Jumat, 09 Oktober 2009

Ting-ting Jahe di Trengalek

Sekitar 10 pembuat jajanan ting-ting jahe buka usaha setelah dapat pelatihan dari Dinas Perindustrian Kabupaten. Tapi, di Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek, kini tinggal bertahan seorang saja: yang telaten, yang bertahan, yang menuai hasilnya!

Bentuknya berupa gulungan pipih, warnanya coklat dan rasanya manis pedas. Inilah makanan ringan buatan Kateni (40) warga Desa Joho, Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek. Namanya: ting-ting jahe. Bahan utamanya: jahe, gula, kelapa, dan wijen.

Kateni mulai mengawali usaha ting ting jahenya ini sejak 2003. ’’Sebenarnya usaha ini yang memulai adalah istri saya Dasih(35) dengan mencoba membuat ting-ting dari 5 Kg gula pasir beberapa butir kelapa serta jahe. Saya sendiri awalnya adalah sopir truk, kemudian saya memutuskan berhenti menjadi Sopir lantas sampai sekarang saya membantu istri menekuni usaha ini”. Ujar Kateni.

Ketrampilan membuat ting-ting jahe ini merupakan hasil dari pelatihan yang dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian Kabupaten Trenggalek. ’’Awalnya yang memroduksi ting-ting jahe ini ada sekitar 10 orang termasuk istri saya, dan mereka rata-rata yang pernah mengikuti pelatihan. Namun, saat ini yang bertahan tinggal saya, yang lain kelihatannya tidak telaten,’’ tutur Kateni.

Saat ini dengan dibantu seorang karyawan dalam 1 minggu bisa menghabiskan 50 kg bahan baku dan menghasilkan sekitar 700 bungkus dalam dua ukuran, yaitu ukuran ¼ kg dan ukuran kecil satu kemasan berisi 7 biji.

Harga jual ting-ting jahe ini untuk kemasan ¼ kg Rp 6000, ini merupakan kualitas A ukurannya-pun seragam sedangkan untuk kemasan kecil berisi 6 biji yang merupakan hasil sisa atau potongan dari kualitas A dijual dengan harga Rp 1.000.

Dari hasil menjual 700 bungkus ting-ting jahe setelah dikurangi pembelian bahan baku dan ongkos produksi Kateni memperoleh laba bersih tidak kurang dari Rp 350.000.
Pemasarannya dilakukan sendiri oleh istrinya awalnya dilakukan dengan cara dititipkan pada toko-toko di wilayah Kecamatan Pule. Jangkauan pasarnya saat ini masih sebatas Kabupaten Trenggalek dan ada sebagian pelanggan dari Ponorogo. Biasanya pedagang langganannya langsung memesan sendiri dan mengambilnya sendiri, demikian pula halnya pembeli perorangan.

’’Seperti saat ini, karena menjelang hari raya rata-rata pedagang langganan saya memesan lebih banyak dari biasanya, dan pesanan dari perorangan pun cukup banyak hingga saya sempat kewalahan memenuhinya,’’ ujarnya.
Para pemesan biasanya menitipkan uang sebagai panjar terlebih dahulu. ’’Biasanya pesanan banyak datang saat musim hajatan dan menjelang hari raya. Seandainya harga bahan baku tidak mengalami kenaikan untungnya ya cukup lumayan,’’ kata Kateni lagi.

Bila saat hari hari biasa produksinya rata-rata 700 bungkus setiap minggunya, namun saat menjelang hari raya dan musim hajatan produksinya bisa mencapai 2.000 bungkus setiap minggunya atau paling tidak 6.000 bungkus sebulan dengan penghasilan bisa mencapai Rp 3 juta sebulannya.

’’Kendala utama usaha ting-ting jahe ini adalah harga bahan baku yang sering mengalami kenaikan, seperti saat ini harga kelapa yang biasanya Rp 750, menjadi Rp 2.000/buah. Gula, jahe dan wijen juga ikut naik. Namun, untuk harga jualnya saya usahakan tetap. Hal ini saya lakukan sebagai upaya mengikat pelanggan. Mengenai pasar relatif tidak ada masalah justru setiap bulannya selalu mengalami peningkatan permintaan”. Ujar Kateni.

Untuk ke depannya Kateni memimpikan ting-ting jahe produksinya bisa menembus pasar kota, utamanya tidak lagi hanya sebatas konsumen kelas bawah tapi bisa menembus kalangan menengah. Untuk itu memang banyak yang harus dibenahi. Mulai dari kualitas, kemasan, ragam atau tampilan fisiknya. Dan satu hal yang tak kalah pentingnya adalah jaminan bahwa produk tersebut aman untuk dikonsumsi. [PUR]

0 komentar: