut naik. Namun, untuk harga jualnya saya usahakan tetap. Hal ini saya lakukan sebagai upaya mengikat pelanggan. Mengenai pasar relatif tidak ada masalah justru setiap bulannya selalu mengalami peningkatan permintaan”. Ujar Kateni.

Untuk ke depannya Kateni memimpikan ting-ting jahe produksinya bisa menembus pasar kota, utamanya tidak lagi hanya sebatas konsumen kelas bawah tapi bisa menembus kalangan menengah. Untuk itu memang banyak yang harus dibenahi. Mulai dari kualitas, kemasan, ragam atau tampilan fisiknya. Dan satu hal yang tak kalah pentingnya adalah jaminan bahwa produk tersebut aman untuk dikonsumsi. [PUR]

Proses Pembuatan Marning

Membuat marning sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit. Berikut ini langkah-langkahnya:

[1] Mula-mula jagung pipilan yang sudah kering dibersihkan dari kotoran, kemudian direndam selama semalam.

[2] Jagung direbus selama 1 - 2 jam, atau setelah ada butiran jagung banyak yang merekah barulah jagung diangkat. Saat perebusan, bubuhkan sedikit garam atau bumbu.

[3] Jagung diangkat dan ditiriskan, setelah dingin sebaiknya dicuci dengan air bersih sambil dihilangkan angkup- (kulit ari)-nya.

[4] Pengeringan. Kunci utama supaya marning rasanya enak dan renyah sebetulnya adalah pada proses pengeringan/penjemuran. Waktu menjemur harus telaten membolak-mbalik butiran jagung sehingga keringnya bisa merata. Ujar Catur.

[5] Butiran jagung rebus yang telah kering siap digoreng. Saat penggorengan nyala api harus stabil supaya marning bisa masak dengan merata. Bila jagung tidak betul-betul kering hasilnya marning banyak yang menjadi keras, jadi tingkat kekeringannya-pun nantinya sangat menentukan kualitas marning. ’’Saya sendiri kalau menjemur marning biasanya sampai 3 hari, sehingga hasilnya bisa maksimal, dan lagian bila jagung betul-betul kering, waktu penggorengan tidak terlalu banyak makan minyak,’’ utur Catur. [PUR]

Membuat Camilan, Marning

Catur(34) warga Jangglengan, Sidorejo, Ponorogo,menekni usaha pembuatan camilan berbahan dasar jagung: marning. Baru setahun berjalan, namun menurut Catur prospeknya cukup menjanjikan.

Sebetulnya Catur sendiri sudah cukup lama menggeluti usaha pembuatan marning ini. Sebelumnya ia merupakan karyawan salah satu produsen marning di daerah Serut Tulung agung yang merupakan daerah yang terkenal dengan industri kue keringnya.

Setelah Catur menikah dengan Yohana (25) gadis asal Sidorejo, Ponorogo, ia mencoba membuka usaha pembuatan marning sesuai keahlian yang dimiliki sebelumnya. Alhasil, baru setahun berjalan produksi dan pemasarannya mulai berjalan lancar.

Saat ini kapasitas produksi setiap minggunya 50 kg marning dan itu dikerjakan sendiri (hanya dibantu istrinya). Untuk membuat 50 kg marning dibutuhkan kurang lebih 55 kg jagung kering, sedangkan kebutuhan minyak gorengnya adalah 20 kg. Namun, setelah dibuat menggoreng 50 kg jagung masih tersisa 15 kg, jadi penyusutan minyak gorengnya hanya 5 kg saja.

Marning buatan Catur ini dijual dalam bentuk kemasan, masing-masing berisi 1 kg dijual dengan harga Rp 9.000; dan 0,5 ons dijual dengan harga Rp 500.

’’Selama ini permintaan yang paling banyak adalah untuk kemasan 0,5 ons, namun untuk kemasan 1 kg tetap masih saya pertahankan,’’ ujarnya.

Dari hasil penjualan marning itu Catur bisa memperoleh pemasukan hampir Rp 2 juta/bulan. Jika dikurangi biaya pembelian bahan baku jagung 200 kg x Rp 2000 = Rp 400.000, pembelian minyak goreng 50 kg x Rp 9000 = 450.000, dan biaya operasional maka Catur masih bisa memperoleh laba sekitar Rp 800.000/bulan.
Sebetulnya peluang untuk menambah kapasitas produksinya cukup besar. Namun, sementara ini Catur belum melakukannya.

’’Pemikiran untuk menambah jumlah pruduksi sebenarnya sudah ada. Tapi, saat ini belum saya lakukan, masalahnya saya masih berusaha untuk membentuk jaringan (pemasaran, Red) terlebih dahulu, baru setelah pasarnya tertata hal itu saya lakukan”. Katannya.

Masih menurut penuturan Catur, selama ini pembeli atau langganan tetapnya adalah warung atau kios dan toko-toko kue. Namun, ia melakukan strategi pemasaran dengan cara membatasi jumlah atau jatah setiap pelanggannya, biarpun setiap dia kirim selalu ada pelanggannya yang minta tambah. Namun ia selalu mengatakan bahwa barangnya sudah habis atau barang yang ada tinggal jatah untuk pelanngan lain.

’’Hal ini saya lakukan untuk mengukur sampai dimana marning produk saya diminati konsumen,’’ lanjutnya.

Pemasarannya dilakukan sendiri dengan menggunakan motor. Adapun wilayah pemasarannya masih sebatas Ponorogo dan Caruban. Untuk ke depannya Catur merasa yakin, bahwa dengan menjaga mutu marningnya bisa melebarkan sayap ke daerah lain.

Kendala utama produksi marning ini adalah bila saat musim hujan tiba. Permasalahan utamanya pada proses pengeringannya. Menurut Catur sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan cara di-oven. Namun, hasilnya tetap lebih bagus bila pengeringannya dilakukan dengan cara dijemur di bawah terik sinar matahari. [PUR]

Bisnis Ikan Hias

Lebih Bagus Punya Penangkaran Sendiri

Bisnis ikan hias bisa menjadi perkawinan yang indah antara hobi dan pekerjaan yang menguntungkan. Dan akan lebih menguntungkan lagi jika ada modal penangkaran sendiri, bukannya hanya mengandalkan: menjual ikan hasil kulakan –seperti yang dilakukan Abdullah Royid, seorang pedagang ikan hias di Trenggalek ini.


Usaha penangkaran maupun penjualan ikan hias sebenarnya bukan lahan usaha baru lagi. Dari tahun ke tahun, jumlah orang yang menekuni semakin bertambah. Dulu, para penggemar di wilayah Trenggalek hanya bisa mendapatkan ikan hias di Tulungagung atau bahkan harus ke Blitar yang merupakan sentra penangkaran berbagai jenis ikan. Kini tidak usah pergi jauh-jauh, sebab di Trenggalek sudah ada yang menjual atau menyediakan bermacam jenis ikan hias.

Abdulah Rosyid (42) bersama istrinya, Ribut Sayekti (26), warga RT 17, Desa Surondakan, Kecamatan Trenggalek (Jl. Pangeran Hidayatullah No: 19 A) kompak menekuni bisnis ikan hias ini.

’’Awalnya memang saya ini penggemar ikan hias. Seinggat saya, sejak SMP saya hoby banget sama ikan hias itu. Selain saya pelihara sendiri sebagian ikan milik saya sering saya jual ke sebatas teman atau tetangga yang tertarik untuk memilikinya,’’ ujar Rosyid. ’’Mengenai harga, saat itu tidak menjadi persoalan, yang penting bisa untuk membeli ikan yang baru, dan peluang untuk komersil belun terpikirkan,’’ lanjutnya.

Baru sekitar 1990 usaha untuk membisniskan ikan hias peliharaannya mulai dilakukan. ’’Mula-mula saya hanya memiliki satu kolam ukuran 2 x 3 m untuk menampung beberapa jenis ikan hias. Jumlah ikannya ya terbatas untuk melayani permintaan pembeli terutama anak-anak, dan hal itu berlangsung sekitar 10 tahun, karena baru tahun 2000 saya menambah modal untuk memperbesar kolam,’’ tuturnya.

Saat ini Rosyid telah memiliki 1 kolam ukuran 4 x 6 m dan 1 kolam ukuran 3 x 10 m yang di sekat-sekat menjadi 10 sekat. Modal yang dibenamkan untuk membuat kolam dan segala peralatannya mulai pompa air, pipa-pipa, filter, dan peralatan lainnya mencapai Rp 7,5 juta. Itu belum termasuk modal untuk mengisi stok ikannya.

Untuk mengisi kolamnya, seminggu sekali Rosyid membeli ke pelanggan tetapnya di Tulungagung. Sekali belannja rata-rata habis Rp 500.000; dengan membawa pulang bermacam jenis ikan hias yang telah siap untuk dijual kembali.

Mengenai pemasarannya Rosyid memilih segmen kalangan bawah, dengan menyediakan berbagai jenis ikan hias yang masuk kategori murah-meriah. Juga segmen anak-anak dengan pertimbangan harga yang terjangkau/murah dan bila terjadi kematian pada ikan-ikannya resiko ruginya tidak terlalu besar.

Adapun jenis ikan yang dijual antara lain meliputi; ikan cupang, ikan kura-kura, gupi, zebra, bendera, sumatra, nias, koi, koki, dan masih banyak lagi jenisnya. Dan semua itu diberi harga mulai dari Rp 100; sampai yang paling mahal Rp 15.000; tergantung dari jenis ikan dan besar kecil ikannya.

Dari hasil penjualan ikan hiasnya setiap harinya rata rata bisa memperoleh pemasukan antara Rp 150.000 sampai Rp 500.000. ’’Bila pembeli sadang sepi paling banter saya mendapat Rp 150.000, itu sudah bagus. Namun, bila sedang ramai yaitu pada hari Minggu atau pada bulan Agustus dan bulan Puasa saya bisa memperoleh pemasukan Rp 500.000; bahkan bisa lebih,’’ terang Rosyid.

Saat ditannya mengenai laba bersihnya Rosyid tidak bisa menjelaskan secara rinci. Setiap minggu ia kulakan ikan dan jumlah ikan yang terjual tidak dapat dihitung dengan pasti. Ia hanya bisa mengatakan bahwa dari hasil penjualan ikan hiasnya setelah dipotong biaya operasional dan biaya pakan yang setiap bulannya mencapai Rp 500.000; ia masih bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya serta setiap bulan bisa menyisihkan dana untuk ditabung tidak kurang dari Rp 500.000.

Kendala utama usaha ini adalah bila terjadi kematian masal pada ikan-ikannya. ’’Sudah seringkali saya mengalami kerugian akibat kematian ikan-ikan saya, dan bila saya melakukan pengaduan atau klaim terhadap penjual (pedagang tetap saya ) tidak pernah mendapat yang baik. Paling-paling dijawab, bahwa yang jelas waktu saya ambil ikan dalam kondisi sehat,’’ kata Rosyid. Lebih lanjut Rosyid menerangkan bahwa setelah dicermati kemungkinan besar terjadinya kematian terhadap ikan akibat perlakuan pada waktu panen di tingkat peternaknya.

Untuk mengatasi kendala tersebut Rosyid kini mulai berpikir untuk menangkarkan sendiri. Namun, perlu lahan dan modal yang tidak sedikit untuk itu. [PURWO]

Bisnis Pemancingan

Kalau Sepi, Bikin Lomba!

Orang bisnis itu mesti banyak ide, mesti banyak jurus simpanan. Dan, tampaknya, di bisnis pemancingan, menggelar lomba untuk mengatasi sepinya pemancing adalah jurus lumrah yang tetap andal.


Orang yang memiliki hobi memancing, biasanya akan mencari lokasi baik itu sungai, bendungan maupun laut yang sudah dapat dipastikan banyak ikannya. Penghobi, biasanya tidak peduli jauh dekatnya lokasi maupun biaya perjalanan, yang penting bisa memancing dan dapat ikan dan pada akhirnya dapat kepuasan.

Yang jeli menangkap peluang bagi para penghobi mancing tersebut salah satunya adalah Joko warga Sumbergedong yang mengusahakan kolam ikan sebagai arena pemancingan khususnya ikan lele, lokasinya terletak 100 m sebelah barat Terminal Bus Trenggalek.

Joko sendiri awalnya juga memiliki hobi memancing. ’’Saya sendiri kalau sedang kepengin memancing tidak peduli hujan atau panas pasti berangkat, bahkan sering saya lakukan mulai dari siang sampai malam hari. Maka saya hafal betul karakter dari pemancing baik yang sudah lama maupun bagi pemula,’’ tuturnya.

’’Sebenarnya, modal yang diperlukan untuk usaha pemancingan ini tidak terlalu besar asal memiliki lokasi atau lahan yang strategis cukup air, lokasi mudah dijangkau, luas kolam paling tidak 6 x 10 m. Semakin luas kolam pemancing akan semakin puas,’’ kata Joko.

Biaya yang dihabiskan untuk pembuatan kolamnya dengan ukuran 6 x 10 m bila menggunakan batu bata sekitar Rp 7,5 juta sedangkan kolam yang cukup dari tanah biayanya jauh lebih ringan. Paling-paling hanya biaya penggaliannya saja. Namun, bila lokasi yang akan dibuat kolam dekat dengan sumber air atau sungai lebih bagus cukup menggunakan kolam tanah.

Kolam yang digunakan Joko saat ini sebenarnya bukan kolamnya sendiri. ’’Kebetulan kolam yang saya gunakan ini milik orang yang dulunya dibuat untuk penggemukan lele dan pernah juga difungsikan sebagai arena pemancingan, mungkin karena suatu hal yang saya tidak tahu kolam ini nganggur dan kemudian saya sewa satu tahunnya Rp 1,5 juta,’’ tuturnya.

Bagi setiap pemancing yang ingin memancing dikenakan biaya Rp 10.000/pancing dan biasanya kebanyakan satu orang satu pancing. Lokasi pemancingan yang sudah setahun berjalan ini rata-rata setiap harinya dikunjungi 10 sampai 20 pemancing, dan ikan lele yang ditebar disesuaikan dengan jumlah pemancing, dengan asumsi hitungan 1 pemancing 1 kg ikan.

Pemasukan antara Rp 100.000 sampai Rp 200.000/hari. Maka, itunglah berapa keuntungannya bila pembelian lele Rp 6000/kg. Akan muncul angka antara Rp 40.000 sampai Rp 80.000, dan itu belum termasuk sisa ikan yang tidak terpancing. Padahal setiap sekali tebar paling banter yang terpancing sekitar 50-60 % -nya.

Kendala usaha pemancingan ini menurut Joko relatif tidak ada. Paling hanya saat-saat sepi pengunjung saja. Dan itu biasanya tertutup pada saat ramai yaitu bila hari Minggu atau hari libur serta pada bulan Puasa, kolamnya selalu dipenuhi oleh pemancing.

Joko sendiri kadang bila saat sepi pengunjung masih menyempatkan untuk memancing sendiri. Dan bila sedang ramai ia hanya menonton sambil mengawasi saja.

Kiat untuk mendatangkan pengunjung bila saat sepi maka Joko sering melakukan terobosan dengan cara mengadakan lomba memancing di kolamnya dengan iming-iming hadiah uang. Dan hal itu tampaknya menjadi salah satu resep supaya pemancingan tetap didatangi pengunjung. Dalam perlombaan tersebut Joko telah melakukan kalkulasi antara hadiah yang dikeluarkan dengan perkiraan jumlah peserta lomba yang jatuhnya nanti pada harga tiket setiap stiknya atau setiap pesertanya.

Jadi, biarpun mengeluarkan biaya untuk hadiah tetap saja Joko akan memperoleh untung. ’’Namanya usaha, Mas, bagaimana caranya yang penting kita tidak rugi dan ngunjung merasa puas,’’ terang Joko mengenai kiatnya. [PURWO]

Bisnis Minuman Sari Kedelai

Cara Membuatnya Gampang, Modal Kecil pun Oke

Tak usah dilabeli sebagai minuman kesehatan pun, menilik bahan dasarnya, orang akan tahu bahwa sari dhele (sari kedelai) kaya protein, vitamin, dan lain-lain yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Rasanya pun enak, dan karenanya sari dhele merupakan komoditas yang bagus.


Sekilas, kita akan sulit membedakan antara susu dan sari kedelai, karena warnanya persis sama. Kita baru bisa membedakannya setelah merasakannya. Sesuai dengan namanya, minuman kesehatan ini murni dibuat dari kedelai. Selama ini masyarakat sudah biasa mengkonsumsi kedelai dalam bentuk tempe ataupun tahu. Kedelai dikenal memiliki kandungan gizi yang tinggi antara lain kalsium, karbohidrat, fosfor, zat besi, vitamin A, B komplek, air dan terutama lesitin.

Lesitin diketehui memiliki keampuhan untuk menggelontor timbunan kolesterol dalam darah dan jaringan tubuh lainnya. Lesitin juga mampu membantu proses peremajaan, merontokkan jaringan tubuh yang sudah rusak dan mengganti dengan jaringan yang baru. Dengan kata lain, lesitin boleh dijuluki sebagai zat pengawet muda.

Kandungan lesitin sari kedelai jauh lebih tinggi dibanding dengan yang terdapat pada tahu atau tempe. Dari proses pembuatan sampai tahu atau tempe siap dikonsumsi banyak kandungan lesitin yang terbuang karena proses peragian maupun penggorengan.

Merebaknya produk minuman maupun makanan kesehatan ini sebenarnya sudah dimulai sejak sepuluh tahun terakhir baik yang pabrikan maupun yang skala rumahan.

Salah seorang yangmenekuni usaha pembuatan sekaligus menjual minuman sari kedelai ialah Joko (35) warga Plosokandang, Tulungagung. Setiap hari biasanya ia mangkal menjajakan minuman sari kedelai buatannya tepat di depan Terminal Bus Tulungagung.

’’Saya mulai jualan sari dele ini sejak tahun 2000 silam. Mengapa saya pilih sari dhele (sari kedelai, Red), karena biayanya ringan dan proses pembuatannya pun mudah. Juga, resiko kerugiannya kecil, bila tidak habis satu hari, dibuang pun tidak rugi. Hal ini disebabkan harga kedelai cukup murah dalam hitungan bila dibuat sari kedelai karena dengan laku tiga liter saja sudah bisa menutup biaya produksi,’’ ujarnya menjelaskan.

Setiap harinya Joko bisa menjual rata-rata 15 liter sari dhele. Dalam penyajiannya ke konsumen biasanya diberi tambahan gula dan sedikit susu kaleng dan es. ’’Dengan memberi sedikit susu maka aroma apek dari kedelai akan hilang. Apalagi bila ditambahkan es batu dan sirup,’’ tuturnya berpromosi.

Untuk menambah variasi rasa sebenarnya bisa dilakukan dengan menggunakan sirup dengan berbagai rasa buah. ’’Pembeli saya kebanyakan hanya minta dengan es dan sirup yang saya buat dari gula merah katanya lebih terasa khas dan rasa delenya masih terasa,’’ ujar Joko.

Dalam satu hari jualan mulai jam 9.00 pagi sampai jam 4.00 sore bila 15 liter sari kedelainya habis terjual ia dapat membawa pulang uang tidak kurang dari Rp 80 ribu. Setelah dipotong pembelian bahan baku 1 kg kedelai, 1 kaleng susu dan es batu serta biaya produksi, maka untung bersihnya sekitar Rp 60.000.

Kendala yang dialami selama ini menurut Joko relatif tidak ada hanya bila musim hujan saja konsumen sepi. ’’Memang awal-awalnya sering mengalami kendala sari dhele saya cepet basi, namun setelah ketemu rahasiannya tidak pernah lagi bahkan sampai sore pun sari dhele saya rasanya tetap segar. Sebetulnya kuncinya cukup sepele yaitu sari dhele jangan terlalu kental, supaya tidak cepat basi. Setiap 1 kg kedelai rata-rata harus dijadikan 12 sampai 15 liter sari dele,’’ ujarnya.

Dari hasil jualan sari dele ini Joko bisa memperoleh hasil rata-rata Rp 1,5 juta - Rp 1.8 juta/bulan. Dari pendapatan tersebut Joko cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan masih bisa menyisihkan untuk calon biaya sekolah Ahmad Riza (5) anak laki-lakinya yang saat ini baru duduk di bangku TK.

’’Obsesi saya adalah ingin memiliki kedai kusus minuman kesehatan dengan berbagai rasa dan kkhasiat,’’ katanya tentang apa yang kini diangankannya. [PURWO]

Membuat dan Menjual Aquarium

Menekan Harga sambil Menjaga Kualitas


Aquarium bisa jadi kebutuhan pokok bagi penggemar ikan hias. Di aquariumlah seluruh potensi keindahan ikan hias bisa dinikmati. Oleh karena itu, kebutuhan akan aquarium bergerak seiring dengan pasang-surutnya penggemar ikan hias.

Biasanya, orang tak mau ribet-ribet bikin aquarium sendiri. Hal itu menumbuhkan peluang yang antara lain ditangkap oleh Jumadi (36) warga Desa Banjar Anyar, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Berbekal ketrampilan membuat Aquarium yang diperoleh ketika ia bekerja pada salah satu produsen aquarium di Kediri, maka sejak Tahun 2000 Jumadi memberanikan diri membuka usaha produksi Aquarium. Usahanya diberi nama Mandala Aquarium.

Pada awal usahanya Suami dari Nurul (25) ini sudah dibantu dengan 3 orang karyawan. ’’Kebetulan saat itu lagi booming ikan hias jenis Lohan sehiungga pada awal-awal produksi saya sempat kewalahan melayani permintaan konsumen,’’ Jumadi menuturkan.

Aquarium produksi Jumadi ini bentuk fisiknya terdiri dari berbagai model kebanyakan sudah diberi variasi seperti joglo lengkap dengan pilar-pilarnya. Pilihan warnanyapun bermacam-macam.

Adapun ukurannya yang paling kecil adalah 25 cm x 50 cm sedang yang paling besar ukuran 100 cm x 45 cm, sedangkan tingginya disesuaikan dengan bentuk variasinya.

Saat ini dengan 3 orang karyawan Jumadi dalam sehari mampu menyelesaikan 10 buah aquarium, dengan berbagai model dan ukuran, bahkan pada saat banyak pesanan bisa digenjot sampai 15 buah.

Harga jual aquarium produsi Jumadi ini bila dilihat dari kwalitas dan modelnya terbilang tidak terlalu mahal. Untuk ukuran 25cm x 50 cm atau yang paling kecil ia lepas dengan harga Rp 55.000; sedangkan yang paling besar ia beri bandrol Rp 200.000;.

’’Memang sengaja saya buat harga yang terjangkau, hal ini dengan harapan bisa menarik konsumen dan produksi saya tetap laku di pasaran, tapi masalah mutu tetap menjadi prioritas,’’ tutur Jumadi. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa pendapatan dari setiap aquarium yang terjual setelah dipotong pembelian bahan baku dan upah karyawan berkisar antara Rp 20.000 - Rp 60.000.

Selama ini pemasaran aquariumnya kebanyakan berdasarkan permintaan pelanggan tetapnya yaitu pedagang dari wilayah Trenggalek, Ponorogo, Wlingi, Nganjuk, dan Madiun.

’’Sekitar dua tahun terakhir ini permintaan pasar cenderung menurun mungkin para penghoby ikan hias banyak yang lagi beralih pada jenis bunga hias yang lagi booming. Untungnya sejak dua bulan berjalan tepatnya mulai awal Agustus mulai ada pesanan yang masuk dan langsung saya kerjakan setelah selesai langsung saya kirim. Untuk pesanan pada bulan puasa ini telah saya kirimkan sebanyak 18 buahdari sekitar 40 buah pesanan yang telah masuk,’’ tutur Jumadi.

Kendala utama produk ini menurut Jumadi adalah dari segi pemasarannya. ’’Bila sedang sepi kadang satu bulan penuh tidak ada permintaan dari pelanggan , sehingga pemasukan tidak bisa kontinyu,’’ tuturnya.

Dari hasil usaha yang telah berjalan selama kurang lebih 7 Tahun ini Jumadi mampu membeli sebuah carry pickup yang digunakan sebagai armada dan membuat sebuah rumah.

’’Sebenarnya untuk saat ini penghasilan dari hasil penjualan aquarium yang saya produksi sekedar cukup uantuk menutup kebutuhan sehari-hari saja, masalahnya kondisi sekarang lagi lesu. Memang saat lagi ngetren-ngetrenyan ikan hias penghasilan saya terus terang cukup lumayan , semoga saja para pengemar ikan hias yang saat ini kelihatannya lagi beralih ke hobi lain bisa kembali ke hobi semula,’’ ungkap Jumadi. [PURWO]

’’Nikmati Pekerjaanmu!’’

Widya Katharina, Head of Marketing Division Fran’s Bakery

BEKERJA tanpa menikmati apa yang dikerjakan, tentu tak akan berbuah maksimal. Prinsip itulah yang selalu ditanamkan Widya Katharina pada bawahan dan rekan kerjanya di Fran’s Bakery.


Satu hal yang sering ditanyakan Widya pada rekan kerjanya adalah, apakah mereka sudah merasa nikmat di posisinya. Karena, bekerja dan tidak menikmatinya, kinerjanya pasti tak bisa optimal.

Untuk urusan yang satu ini, lulusan Blue Mountain Hotel Management Australia ini bahkan tak segan mencarikan posisi baru bagi karyawannya yang merasa tidak nyaman berada pada satu posisi. ’’Saya akan carikan tempat baru, kalau memang di divisi lama mereka merasa tidak nikmat,’’ kata wanita kelahiran 16 Maret 1975 ini.

Enjoy atau nikmat, kata istri Gan Huey Ming tak hanya berlaku pada diri sendiri. Perasaan nyaman bekerja, juga harus berlaku buat orang lain. Misalnya saja, saat menerima tamu. Karyawannya harus menyambut dan memberi respon positif, yang pada akhirnya membuat tamu jadi nyaman. ’’Ibaratnya, kalau kita mau diperlakukan baik oleh orang lain, ya kita harus memperlakukan mereka dengan baik,’’ tuturnya.

Hasilnya, banyak pekerja di Fran’s Bakery menjadi loyal pada perusahaan. Konkretnya, tak sedikit pegawai yang bekerja dengan masa kerja puluhan tahun. Ibu Kezia Abigail (5) dan kembar Philip Wicaksono (3), Philia Nadine (3) ini bergabung dengan Fran’s sejak tahun 1997. Ketika itu ia dipercaya oleh orang tuanya yang merupakan pendiri Fran’s Bakery yakni Boenarto dan Liliana, sebagai kepala toko Fran’s Gubeng. Lalu 1999 sampai sekarang, ia dipercaya sebagai Head of Marketing Division.

Meski perusahaan tempat ia bekerja adalah milik orang tua, namun tidak membuat Widya bersantai ria. Ia tetap bekerja secara profesional dan bertanggung jawab. Ia juga masuk kerja dan menerima gaji seperti pegawai lainnya. Bahkan, ketika hari Sabtu dan Minggu, ia minta waktu libur untuk keluarga, tetap saja terjadi negoisasi. ’’Tidak serta-merta dikabulkan. Saya tetap beri argumen, kenapa saya minta libur, di dua hari tersebut,’’ ujar Widya yang hobi membaca.

Bekerja dengan orang tua, bagi Widya memiliki nilai plus tersendiri. Ia jadi merasa lebih memiliki dan berkomitmen untuk mengembangkan usaha tersebut.

Satu hal lagi yang sering Widya lakukan pada stafnya adalah, selalu memberi waktu khusus untuk berkeluh kesah. Masalahnya bisa beragam. Tak harus masalah pekerjaan, soal pribadi atau keluarga pun, Widya mau meluangkan waktu. Bahkan, jika tak sempat bercerita di kantor, Widya selalu menitip pesan pada stafnya untuk SMS kalau ada masalah. ’’Karena kalau bicara telepon berjam-jam, tentu menghabiskan pulsa mereka. Biarlah saya yang aktif menghubungi mereka,’’ tegasnya.

Bagaimana dengan anak dan suami. Apa mereka tidak komplain tentang kesibukan dan bagi waktu dengan keluarga? ’’Ya saya masih terus berusaha menyeimbangkan antara karir dan keluarga. Tapi sebisa mungkin saya tak akan membawa masalah pekerjaan di rumah. Ketika di rumah, waktu saya benar-benar untuk keluarga,’’ tandasnya. [DEWI]

Ratih Sanggarwati

Dirikan Lembaga Pendidikan Ratih Sang (LPSR)

NAMA Ratih Sanggarwati, mulai dikenal publik tahun 80-an setelah memenangkan Putri Fotogenik pada pemilihan Putri Remaja Indonesia dan None Jakarta 1983. Dari acara tersebut, nama perempuan kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 8 Desember 1962 ini kemudian melambung. ’’Kesuksesan saya di karir berkat, kesungguhan saya dalam berkarir,’’ ujarnya saat ditemui di Surabaya.


Tak salah, jika kemudian sederet prestasi membanggakan akhirnya ia raih. Tak hanya skala nasional, pemilik tinggi/berat 172 cm/60 kg ini juga berani menjelajah pasar model internasional.

’’Bagi saya, dunia mode tak boleh dijalani dengan sekadarnya atau numpang lewat saja. Dunia ini harus dijalani sepenuh hati, bahkan kalau bisa mengalir dalam aliran darah,’’ ungkapnya.

Kini di usia yang tak lagi muda, Ratih tampaknya berharap terus menjalankan profesinya di dunia mode. Dan jalur yang dipilihnya adalah dengan mendirikan sebuah sekolah modeling dan pengembangan kepribadian yang diberi nama Lembaga Pendidikan Ratih Sanggarwati (LPRS) pada tahun 2005 di Jakarta. Disusul kota lain di Jogjakarta, Surabaya, dan Sidoarjo.
Sekolah yang ia dirikan, menyediakan berbagai macam fasilitas yang memang diperuntukkan bagi peragawati muslimah. Di antaranya mengenal etiket atau tata pergaulan Islami dan internasional, belajar tata busana, cara berkomunikasi, cara jalan di atas catwalk, pengembangan diri, kepercayaan diri, sampai make up untuk tampil di panggung. ’’Di luar semua itu, kita juga memberi materi pemahaman agama Islam,’’ ujar perempuan berjilbab ini.

Kini, Ratih memang jarang sekali tampil di panggung peragaan. Namun, kiprahnya tetap berkibar dengan berbagai aktivitas yang lebih mensyiarkan Islam. Tak hanya sebatas mendirikan sekolah model, Ratih juga meluncurkan beberapa buku yang mengupas masalah estetika penampilan dan cara berkerudung. Kelahiran buku ini didorong oleh asumsinya bahwa banyak perempuan muslim yang belum berani berkerudung lantaran takut tidak terlihat cantik lagi dan akan susah berkarir.

Ditemui seusai acara pemilihan Model Muslimah 2007 yang berlangsung di Balai Pemuda Surabaya, perempuan cantik yang murah senyum ini mengatakan, salah satu tujuannya mendirikan sekolah tersebut ialah ingin melihat para muslimah bisa tetap berbusana modis dan berkarir di dunia modeling.

Nomor Satu Keluarga
SEBAGAI perempuan karir, Ratih Sanggarwati atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ratih Sang, ternyata sangat memperhatikan kehidupan rumah tangganya. Di tengah kesibukan berbagai acara, wanita yang selalu tampil modis ini, berusaha tetap menjaga keharmonisan keluarganya. “Keluarga adalah segalanya,” ujarnya.

Misalnya, ketika pada siang hari ia harus berangkat mengisi sebuah workshop di Surabaya, paginya ia tetap mengantar anaknya ke sekolah. Meskipun jarak Surabaya ke Jakarta lumayan jauh, selama bisa langsung pulang-pergi, ia lebih memilih untuk kembali ke Jakarta pada sorenya. Padahal setelah mengisi workshop ia harus mengajar di lembaga pendidikannya di Sidoarjo. ’’Capek sih, tapi itu semua harus berjalan,’’ katanya.

Ketika malam hari, Ratih mengatakan, anaknya wajib melihat wajah orangtuanya sebelum tidur. Hal itu menurutnya sangat baik. Dan ia mencoba menerapkannya setiap hari.

Namun ketika ia harus mengisi acara yang mengharuskan menginap, kecanggihan teknologi menjadi jembatan untuk komunikasi dengan keluarga. Misalnya, ketika ia berangkat di wilayah Natuna yang tak memiliki rute penerbangan tiap hari ke Jakarta. ’’Ya, minimal kita coba berhubungan via telepon atau handphone. Jadi anak tak akan merasa kehilangan ibunya.’’

Mengenai peran perempuan karir, Ratih menganggap semua itu adalah sebuah ’sedekah’ bagi keluarga. Jika kita ’bersedekah’ dengan ikhlas pada keluarga, semua akan mendapat imbalan dari Sang Pencipta.

Untuk itu, ia selalu mencoba berkompromi dengan suaminya. Ketika si istri tak bisa mengantarkan anak ke sekolah, karena kesibukan, ya Bapaknya harus ikhlas mengantar. Atau ketika si perempuan karir, tak ada waktu untuk memasak, ya bagaimana caranya, bisa makan diluar bersama. ’’Selama itu bukan sebuah Big Deal, kan bisa dimusyawarahkan,’’ jelasnya.

Ratih juga mengatakan, mestinya para suami senang ketika si Istri mendapat penghasilan lebih. Apalagi jika kemudian penghasilan istri lebih banyak daripada suami. ’’Selama kita bijak tak ada masalah,’’ terang penyuka warna merah ini. [DEWI]

Kamis, 08 Oktober 2009

Desa Penghasil Kerupuk Sadariyah [3]

Bikin Kerupuk Sadariah Itu Gampang

Membuat kerupuk sadariah itu tidak susah, demikian kata Bu Umi, salah seorang produsen kerupuk sadariah di Desa Puhjajar, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Secara detail, Bu Umi menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan kerupuk sadariah, dari menyiapkan singkong hingga kerupuk siap jual.


Singkong yang dibeli dari pedagang, pertama-tama, dikupas, lalu singkong kupasan tersebut direndam dalam air selama satu hari. Setelah itu, singkong dihaluskan. Cara menghaluskannya dengan menggilingnya. Karena Bu Umi —juga kebanyakan pembuat kerupuk lainnya— tidak memiliki mesin giling atau mesin selep, untuk menghaluskan, singkong tersebut diongkoskan. Di desanya, ada pengusaha jasa penyelepan ini. Setelah diselep, dihasilkan tepung singkong.

Proses selanjutnya, tepung singkong diayak. Pengayakan tepung singkong ini dilakukan untuk membuang sontrotnya. Sebab, dari mesin selep, tepung singkong dan sontrotnya belum dipisahkan. Setelah diayak, tepung singkong benar-benar sudah terbebas dari kotoran berupa sontrot dan beberapa jenis kotoran lain jika ada, misalnya, kerikil.

Langkah selanjutnya, tepung singkong ditaburi garam yang sudah dihaluskan. Pembarian garam dilakukan supaya nanti kerupuknya tidak terasa tawar atau hambar. Dengan rasa asin dari garam, kerupuk sadariah akan terasa lebih guruh. Tak ada ukuran pasti untuk garam. Garam diberikan secukupnya, sesuai dengan selera.

Tepung singkong bergaram itu kemudian dimasak —didang, istilah Bu Umi— di atas tungku. Waktu yang diperlukan untuk memasak tidak lama. Menurut Bu Umi, kalau apinya tidak bagus, paling lama setengah jam.

Setelah didang, tepung singkong matang kemudian dipres —dicemet, istilah Bu Umi. Caranya, tepung singkong matang dimasukkan ke dalam karung plastik, kemudian dijepit. Ada alat penjepit tersendiri untuk mengepres tepung singkong matang ini. Pengepresan tersebut dilakukan untuk membuang air yang terdapat di dalamnya.

Pengepresan selesai, tepung dikeluarkan dari karung, lalu digelar di atas plastik yang dibentang di atas bidang datar. Supaya rata, penggelaran dikerjakan dengan bantuan antan, alat penumbuk yang permukaan bawahnya rata. Setelah rata, bagian permukaan (atas) bahan baku kerupuk sadariah tersebut diberi warna (umumnya merah). Pewarnanya adalah sumba. Caranya, sumba yang sudah dilarutkan dalam air dicatkan pada bagian atas bahan baku kerupuk tersebut dengan menggunakan kuas.

