Kamis, 08 Oktober 2009

PERCINTAAN MIMPI

Trinil Budiarti

Kalimat penutupmu romantis benar. ’’Aku kadang membayangkan ada seorang yang kucintai membangunkan dengan mengecup keningku.’’


Ouw! Romantis betul. Sama dengan yang kuangankan beberapa waktu. Mendapati kau yang masih pulas menjelang aku berangkat. Dan kutinggalkan kecupan di keningmu, di pipimu, sedikit di bibirmu sebelum kepergianku. Indah, ya?

Sorenya kau menungguku dengan secangkir kopi, musik mengalun pelan dan entah buku atau koran atau apa pun di tanganmu, lalu kaubangkit menyambut dan menyiumku. Dan kita menikmati sore berdua. Menunggu matahari tergelincir sebelum kita beranjak.

Pagi berikutnya kita habiskan hari bersama. Menikmati udara gunung yang pekat uap airnya. Mendekap satu dengan yang lain dalam dingin pagi yang menggigit. Kucium telingamu yang dingin. Kukulum bibirmu yang kering karena dingin. Hhh...!

Dan malam-malam kita akan berada di satu tempat ke tempat lain. Menikmati konser musik klasik, nonton pameran lukisan, pentas teater, diskusi film.

Cantik benar. Memang mimpi selalu indah, cantik. Tetapi, begitu tersadar, mimpi ternyata cuma sebagai mimpi. Aku tetap tinggal di sini, dengan keseharianku. Tanpa kau yang masih di negerimu sana dan mungkin memang menunggu hari untuk bisa berdua. Dengan aku. Ehm.

Aku mencintaimu, suamiku. Hari yang akan mengantarku menggapaimu merambat begitu pelan. Bahkan mungkin tak pernah beranjak juga dari tempatnya yang dulu. Sementara kita mati-matian mendayungnya, mengubah arah layar karena tahu angin berubah arah. Tetapi, tak ada yang kita lakukan dengan karang yang mengunci rapat kapal kita.

Tak ada. Tak ada yang akan berubah. Sebelum kapal yang akan kita labuhkan terbebas dari karang yang mengandaskan mimpi ini. Tetapi, tak ada satu dari kita yang mau melepaskan diri. Kita hanya berharap ada angin kencang bertiup, lalu kapal terbawa dan terlepas dengan sendirinya. Sekalipun kita sama tahu itu hampir mustahil terjadi, kita masih saja menunggui. Sambil mngubah-ubah layar, mendayung di daratan, dan menghitung waktu yang berjalan.

Sampai kapan? Mungkin sampai kita bosan. Sampai kita kelelahan. Sampai ada hal lain yang lebih menarik dilakukan, lebih menantang. Sampai... yang tak akan pernah sampai.
’’Karena profil dia obsesimu.’’

Selalu muncul kalimat itu jika aku lamunkan kau. Lamunkan kenapa bisa jadi separah dan sedalam ini yang kurasai. Kalimat Eta, perempuan temanku yang sosoknya sering mengilhamiku itu, barangkali memang menjadi jawab dari banyak pertanyaanku. Tetapi tak cukup. Tidak dengan sendirinya aku berhenti berpikir, bertanya, tentang apakah yang tengah terjadi. Apa yang kita lakukan ini.

Suami. Isteri. Kita nikahkan diri. Kita berakad dengan cara kita sendiri. Dan kita merasai sebagai suami-isteri. Kau suamiku, aku isterimu. Tetap. Dalam khayal kita. Dalam angan kita. Dalam mimpi kita. Sementara kita tetap begini. Tak ada kau di sampingku, tak ada aku di sampingmu. Pernikahan yang hanya untuk memuaskan mimpi kita. Pernikahan yang hanya menghibur mimpi agar terus tersenyum dan mendatangi kita. Menebar bunga-bunga, menguarkan aroma yang membuat kita mabuk di dalamnya. Lalu, tak sadarkan diri.

Ketika siuman, kita dapati masing-masing tetap begini. Memendam mimpi. Sampai akhirnya........ mati. []

0 komentar: