This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 19 Juli 2010

Endang Nawarti, Pedagang Baju asal Blitar

’’Yang Penting Semangat dan Kerja Keras’’

Terlahir dari keluarga yang memang pedagang, membuat Endang yang asli Kediri ini akhirnya mengikuti jejak orang tuanya dengan berdagang pula. Melewati liku-liku berdagang mulai masih gadis hingga sekarang punya tiga anak, kini perempuan berkacamata ini bisa sedikit lega karena sudah memiliki 4 toko milik sendiri hasil kerja keras sejak tahun 1980 itu.


Sosok yang tak mudah menyerah dan tak kenal lelah. Itulah gambaran singkat mengenai sosok istri Mochamad Muhdi ini. Keberhasilan Endang memiliki usaha sendiri seperti sekarang ini diakuinya merupakan hasil kerja kerasnya sendiri. Endang memutuskan serius untuk menerjuni dunia dagang dan memulainya dari nol. Ia tidak melanjutkan usaha orang tuanya yang sudah berhasil di Kediri. Ia memilih pindah ke daerah Kawedanan, Wlingi, Blitar untuk tempat memulai berdagangnya. Untuk modalnya pun itu ia dapatkan dari hasil tabungannya sendiri, bukan pemberian orang tuanya.

’’Saya terbiasa bekerja keras sejak sebelum menikah kok Mbak. Saya terbiasa kerja dari pagi sampai larut malam. Saya ini senengnya mandiri. Mungkin bagi sebagian orang pekerjaan saya ini aneh. Tapi ya itulah. Saya sudah terbiasa sama rutinitas itu. Pagi habis salat subuh saya menyiapkan barang-barang yang mau saya sebarkan ke toko di pasar-pasar. Jam delapan pagi saya mulai keliling pasar-pasar. Pulang ke rumah jam satu siang. Setelah makan dan istirahat sebentar, jam tiga sore saya pergi kulakan barang. Kadang bisa ke Surabaya, Malang, Tulung Agung bahkan sampai Solo. Sampai rumah kadang saya bisa jam 1 malam ataupun jam 3 pagi. Habis gitu tidur. Bangun subuh dan bersiap nganter barang ke pasar-pasar lagi,’’ Endang bercerita.

Setelah menikah dengan Muhdi ditahun 1980, keduanya akhirnya pindah rumah ke daerah Talun, Blitar. Keduanya membeli rumah di daerah ini. Disini keduanya terus mengembangkan usahanya terus. Muhdi yang bekerja sebagai pegawai Tata Usaha di sebuah sekolah menengah pertama ini tidak menghentikan langkah Endang untuk terus bekerja menghasilkan uang sendiri. Ritme kerja Endang pun masih seperti dulu. Tak berubah meski dirinya tengah hamil anak pertama. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kendaraan umum pun tetap di jalaninya selama ia belum bisa membeli kendaraan sendiri dengan perut yang besar karena hamil itu.

Ketika hamil anak pertamanya, ia malah baru saja pulang kulakan dari luar kota, baru beberapa jam sampai rumah dia merasa mulas-mulas dan langsung segera berangakt ke bidan untuk melahirkan.

’’Pas mau melahirkan Wulan, saya itu ada kejadian yang lumayan menguji kesabaran, pas oper bus dari Malang mau pulang ke Blitar, itu krenetnya nggak sabaran. Sembilan karung barang dagangan saya dilempar-lemparin aja buat nurunin barang dari bus. Jahitannya jadi pada sobek. Saya nggak bisa menjahitnya karena perut saya kan sedang besar begitu. Saya langsung mengeluhkan pada krenet bus tadi. Tapi dia nggak peduli, akhirnya ada bus lain yang berhenti, bus Laksana Jaya. Krenetnya kasihan sama saya langsung dia membantu menjahit karung yang membuka. Saking berterimakasihnya ketika anak ketiga saya lahir, saya memberinyta nama Laksana belakangannya untuk mengingat kejadian itu,’’ kenang Endang.

Begitu sampai rumah jam sembilan malam, sekitar pukul dua belas malam Endang pun segera berangkat ke bidan karena tanda-tanda melahirkan sudah tampak. Dan benar saja. Beberapa menit sampai di rumah bidan sang jabang bayi langsung lahir.

Ternyata tak hanya lewat berdagang saja Endang berusaha mengais rezeki. Uang hasil penjualan itu juga masih ia olah lagi. Ia kemudian mengikuti kursus menjahit dan merias pengantin. Selain berdagang ia juga menerima jahitan pakaian dan merias pengantin hingga keluar kota. Pekerjaan ini ia lakoni sampai ia hamil besar. Kebiasaan bekerja selama hamil ini berlangsung hingga tiga anaknya lahir.

Ketika hamil anak kedua pun gara-gara sibuk merias pengantin kelahiran Riyo Ande Priambodo juga jadi molor hingga sepuluh bulan lebih. Tubuh yang giat mencari uang kesana kemari tampaknya membuat si janin enggan untuk mengganggu sang ibu yang sedang gigih mengumpulkan uang itu.

’’Waktu kelahiran anak ketiga saya, Rino Dayu Laksono, saya malah sudah pecah ketuban duluan sepulang dari kulakan barang. Kebetulan mobil saya mogok ditengah jalan. Pas mau mbenerin tiba-tiba saya merasa baju saya basah, segera aja nyari kendaraan buat berangkat ke bidan. Tapi yang ada justru dokar. Ya sudah saya akhirnya naik dokar aja buat ke bidannya,’’ terang Endang.

Kerja keras Endang yang bisa dibilang ektra keras ini di mata Muhdi dinilai sebagai tindakan yang sungguh luar biasa. Di matanya, Endang ini adalah perempuan yang kuat niatnya dan sedikit nekat.

’’Berdagang itu kalau nggak ada sedikit bakat, punya niat yang kuat dan sedikit nekat ya nggak jalan-jalan. Nah semuanya itu ada pada isti saya. Makanya sekarang bisa seperti sekarang ini. Makanya ya nggak heran kalau usaha istri saya bisa berkembang dengan baik, kan dia kerjanya juga ektra keras begitu. Bayangkan saja di saat orang sudah mancal kemulnya (berselimut) bersiap untuk tidur, istri saya masih dalam perjalanan pulang dari kulakan barang. Disaat orang lain pada sibuk memasak, dia sudah kerja pagi keliling dari pasar satu ke pasar lainnya,” ujar Muhdi.

Kerja Keras bukan Tuyul

Namun, tak selamanya hasil kerja keras keras orang dinilai positif oleh orang lain. Para tetangga yang sirik terhadap Endang melihat usaha Endang berhasil dari waktu ke waktu malah menyangka Endang memelihara tuyul atau semacamnya sehingga usahanya laris dan makin berkembang seperti tadi. Terlebih lagi ketika Endang mampu membeli sebuah mobil ceth o (mobil yang bahan bakarnya campuran) sebagai mobil untuk kulakan dan mengantar barang. Omongan tetangga semakin menjadi-jadi. Endang di tuduh sengaja memakai ilmu penglarisan. Padahal, untuk membeli mobil itu ia menabung dulu, itupun untuk menekan biaya pengeluaran akamodasi kulakan dan ngantar barang. Bahkan, demi penghematan keungan, Endang sendiri yang menyetir sendiri. Bahkan, kadang merangkap sebagai orang tukang ganti ban juga apabila ban mobil gembos atau mesin mendadak mati ditengah jalan.

’’Padahal semua itu tidak benar. Usaha berhasil itu ditentukan banyak hal. Selain hasil pemikiran dan kerja keras juga disertai doa. Ya istr saya juga rajin shalat hajatnya. Kadang nyempatin juga salat Dhuha. Wajar kalau usahanya sekrang berhasil seperti sekarang,’’ terang Muhdi.

4 Toko

Setelah sekian tahun bekerja keras, kini Endang sudah mendirikan empat toko untuk menjual barang dagangannya sendiri. Keempat toko itu ada di Wlingi, Talun, Kesamben, dan Sukosewu. Toko-toko ini sekarang di kelola kedua anak lelakinya. Endang sendiri hingga saat ini teatp bekerja, kulakan barang sore hingga malam hari, pagi hari ia titipkan ke toko-toko di pasar-pasar.

’’Kalau barang-barang yang saya jual di toko bisa dibeli secara bijian. Nah, kalau yang saya bawa ke pasar-pasar itu harus dibeli secara lusinan. Karena itu saya buka toko juga akhirnya sekarang-sekarang ini. Biar orang bisa beli bijian bila bener-bener membutuhkannya. Kan kalau saya nggak buka toko seperti ini orang susah bisa membeli barang-barang saya. Kan nggak semua orang mau beli dalam jumlah banyak,’’ papar Endang.

Dengan membuka toko seperti sekarang ini Endang merasa dia bisa membuka lapangan kerja baru bagi para warga sekitarnya. Selain itu ia ingin juga menumbuhkan jiwa berwiraswasta pada anak-anaknya.

’’Mereka kan sudah selesai kuliah semua. Daripada sibuk membuat lamaran kerja, lebih baik mereka membuka lapangan kerja baru. Itu bisa mendatangkan keberkahan juga buat orang lain,’’ ucapnya. [Niken Anggraini]

Minggu, 04 Juli 2010

Menulis sebagai Investasi*

Selamat kepada para aktivis FLP-HK dan segenap pendukungnya, yang telah menggelar Festival Sastra Migran (9/5). Mereka adalah insan-insan yang tak pernah mau diam menunggu, yang selalu menyibukkan diri dalam kerja yang sangat bermanfaat, baik bagi diri dan lingkungan mereka. Dan hebatnya, mereka merasa senang sambil bercucuran keringat itu! Gerakan literasi, memperkuat diri dan lingkungan melalui sarana tulisan, dengan membaca dan menulis, sungguh merupakan perjuangan dalam damai yang, yakinlah, hasil bakal bisa dipetik di kemudian hari.

Ndilalah pula tulisan ini saya buat ketika tadi siang saya bersama beberapa penulis berbicara di depan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) –almamater saya. Senang berada di antgara mereka. Dan pertanyaan mereka pun kadang terasa lucu, kadang mengejutkan pula!

’’Benarkah kadang-kadang Anda menulis hanya untuk kesenangan, dan membiarkan tidak mendapatkan apa-apa karenanya?’’ demikian salah satu kalimat pertanyaan yang langsung diarahkan kepada saya.

’’Ya, demikianlah, jika istilah ’apa-apa’ itu kita maksudkan sebagai ’uang.’ Menulis telah menjadi ’darah’ dalam hidup saya. Karena itu, sekali lagi jika ’apa-apa’ tadi kita maksudkan adalah ’uang’ tak sedikit saya melakukan kgiatan, termasuk menulis, dan tidak hanya tidak mendapatkan apa-apa, bahkan malah ’merugi’.’’

Diam. Tidak ada protes, tidak ada komplain. Saya tahu, mereka menunggu kalimat saya selanjutnya. Maka, saya pun melanjutkan kalimat saya.

’’Saya menulis untuk banyak media. Menulis di blog, di koran, di majalah. Bahkan melayani pesanan, misal, seseorang tiba-tiba memesan sebuah puisi berbahasa Jawa untuk dibaca pada pernikahan anaknya. Ada juga pejabat yang, melalui SMS, memesan dua kuplet pantun untuk menutup pidatonya. Sesuai hukum ekonomi, mereka yang melakukan pemesanan itu biasanya memberi imbalan, uang, di atas harga rata-rata, kalau tulisan itu ada harga rata-ratanya! Sedangkan tulisan yang saya kirimkan ke media atas inisiatif saya, tentu saya hanya menunggu, apakah honornya memuaskan, sekadar bisa buat beli rokok, atau bahkan ternyata tidak ada honor!’’

’’Lho, media cetak menerima tulisan tanpa mau memberi honor?’’

’’ Anda heran? Dan itu benar-benar ada. Saya bisa memberikan alamatnya jika Anda mau!’’

Mereka semakin diam! Wah. Cerita saya tampaknya menarik, ya? Dalam hati sebenarnya saya tertawa kecil. Ini bagian yang cukup indah. Betapa tidak? Saya diundang hari itu untuk memberikan suntikan semangat kepada para mahasiswa adik kelas saya, bahwa menulis (tentunya juga: membaca) itu sedemikian bermanfaatnya bagi kehidupan kita, dan saya dengan gagah-berani mengatakan tak masalah kalau dari tulisan kita tidak dapat apa-apa, tidak dapat honor?

Tak betah berlama-lama mempermainkan perasaan mereka, maka saya pun segera meluncur ke bagian kalimat-kalimat yang tampaknya paling mereka tunggu-tunggu.

’’Benar memang, sering saya tidak mendapatkan honor atas tulisan saya yang dimuat di media cetak. Tetapi, saya tetap merasa beruntung, bukan sok beruntung, lho. Mengapa? Sebagai anggota masyarakat, dengan melakukan urun rembug melalui tulisan, saya telah mengekspresikan rasa dan pikiran saya, dan karenanya saya telah melakukan hal yang baik bagi kesehatan jasmani dan rohani saya. Apalagi kalau tulisan saya itu kemudian membuat orang lain merasa senang, merasa mendapatkan informasi baru. Bukankah keberadaan saya menjadi lebih berguna? Apakah yang lebih mewah dari perasaan suka-cita karena merasa bermanfaat seperti itu? ’Itu keuntungan nonmaterialnya.’’

’’Memang masih ada keuntungan materialnya? Bukankah ini kisah tentang tulisan yang tidak mendapatkan honor?”

’’Sabarlah. Tidak ada honor itu kan dari koran yang memuatnya. Tetapi, kalau ada pembaca yang tertarik, dan kemudian mengundang saya untuk acara diskusi dengan tema seperti yang saya tulis itu, dan saya mendapatkan honor bagus dari acara diuskusi itu, apakah itu bukan material?’’

Waduh, halamannya hampir tak cukup! Begini saja, kesimpulan akhirnya, baik dapat honor maupun tidak dapat honor pada pemuatan pertamanya, dengan menulis sesungguhnya kita sedang berinvestasi. Bukankah orang bijak bilang, ’’Jika kita melakukan kebaikan dengan niat baik, maka Tuhan akan membalas dengan kebaikan berlipat-ganda pada saat dan tempat yang tidak kita duga?’’

Nah!


*) Dipublikasikan pertama di Majalah Peduli