Bahan baku kerupuk lalu dipotong menjadi beberapa bagian. Selanjutnya, setiap potongan itu dilipat dengan bagian yang diberi sumba berada di dalam, kemudian ditumbuk dengan antan. Setelah itu, bahan baku dibentuk bulat memanjang. Jika sudah demikian, bahan baku letakkan di atas para-para selama 3 hari. Setelah itu, bahan baku barulah dirajang sesuai dengan ukuran kerupuk.

Rajangan bahan baku tersebut kemudian dijemur. Waktu yang diperlukan untuk menjemur kerupuk sadariah juga tidak lama. Jika hari cerah, matahari terik, 2 hingga 3 jam dijemur, kerupuk sudah kering. Jika sudah kering, kerupuk diangkat dari jemuran, lalu dikemas dalam plastik dan siap dijual. Jika ingin mengonsumsinya, kerupuk tersebut masih harus digoreng terlebih dahulu. [KUS]

Desa Penghasil Kerupuk Sadariyah [2]

Usaha kerupuk sadariah berkembang baik di Desa Puhjajar, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tak hanya karena pasarnya jelas. Ternyata ada faktor lain. Yakni, untungnya relatif gede!

Nahari, misalnya. Bagi lelaki ini, usaha kerupuk sadariah merupakan usaha ’warisan’ orangtuanya. Ia menjalankan usahanya bersama Supiah, istrinya. Bersama sang istri, Nahari mengaku setiap hari memroduksi kerupuk sadariah. Dapur sederhana di belakang rumahnya, selain untuk memasak, juga difungikan sebagai tempat usaha pembuatan kerupuk sadariah.

Per bulannya, dari kerupuk sadariah, Nahari menangguk keuntungan sebesar Rp 1.560.000 - Rp 2.880.000. Lumayan, bukan? Pendapatan sebesar itu, di Desa Puhjajar, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tergolong rendah.

Sebab, beberapa tetangganya mendapat keuntungan beberapa kali lipat lebih besar. Bu Umi, misalnya, yang sudah sekitar 15 tahun menjalankan usaha kerupuk sadariah bersama keluarganya. Keuntungan yang diperolehnya sebesar Rp 3.120.000 - Rp 5.760.000/bulan.

Pendapatan Nahari sekeluarga lebih kecil dari pendapatan Bu Umi sekeluarga karena Nahari sekeluarga hanya mampu mengolah singkong menjadi kerupuk sadariah sebanyak 4 kuintal singkong/hari, sedangkan Bu Umi sekeluarga mampu mengolah sebanyak 8 kuintal singkong/hari.

Bu Umi sekeluarga bisa memperoleh pendapatan lebih besar daripada keluarga Nahari karena jumlah anggota keluarganya lebih besar. Nahari hanya menjalankan usahanya dengan Supiah, istrinya, karena anaknya masih kecil. Sementara di keluarga Bu Umi, dua anaknya yang sudah besar bisa membantu kedua orangtuanya. Sementara itu, beberapa tetangga mereka ada yang bisa mengolah singkong menjadi kerupuk sadariah hingga hitungan ton singkong per hari. Tentu, pendapatannya lebih banyak lagi.

Kalkulasi
Menurut Nahari, singkong sebanyak 4 kuintal bisa jadi kerupuk sadariah sebanyak 25 - 28 bal atau sebanyak 1,25 - 1,40 kuintal. Satu bal berisi 5 kg kerupuk sadariah. Kerupuk-kerupuk itu kemudian dijual kepada pengepul atau anggota masyarakat yang membutuhkan. Kerupuk per bal atau per 5 kg diterima pengepul dari pembuatnya seharga Rp 14.500.

Dengan harga sebesar itu, Nahari yang sehari mampu memproduksi kerupuk dari 4 kuintal singkong, mendapat keuntungan sebesar Rp 52.000 - Rp 96.000/hari. Keuntungan sebesar itu didapat setelah pendapatan kotor sebesar Rp 362.000—Rp 406.000 dari penjualan 25 - 28 bal kerupuk sadariah, dikurangi ongkos produksi. Ongkos produksi pembuatan kerupuk sadarian meliputi biaya pembelian singkong, biaya pembelian garam, biaya pembelian sumba, ongkos penggilingan (selep) singkong, dan lainnya. Jika dihitung per bulan (dengan asumsi per bulan terdiri atas 30 hari), Nahari mendapat keuntungan sebesar Rp 1.560.000 - Rp 2.880.000/bulan.

Sementara itu, Bu Umi sehari mampu memproduksi kerupuk dari 8 kuintal singkong. Dari jual kerupuk sadariah yang dibuat dari 8 kuintal singkong, Bu Umi mendapat keuntungan sebesar Rp 104.000 - Rp 192.000/hari. Keuntungan sebesar itu didapat setelah pendapatan kotor sebesar Rp 362.000—Rp 406.000 dari penjualan 25 - 28 bal kerupuk sadariah, dikurangi ongkos produksi. Ongkos produksi pembuatan kerupuk sadarian meliputi biaya pembelian singkong, biaya pembelian garam, biaya pembelian sumba, ongkos penggilingan (selep) singkong, dan lainnya. Jika dihitung per bulan (dengan asumsi per bulan terdiri atas 30 hari), Nahari mendapat keuntungan sebesar Rp 3.120.000 - Rp 5.760.000/bulan.

Pengusaha yang per harinya mampu mengolah singkong menjadi kerupuk sadariah leih banyak daripada Nahari dan Bu Umi, pendapatannya tentu lebih banyak lagi. [KUS]

Desa Penghasil Kerupuk Sadariyah [1]

Jika Anda berkunjung ke desa ini, baru masuk gerbang desa saja, Anda sudah disambut meriah oleh kerupuk-kerupuk di tepi jalan. Desa ini memang dikenal dengan kerupuk sadariah-nya. Usaha kerupuk ini bahkan jadi sumber penghasilan separo warga.

Seperti umumnya pemukiman, rumah-rumah di Desa Puhjajar, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ada di kiri-kanan jalan, bagian depannya menghadap ke jalan. Dengan demikian, rumah-rumah berhadap-hadapan, tapi dibatasi jalan desa.

Mayoritas, halaman rumah berlapis disemen. Di situlah pemiliknya menjemur kerupuk sadariah. Halaman tersebut memang difungsikan sebagai jemuran kerupuk.

Kebanyakan, pengusaha memroduksi kerupuk melebihi kapasitas lantai jemurannya. Maka, bagian atas pagar halaman pun berubah jadi jemuran kerupuk. Sampai-sampai, tepian jalan bahkan juga untuk menjemur kerupuk. Ini tampak di beberapa rumah penduduk.

Tak ayal, desa pun meriah oleh ramainya kerupuk sadariah. Kerupuk-kerupuk itu kebanyakan dihias sumba merah. Sehingga tak hanya meriah, tapi juga ada pesona tersendiri. Sebab sepintas, bentuk dan warna kerupuk itu mirip adenium, bunga yang harganya mahal itu.

Selain kerupuk sadariah, ada juga yang memroduksi kerupuk samier. Namun, hanya sebagian kecil warga memroduksi kerupuk samier di samping kerupuk sadariah. Tidak ada yang khusus memroduksi kerupuk samier.

Menurut sejumlah warga yang tengah menjemur kerupuk sadariah, kerupuk berbahan singkong (ditambah sedikit garam dan sumba) itu akan kering hanya dalam waktu 2—3 jam, sebab matahari sedang terik. Pemakaian sumba atau dawat hanyalah untuk pemanis tampilan, supaya lebih menarik dipandang mata. ’’Kalau musim hujan, kerupuk bisa 2 hari baru bisa kering. Itu pun terkadang keringnya kurang sempurna,’’ ungkap Bu Umi, salah seorang produsen kerupuk sadariah di Desa Puhjajar.

Kalau sudah kering, kerupuk tinggal dikemas dan siap jual.

Pasti Ada Pembeli
Sudah puluhan tahun kerupuk sadariah diproduksi secara massal di rumah-rumah penduduk Desa Puhjajar. Selain karena bahan bakunya tak sulit didapat, beberapa pengusaha kerupuk sadariah, usaha rumahan itu tetap eksis karena memasarkannya juga mudah. Hal itu karena selain ada pembeli dadakan yang datang ke des itu, ada pula pembeli tetap.

Menurut Nahari, juga produsen kerupuk sadariah di Desa Puhjajar, pembeli dadakan adalah dari masyarakat konsumen langsung, terutama mereka yang akan menggelar hajatan. ’’Kalau dari masyarakat, yang beli ramai kalau musim hajatan. Sepi, biasanya kalau bulan puasa dan bulan suro. Bulan-bulan yang lain, normal-normal saja,’’ ungkap Nahari.

Pembeli tetapnya adalah para pengepul. Menurut Nahari, setiap hari ada pengepul datang ke desanya untuk membeli dan mengangkut kerupuk dengan truk. ’’Oleh para pedagang itu, kerupuk kami dibeli seharga Rp 14.500/kg,’’ ungkap Nahari. Ditambahkan Nahari, kerupuk sadariah ditempatkan dalam kantong-kantong plastik berisi 5 kg/kantong plastik.

Sementara itu, untuk singkong, bahan bakunya, para pembuat kerupuk sadariah umumnya tidak menanam sendiri. Mereka membeli dari pedagang. Pedagang mengambil ingkong dari Malang, Blitar, dan Trenggalek, lalu dipasok ke Desa Puhjajar. Dari pengepul, para pembuat kerupuk sadariah membeli singkong seharga Rp 700/kg atau Rp 70.000/kuintal.

Setiap harinya, berton-ton singkong dari Malang, Blitar, dan Trenggalek masuk ke desa ini. Singkong banyak didatangkan dari tempat lain karena meskipun separoh warga desa tersebut bermata pencaharian dari dunia pertanian, ternyata hampir tidak ada yang menanam singkong. Sehingga, para pembuat kerupuk sadariah di desa itu tidak dapat berharap dari para petani di desanya. [KUS]

Diana Pungky Bikin Majalah


Bagi artis cantik Diana Pungky, dunia sinetron kini sudah jadi masa lalu. ’’Saya tak punya banyak waktu,’’ demikian tuturnya saat berkunjung ke Surabaya beberapa waktu lalu. Setelah kematian ayahnya, Diana berkonsentrasi penuh dalam bisnis yang dirintis orangtuanya.

’’Saya ini istilahnya dipaksa untuk berbisnis. Pasca-papa meninggal usaha papa tidak ada yang mengurus. Saya sebagai anak pertama yang harus menggantikan posisi papa. Didampingi mama, akhirnya bisnis tersebut saya tekuni hingga sekarang,’’ jelas aktris yang main pula di sinetron Jinny Oh Jinny ini.

Ayah Diana telah membangun perusahaan properti ternama di Jakarta yang memiliki jaringan yang luas.

Namun, tampaknya Diana tak puas dengan usaha turun-emurun ini saja. Diana yang mengaku lelah berurusan dengan syuting, juga menggeluti dunia jurnalistik, menjadi pengelola sebuah majalah perempuan sejak tiga bulan lalu.

’’Aku termasuk orang baru dalam dunia jurnalistik. Masih banyak yang harus aku pelajari. Bagiku, pekerjaan sebagai jurnalis adalah tantangan. Karena itu, aku harus banyak belajar,’’ kata Diana.

Kini, kesibukan rutin Diana adalah menata rubrik Fashion dan Kecantikan. Diana menjabat sebagai redaktur di majalah perempuan itu. Dan, tugas kesehariannya sebagai wartawan ternyata sangat dinikmatinya.

Diana berharap, pengalamannya di dunia butik bisa ditularkan dalam majalah yang dikelolanya sekarang. ’’Mudah-mudahan pengalaman aku bisa menambah suasana kerja di majalah menjadi lebih baik,’’ kata Diana.

Selain bisnis majalahn dan properti, Diana bahkan masih menekuni usaha restoran yang juga bisnis peninggalan orangtuanya. ’’Saya memang ingin berkonsentrasi dulu dengan bisnis restoran dan majalah wanita. Saya kan tidak ingin gagal di tengah jalan, sementara saya sudah banyak mengeluarkan modal,’’ katanya.

Dengan tiga kesibukan itu, tampaknya Diana lebih mantap sebagai pebisnis ketimbang jadi artis. [DEWI]

Ratna Listy Jualan BBM

Mandek sementara menjadi artis bukan sebuah pilihan bagi presenter Bedah Rumah, Ratna Listy. Pasalnya, selama ini ia merasa sukses dari dunia hiburan. Namun, Ratna bercita-cita membuka usaha pengobatan alternatif alias paranormal. E, e, eee...!!

Menurut Ratna, ia sering diminta tolong oleh temannya untuk mengobati berbagai jenis penyakit, seperti stres, susah jodoh [oh, susah jodoh termasuk jenis penyakitkah? Red.] dan liver. Dan hasilnya, ndilallah, semua pasien Ratna sembuh total.

’’Aku sekarang masih belum pede untuk buka praktek, tapi suatu saat aku akan buka praktek,’’ jelas Ratna.

Ratna menegaskan, ia memperoleh ilmu pengobatan dengan cara belajar. Ia sudah menjalani kursus paranormal selama 3 tahun. Bahkan, Ratna telah mempunyai sertifikat pengobatan dari terapi Reiki. Dari ilmu tersebut, Ratna telah menemukan banyak manfaat, salah satunya bisa mengobati penyakit keluarga dan suaminya.

’’Aku buka praktek di rumah. Kalau anakku sakit, aku yang ngobatin. jadi, bukan praktek yang komersial,’’ akunya.

Ditambahkan Ratna, karena sering mengobati pasien, Ratna kini mempunyai profesi ganda. Selain sebagai artis, ia juga di kenal sebagai spritualis. Pasalnya, ia mampu mengobati orang lain. Tapi Ratna menolak disebut artis paranormal.

’’Menurut aku sebutan paranormal kurang etis, lebih baik panggil sebagai spritualis,’’ tambahnya.

Selain sebagai paranormal, Ratna sebenarnya sudah punya bisnis utama yang mapan bersama suaminya. Sejak menikah dengan Herry Putranto Juli 2002, Ratna Listy mempunyai jabatan baru sebagai Komisaris PT Cendrawasih Budi Mulia. Ratna mengaku ikut menyetor modal pada perusahaan milik suaminya itu.

Ratna menilai bisnis ini cukup prospektif karena sekarang pemainnya masih sedikit. Perusahaan yang baru dibangun ini bergerak di bidang distribusi BBK (Bahan bakar Khusus). Selain itu Ratna juga punya sentra pengisian BBM (pom bensin) di dua tempat di Jakarta. Bahkan agar lebih dekat dengan pelanggannya, sesekali Ratna ikut menunangkan bensin ke mobil-mobil pelanggan.

’’Rasanya asyik juga sekalian refreshing bersama pegawai,’’ terangnya. [KD]

PERCINTAAN MIMPI

Trinil Budiarti

Kalimat penutupmu romantis benar. ’’Aku kadang membayangkan ada seorang yang kucintai membangunkan dengan mengecup keningku.’’


Ouw! Romantis betul. Sama dengan yang kuangankan beberapa waktu. Mendapati kau yang masih pulas menjelang aku berangkat. Dan kutinggalkan kecupan di keningmu, di pipimu, sedikit di bibirmu sebelum kepergianku. Indah, ya?

Sorenya kau menungguku dengan secangkir kopi, musik mengalun pelan dan entah buku atau koran atau apa pun di tanganmu, lalu kaubangkit menyambut dan menyiumku. Dan kita menikmati sore berdua. Menunggu matahari tergelincir sebelum kita beranjak.

Pagi berikutnya kita habiskan hari bersama. Menikmati udara gunung yang pekat uap airnya. Mendekap satu dengan yang lain dalam dingin pagi yang menggigit. Kucium telingamu yang dingin. Kukulum bibirmu yang kering karena dingin. Hhh...!

Dan malam-malam kita akan berada di satu tempat ke tempat lain. Menikmati konser musik klasik, nonton pameran lukisan, pentas teater, diskusi film.

Cantik benar. Memang mimpi selalu indah, cantik. Tetapi, begitu tersadar, mimpi ternyata cuma sebagai mimpi. Aku tetap tinggal di sini, dengan keseharianku. Tanpa kau yang masih di negerimu sana dan mungkin memang menunggu hari untuk bisa berdua. Dengan aku. Ehm.

Aku mencintaimu, suamiku. Hari yang akan mengantarku menggapaimu merambat begitu pelan. Bahkan mungkin tak pernah beranjak juga dari tempatnya yang dulu. Sementara kita mati-matian mendayungnya, mengubah arah layar karena tahu angin berubah arah. Tetapi, tak ada yang kita lakukan dengan karang yang mengunci rapat kapal kita.

Tak ada. Tak ada yang akan berubah. Sebelum kapal yang akan kita labuhkan terbebas dari karang yang mengandaskan mimpi ini. Tetapi, tak ada satu dari kita yang mau melepaskan diri. Kita hanya berharap ada angin kencang bertiup, lalu kapal terbawa dan terlepas dengan sendirinya. Sekalipun kita sama tahu itu hampir mustahil terjadi, kita masih saja menunggui. Sambil mngubah-ubah layar, mendayung di daratan, dan menghitung waktu yang berjalan.

Sampai kapan? Mungkin sampai kita bosan. Sampai kita kelelahan. Sampai ada hal lain yang lebih menarik dilakukan, lebih menantang. Sampai... yang tak akan pernah sampai.
’’Karena profil dia obsesimu.’’

Selalu muncul kalimat itu jika aku lamunkan kau. Lamunkan kenapa bisa jadi separah dan sedalam ini yang kurasai. Kalimat Eta, perempuan temanku yang sosoknya sering mengilhamiku itu, barangkali memang menjadi jawab dari banyak pertanyaanku. Tetapi tak cukup. Tidak dengan sendirinya aku berhenti berpikir, bertanya, tentang apakah yang tengah terjadi. Apa yang kita lakukan ini.

Suami. Isteri. Kita nikahkan diri. Kita berakad dengan cara kita sendiri. Dan kita merasai sebagai suami-isteri. Kau suamiku, aku isterimu. Tetap. Dalam khayal kita. Dalam angan kita. Dalam mimpi kita. Sementara kita tetap begini. Tak ada kau di sampingku, tak ada aku di sampingmu. Pernikahan yang hanya untuk memuaskan mimpi kita. Pernikahan yang hanya menghibur mimpi agar terus tersenyum dan mendatangi kita. Menebar bunga-bunga, menguarkan aroma yang membuat kita mabuk di dalamnya. Lalu, tak sadarkan diri.

Ketika siuman, kita dapati masing-masing tetap begini. Memendam mimpi. Sampai akhirnya........ mati. []

Minggu, 04 Oktober 2009

Sulap Enceng Gondok menjadi Rupiah

Wiwt Supardi patut mensyukuri saat ia harus pindah rimah di kawasan Kebraon Indah Permai, Surabaya sekitar tahun 90-an. Di belakang rumahnya yang masih sawah dan rawa, tumbuh enceng gondok yang sudah mulai mengganggu petani.

’’Para petani sering mengeluh dengan keberadaan enceng gondok. Selain tanaman ini dianggap tidak bermanfaat, begitu dibersihkan dan dibuang enceng gondok akan cepat tumbuh lagi,’’ ungkapnya.

Suatu hari, ia mendapatkan pelatihan PKK tentang pemanfaatan sampah, ia pun bertanya tentang pemanfaatan enceng gondok. Ternyata ia ditunjukkan beberapa contoh barang-barang kerajinan yang berasal dari enceng gondok. ’’Saya kagum, ternyata enceng gondok bisa dimanfaatkan untuk kerajinan berharga jual tinggi,’’ ungkapnya.

Pulang dari pelatihan, ia langsung mengumpulkan enceng gondok di belakang rumahnya untuk dijadikan kerajinan. Mula-mula, enceng gondok dipisahkan denri daunnya. ’’Yang dibuat kerajinan batangnya, bukan daunnya. Kalau daunnya bisa dipakai makanan sapi atau kambing,’’ ungkapnya.

Setelah terkumpul batangnya, batang-batang tersebut digilas agar kadar airnya hilang dan pipih baru kemudian dikeringkan. Setelah itu, lanjut Wiwit, sebenarnya batang enceng gondok sudah bisa dianyam untuk dijadikan kerajinan. Hanya bila ingin lebih sempurna, batang-batang enceng gondok yang kering tadi bisa diasapi terlebih dahulu.

’’Dengan diasapi warna batang jadi lebih bagus dan tidak berjamur,’’ terangnya. Barulah kemudian Wiwit melakukan proses penganyaman kerajinan. Bermacam-macam kerajinan bisa dibuat dengan batang enceng gondok, seperti misalnya bantal kuris, tas, sandal, keranjang, tempat sampah dan bunga kering.

Dibantu keluarganya, tahun 2006 lalu Wiwit sudah mulai memasarkan kerajinannya. Dari semula hanya pasar Surabaya dan sekitarnya, saat ini kerajinan buatan Wiwit telah memasuki pasar Yogyakarta dan Bali. Sejak masuk di kedua kota wisata tersebut, produksi kerajinan Wiwit terus meningkat.

Dalam sebulan keuntungan yang didapat oleh Wiwit bisa mencapai Rp 5 juta. Ia patut bersyukur, apalagi bahan utama kerajinannya dengan mudah didapatkannya dari alam. ’’Untuk tas misalnya saya hanya mengeluarkan biaya Rp 5 ribu per buah. Tapi dengan Rp 5 buah saya bisa menjual tas dengan harga hingga Rp 40 ribu. Jadi keuntungan saya Rp 35 ribu,’’ terang Wiwit yang menamakan usahanya Wiwit Collection ini.

Tak hanya itu, Wiwit juga memberikan penghasilan tambahan untuk warga sekitar rumahnya, karena ia merekrut mereka sebagai tenaga borongan. ’’Saya banyak memberdayakan ibu rumah tangga yang banyak menganggur di rumah untuk membantu saya. Penghasilannya cukup lumayan dan bisa digunakan untuk tambahan pendapatan rumah tangga mereka,’’ pungkasnya. [DEWI]