Jumat, 09 Oktober 2009

Membuat Camilan, Marning

Catur(34) warga Jangglengan, Sidorejo, Ponorogo,menekni usaha pembuatan camilan berbahan dasar jagung: marning. Baru setahun berjalan, namun menurut Catur prospeknya cukup menjanjikan.

Sebetulnya Catur sendiri sudah cukup lama menggeluti usaha pembuatan marning ini. Sebelumnya ia merupakan karyawan salah satu produsen marning di daerah Serut Tulung agung yang merupakan daerah yang terkenal dengan industri kue keringnya.

Setelah Catur menikah dengan Yohana (25) gadis asal Sidorejo, Ponorogo, ia mencoba membuka usaha pembuatan marning sesuai keahlian yang dimiliki sebelumnya. Alhasil, baru setahun berjalan produksi dan pemasarannya mulai berjalan lancar.

Saat ini kapasitas produksi setiap minggunya 50 kg marning dan itu dikerjakan sendiri (hanya dibantu istrinya). Untuk membuat 50 kg marning dibutuhkan kurang lebih 55 kg jagung kering, sedangkan kebutuhan minyak gorengnya adalah 20 kg. Namun, setelah dibuat menggoreng 50 kg jagung masih tersisa 15 kg, jadi penyusutan minyak gorengnya hanya 5 kg saja.

Marning buatan Catur ini dijual dalam bentuk kemasan, masing-masing berisi 1 kg dijual dengan harga Rp 9.000; dan 0,5 ons dijual dengan harga Rp 500.

’’Selama ini permintaan yang paling banyak adalah untuk kemasan 0,5 ons, namun untuk kemasan 1 kg tetap masih saya pertahankan,’’ ujarnya.

Dari hasil penjualan marning itu Catur bisa memperoleh pemasukan hampir Rp 2 juta/bulan. Jika dikurangi biaya pembelian bahan baku jagung 200 kg x Rp 2000 = Rp 400.000, pembelian minyak goreng 50 kg x Rp 9000 = 450.000, dan biaya operasional maka Catur masih bisa memperoleh laba sekitar Rp 800.000/bulan.
Sebetulnya peluang untuk menambah kapasitas produksinya cukup besar. Namun, sementara ini Catur belum melakukannya.

’’Pemikiran untuk menambah jumlah pruduksi sebenarnya sudah ada. Tapi, saat ini belum saya lakukan, masalahnya saya masih berusaha untuk membentuk jaringan (pemasaran, Red) terlebih dahulu, baru setelah pasarnya tertata hal itu saya lakukan”. Katannya.

Masih menurut penuturan Catur, selama ini pembeli atau langganan tetapnya adalah warung atau kios dan toko-toko kue. Namun, ia melakukan strategi pemasaran dengan cara membatasi jumlah atau jatah setiap pelanggannya, biarpun setiap dia kirim selalu ada pelanggannya yang minta tambah. Namun ia selalu mengatakan bahwa barangnya sudah habis atau barang yang ada tinggal jatah untuk pelanngan lain.

’’Hal ini saya lakukan untuk mengukur sampai dimana marning produk saya diminati konsumen,’’ lanjutnya.

Pemasarannya dilakukan sendiri dengan menggunakan motor. Adapun wilayah pemasarannya masih sebatas Ponorogo dan Caruban. Untuk ke depannya Catur merasa yakin, bahwa dengan menjaga mutu marningnya bisa melebarkan sayap ke daerah lain.

Kendala utama produksi marning ini adalah bila saat musim hujan tiba. Permasalahan utamanya pada proses pengeringannya. Menurut Catur sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan cara di-oven. Namun, hasilnya tetap lebih bagus bila pengeringannya dilakukan dengan cara dijemur di bawah terik sinar matahari. [PUR]

2 komentar:

ridha mengatakan...

kok harga marningnya murah banget ya? padahal kan prosesnya lama lho?

ridha mengatakan...

kok murah banget ya harganya?
padahal prosesnya lama tuh!