Sabtu, 31 Oktober 2009

Buruh Gendong Pasar Beringharjo Yogyakarta

Potret Keras dan Beratnya Kehidupan

Adzan dhuhur tengah berkumandang ketika tiga orang perempuan sibuk membongkar muatan dari sebuah mobil yang terparkir di lantai dua Pasar Beringharjo di pusat Kota Yogyakarta. Satu di antara mereka tampak sekuat tenaga mengeluarkan muatan dari dalam kendaraan. Sedang dua orang lainnya mengangkut dari kendaraan ke gudang yang terletak di antara los pasar.


Itulah rutinitas yang dijalani oleh para perempuan buruh angkut yang biasa disebut buruh gendong. Dinamakan buruh gendong karena mereka mengangkut beban dengan cara digendong. Berbeda dengan buruh angkut laki-laki yang biasanya memanggul beban tanpa alat bantu selendang seperti halnya buruh perempuan.

Keberadaan buruh gendong ini sangat mudah dikenali. Selendang lurik yang mereka selempangkan serta celemek yang mereka kenakan menjadi penanda bahwa mereka adalah buruh gendong. Amin Muftiyanah, direktur Yayasan Annisa Swasti yang sejak tahun 1990-an mendampingi para buruh ini mengatakan bahwa usia mereka beragam. Mulai dari 20 - 60 tahun. Rata-rata para buruh gendong ini mampu membawa 50 - 100 kilogram dalam satu kali gendongan.

Meski Amin menilai bahwa pekerjaan buruh gendong tampak tidak manusiawi, tetapi banyak perempuan yang terlibat dalam sektor ini. Di Pasar Beringharjo yang berlantai tiga ini saja jumlahnya tak kurang dari 500 orang. Mereka tersebar dari lantai satu sampai lantai tiga.

Menurut Mak Ndung, mantan ketua Paguyuban Buruh Gendong Pasar Beringharjo ’’Sayuk Rukun’’, sebagian besar buruh di gendong di pasar ini berasal dari Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DI Yogyakarta. Namun ternyata tak hanya dari wilayah DI Yogyakarta saja. Buruh yang berasal dari Kabupaten Boyolali, Klaten, dan Sukoharjo ketiganya terletak di Propinsi Jawa Tengah, juga banyak ditemukan di sini.

Sebagian dari mereka berasal dari desa yang sama. Ini terjadi karena biasanya mereka yang telah menjadi buruh membawa serta para tetangga atau menjadi jalan masuk warga sedesanya ke dalam lingkungan pasar. Selain dengan cara ini, masuknya para perempuan ini ke pasar sebagai buruh gendong karena diajak oleh orang orang tua atau justru menggantikan profesi orang tua mereka.

Dapat dikatakan menjalani hidup sebagai buruh gendong sebenarnya adalah pilihan terakhir ketika tak ada lagi yang dapat mereka pilih. Bahkan, Mak Ndung yang telah menjadi buruh gendong sejak tahun 1980 melontarkan, ’’Orang yang mau jadi buruh gendong itu paling jelek. Tidak punya kepinteran tidak punya keterampilan, hanya mengandalkan tenaga.’’

Kondisi ini ternyata tidak membuat mereka terus berada dalam keterbatasan dan keterpurukan. Keterlibatan mereka dalam paguyuban merupakan salah satu bukti bahwa ada tekad dalam diri mereka untuk memajukan diri. Seperti kata Tuminah, setiap 35 hari sekali (selapan) buruh gendong yang tergabung dalam paguyuban ini mengadakan pertemuan. ’’Setiap Minggu-Pon di Masjid Muttaqien,’’ kata Tuminah.

Dalam pertemuan rutin ini, selain diisi dengan berbagai materi juga diadakan arisan dan simpan pinjam. Namun seperti halnya kegiatan simpan pinjam di banyak tempat, belakangan, ’’Simpanan bubar, tinggal pinjaman,’’ Mak Ndung menuturkan.

Meski tidak semua kegiatan berjalan lancar, setidaknya keberadaan paguyuban telah diakui kemanfaatannya oleh para buruh gendong. Jika dulu keberadaan mereka tidak dianggap, kini Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pasar telah mengakui buruh gendong sebagai warga pasar. Dengan pengakuan ini, setidaknya para buruh dapat bekerja dengan lebih nyaman, tidak lagi dianggap sebagai pihak yang harus ’disingkirkan’ dari lingkungan pasar. [siti aminah]

0 komentar: