Sabtu, 31 Oktober 2009

KEHIDUPAN HARUS TETAP BERJALAN

Kalau saja ada pilihan yang lebih layak, tentu perempuan-perempuan itu tak perlu menjual tenaga sebagai buruh gendong demi menyambung hidup mereka. Bisa dipastikan tak ada satu pun di antara mereka pernah membayangkan akan menjalani kehidupan sebagai buruh gendong. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hiduplah yang akhirnya mendamparkan mereka pada profesi tersebut.

Mak Ndung, perempuan asal Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta mengaku keterlibatannya sebagai buruh gendong dipicu oleh praktek poligami suaminya. ’’Suami punya isteri tiga,’’ katanya awal Mei lalu. Sebagai isteri pertama, Mak Ndung merasa diabaikan kebutuhannya. Suami tidak lagi memberi nafkah padanya, sehingga Mak Ndung harus memutar otak, mencari cara agar kehidupannya bersama anaknya tetap bisa berjalan.

Maka mulailah babak baru kehidupan perempuan itu. Tahun 1980 Mak Ndung memutuskan menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo. Sehari-hari ia menghabiskan waktu di pasar yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari desa asalnya. ’’Waktu itu sambil momong anak. Kalau nggendong (beban), kadang anak saya tumpangkan di atas,’’ cerita Mak Ndung tentang masa lalunya.

Jauhnya jarak rumah dan tempat kerja menjadikan Mak Ndung dan sebagian besar buruh gendong lain menyewa kamar di sekitar pasar. Menurut pihak Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) Yogyakarta, dulu banyak di antara mereka yang tidur di pasar. Tetapi sekarang hal itu sudah jarang ditemui. Para buruh ini tinggal di kamar sewaan secara berkelompok. ’’Seribu rupiah seharinya,’’ jawab Mak Ndung ketika ditanya berapa biaya sewa kamar mereka.

Mengenai pendapatan, Amin Muftiyanah, Direktur Yasanti mengungkapkan rata-rata mereka mendapatkan penghasilan setiap harinya sebesar Rp 15 ribu rupiah. Penghasilan ini didapatkan dari setidaknya 10 kali menggendong beban seberat 50-100 kilogram. Sebab untuk beban seberat itu mereka rata-rata hanya mendapatkan upah Rp 1500.

Dengan konstruksi pasar bertingkat seperti sekarang, jelas beban kerja mereka semakin berat. Tak jarang para buruh perempuan ini harus menggendong dari lantai bawah ke lantai atas, atau sebaliknya. Menurut Amin, ini tentu saja berpengaruh terhadap kesehatan perempuan, termasuk di dalamnya fungsi reproduksi perempuan. Terlebih sebagian buruh tersebut berada dalam kategori usia usia subur atau produktif.

Untuk itulah Yasanti bersama Paguyuban Buruh Gendong Pasar Beringharjo ’’Sayuk Rukun’’ mengadvokasi agar buruh gendong dapat mengakses layanan kesehatan masyarakat di kawasan pasar. Sebab sangat sulit bagi mereka mengakses layanan kesehatan di daerah asal, karena aktivitas keseharian mereka di pasar. Tak hanya itu, Yasanti dan Sayuk Rukun juga mengusahakan agar para buruh gendong diberi ruang beristirahat mengingat pekerjaan mereka menguras banyak tenaga.

Tak hanya pemerintah yang diharapkan memberi perhatian pada mereka. Masyarakat sebagai pengguna jasa pun diupayakan memiliki kepedulian dan penghargaan terhadap kerja para buruh perempuan ini. ’’Paling tidak dengan mengupah mereka secara layak,’’ kata Amin.[siti aminah]

0 komentar: