Cerpen: Eni Kusuma W
Hari menjelang sore. Awan berarak menjadikan suasana bertambah gelap. Dian sedang membereskan pekerjaannya sebagai staf pengajar di salah satu sekolah swasta di kota kecamatan. Suasana senyap, karena hanya Dian sendiri yang belum pulang. Pulang? Entahlah, kata itu seperti momok yang menakutkan dalam hidupnya. Ingin sekali ia tidak pulang hari ini, besok, dan seterusnya. Rasanya Dian tidak ingin lagi bertemu dengan suaminya di rumah.
Dian berjalan di sepanjang trotoar, sengaja dia memperlambat jalannya menuju rumahnya yang sebentar lagi sampai. Teringat kembali percakapan dengan kakak perempuannya tiga bulan yang lalu. Sebelum dia menikah dengan mas Handoko, yang kini telah menjadi suaminya itu.
"Sudah kamu pikirkan lagi tentang rencana untuk menikah dengan duda itu, Dian?" Tanya Kak Tari.
"Sudah, Kak." Jawabnya mantap.
"Apakah kamu yakin?" tanyanya sekali lagi.
Dian mengangguk waktu itu. Dia sangat enyukainya, meskipun Handoko lebih pantas menjadi bapaknya ketimbang menjadi suaminya itu. Sifat kebapaannya yang membuat Dian bertekuk lutut.
Dian menghela nafas. Benar apa yang dikatakan oleh kak Tari dulu. Mestinya dia membuka lebar-lebar mata dan telinga. Serta hati sanubari diajak bicara terus sebelum benar-benar membuat keputusan untuk menikah. Ternyata Handoko yang masih menampakkan raut ketampanan itu tipe pria posesif. Memandang tradisional tentang sebuah perkawinan. Justru limpahan kasih sayang dan hujan perhatian yang diberikan membuat Dian kurang nyaman dan gerah. Yang pada akhirnya, membuat kebebasan berekspresinya terbelenggu. Jiwanya merasa terpidana oleh kecemburuan yang tidak beralasan.
Dian berhenti berjalan. Dia melihat pintu rumahnya di seberang jalan. Dia membayangkan apa yang selalu terjadi. Handoko pasti akan menyambutnya dengan ciuman dan segala pertanyaannya mengenai aktivitasnya seharian tadi. Sebuah perhatian yang menyebalkan. Jika saja suaminya orang yang sibuk dengan berbagai kegiatan yang menyita waktu, pasti dia tidak akan sempat bertanya ini itu padanya. Sayang sekali, kini Handoko baru saja pensiun dari pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan swasta ternama. Sungguh pensiun yang menyenangkan dan masa tua yang indah. Apalagi kedua anak laki-lakinya dari istri pertama yang sudah meninggal, telah hidup mapan dan sudah menikah.
Tiba-tiba handponenya bergetar, sms dari suaminya.
"Dian sayang, aku baru saja membaca diarimu tentang segala perasaanmu. Aku sekarang mengerti. Aku tidak akan lagi memanjakanmu seperti anak kecil dengan kasih sayang yang berlebihan. Aku lupa jika kamu kini telah dewasa. Aku tidak akan lagi menghalangimu untuk berorganisasi dengan teman temanmu. Maafkan aku. Gimana kalau aku memanjakannmu ditempat tidur?"
Begitu selesai membaca sms, darah Dian berdesir. Seketika raut wajahnya ceria, dan bibirnya tersenyum bahagia. Diary itu memang sengaja Dian letakkan di atas meja kerjanya untuk dibaca suaminya. Dia berjanji mulai sekarang akan terbuka dengan suaminya tentang perasaannya dan apa yang ada di hatinya.
Dian berlari.
Dia membayangkan Handoko menggendongnya di pembaringan.
Merasakan kembali sentuhan-sentuhannya.
Ciuman-ciumannya.
Dan nafas yang saling memburu kepuasan.
Dian melihat Handoko berdiri di sebrang jalan......dan......
"Awas... Diaaaan.....
Sebuah teriakan.
Dian limbung dan tampak dunia di hadapannya gelap gulita.
Sosok tegap menangis histeris sambil mengguncang-guncang tubuh Dian di antara kerumunan orang-orang.[]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar