This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 19 Januari 2009

Sugih, Edaaaan... edan...!

Nah, ini cerita tentang salah seorang adikku, si Bungsu, Da. Bukan tentang kegemarannya nonton film kartun, karena dua adikku sama-sama demen kartun. Juga bukan tentang rajinnya ke masjid, ngajar TPA, atau aktivitas kerohanian lainnya, karena keduanya hampir tiada beda. Misalnya, waktu lebaran kemarin, ketika kami berlebaran hari Kamis dan kampung menetapkan lebaran hari Jumat, mereka juga tetep bantu pasang pembatas shaf, membantu takbir keliling untuk anak-anak dan beres-beres sisa shalat id, dan sebagainya


Nah, selain kesamaan antara dua adik itu, aku melihat ada perbedaan yang sangat menarik diamati. Terutama si Bungsu, Da itu. Mungkin karena bungsu itulah dia jadi awet sifat kanak-kanaknya. Keluarga besar mengkonstruksikan dia sebagai anak kecil, secara terus-menerus tanpa menyadari bahwa sekarang dia sudah dewasa, sudah 25 tahun umurnya.

Dulu, kalau ada sesuatu yang menjengkelkan, dia bandel, nuntut apa gitu, pasti ada saja yang membela, Ya, karang anak ragil. Nah mungkin ini salah satu yang menyebabkan dia masih tetap kekanakan. Oh ya, secara umum kayaknya orang tua memang sering nggak sadar kalau anaknya sudah besar, tumbuh dewasa. Aku ingat ibu dulu mbelikan kami sikat gigi kecil sampai aku SMA. Ya gitu, jadinya sampai sekarang aku lebih nyaman dengan sikat gigi kecil. Barangkali gitu juga dengan Da, dia telanjur nyaman dengan sikap orang dan keadaan yang sekarang dirasakannya.

Tapi justru itu yang jadi menarik, setidak-tidaknya buatku. Karenanya aku kadang jadi suka ngamati perilakunya.
Aku ini sayang dan dekat sama semua orang di rumah (kecuali terhadap bapak, nggak dekat, nggak benci, ya biasa aja gitu). Cium pas mau pergi agak lama gitu dulu biasa (sebelum aku kawin). Dan dia dengan caranya sendiri dia juga menyayangi aku, menyayangi anakku. Waktu Adi masih bayi dia banyak bantu aku. Ya ngganti popok, nggendong. Kan punya bayi tuh cuapek banget. Pas baru satu dua bulan gitu, malamnya kan bangun terus. Jadi pas pagi teler deh. Nah, biasanya dia yang menjaga.

Terus waktu Adi umur empat bulan, kami (aku dan suami) pernah sama-sama pergi sampai seminggu. Ya adik berdua itu yang memandikan, ndandanin, momong (yang ngasuh Adi datang siangan). Tapi memang Da tuh tlaten banget. Lebih tlaten dari kakaknya. Jadi, rasanya beruntung gitu punya adik macam mereka.
Ya begitu. Nggak terasa tahun demi tahun berjalan. Adi makin besar. Da sekolahnya juga udah kelar. Sebelum berangkat ke luar negri akuih dengar, eh dia sendiri, Da maksudku, bilang kalau aplikasi ke sebuah kontraktor di B. Sebenarnya sehari sebelum aku berangkat, ada sebuah lembaga yang menghubungi dia ngajak bergabung (sebelumnya kan dia udah ikut training segala di lembaga ini). Tapi ditolaknya. Ketika kutanya kenapa ditolak? Dia jawab, ’’Ya jual mahal sithik lah.’’

Dalam hati aku agak tertawa-tawa. Untung si penelepon yang koordinator di lembaga itu nggak tahu kalau Da ini adikku. Kebetulan kan kami (aku dan orang lembaga itu) pernah lama kenal. Kalau tahu kan bisa nggak enak.

Waktu aku udah di luar negri, aku dapat SMAS kalau Da jadi ke B. Ya nggak berdampak apa-apalah, karena aku kan jauh. Nggak mersa kayak apa dampaknya orang di rumah yang ditinggalnya. Ternyata setelah di rumah baru aku sadar, Adi tuh kehilangan. Dia suka nanyain, Pak Da ke mana. Kalau ada pesawat (karena dikasih tau Da pergi naik pesawat), dia teriak-teriak, ’’Pak Da, tunggu. Adi ndherek…!’’ Begitu. Oh, ternyata dia kehilangan. Dan aku juga ngerasa kehilangan. Rumah lebih sepi, yang njaga Adi berkurang. Dalam hati aku berharap dia bisa dapat kerja di J aja, tetapi aku juga senang sih dia bisa pergi, melihat negri lain gitu, nggak cuma di negrinya sendiri.

Selama tiga bulan di B, dia banyak cerita. Hampir tiap hari SMS atau teleponan ke kami, kalau nggak aku ya Ben yang paling sering. Ada juga kirim surat 3 kali, cerita tentang yang dilakukan, yang dilihat gitu.

Waktu dia cerita air susah karena PAM mati, kami juga nggak panik. Kami justru ngolok-olok dia, dikirimin air apa priye? Ternyata dia sendiri yang nggak krasan. Dan suatu sore tibalah dia di rumah. Kami menyambut dengan senang. Banyak oleh-oleh, terutama kesenangan dia sendiri, permen dan kue coklat.

Nggak lama, cuma tiga hari di rumah, dia sudah dapat kerja lagi. Nggak penuh hari memang, tapi nggak nganggurlah. Baru bulan depannya dia masuk seharian, jadi pengawas pelaksanaan proyek. Di situ dia sering terlihat gamang. Kalau pulang, sambil setengah menerawang dia ngudarasa. Pekerjaan kotorlah, sarang korupsilah, dan sebagainya. Maka, dia kemudian ajak sepupu atau teman-temannya jajan setiap habis dapat uang sangon hari Sabtu gitu. (kegamangan ini tampak benar sampai suatu hari beli bukunya Ahmad Tohari, Orang-orang Proyek)

Nah, suatu hari dia diajak nggambar rancang bangun proyek oleh perusahaan lain. Di sini dia agak terhibur. Tidak selalu melihat pelaksana proyek yang menyusutkan material atau memanipulasi hitungan. Mulailah dia bisa menikmati kerjanya. Nggak terlalu berat beban pikiran dengan segala manipulasi proyek.

Dan kemarin, begitu sampai di rumah, sejak dari depan dia sudah buka dompetnya, memperlihatkan duitnya sambil bilang kalau dia kaya. Ah, lucunya. Sampai di belakang, ada aku, dia pun pamer kalau banyak uangnya. Katanya, waktu aku baru mulai kerja nggak akan dapat duit sebanyak yang dia dapat ini. Ah, dasar anak lucu!

Terus dia nyandar di pintu. Sambil tetap merentang lembaran ratusan ribu yang ditepuk-tepuk pelan di tangan satunya, dia bilang, ’’Edan, edan, sugih tenan aku...’’

Sebetulnya aku mau ketawa, tapi nggak tega. Oh, kanak-kanak benar anak ini, batinku. Aku pun bilang ke dia, mbok sesekali ibu dikasih, biar seneng. Toh, dia (Da) nggak mikir soal listrik, telepon, sabun, karena semua sudah kutanggung. Itu bedanya mbarep sama ragil, kataku.

Beberapa saat kemudian ketika aku ke ibu, dibilang bahwa Da memberinya uang. Tapi dia pesan supaya jangan dibilang terutama ke Bu Lik, karena dia agen MLM dan suka banget nawarin barang ke orang-orang.

Ah, Da! Pancen edan, edan....!

Kerja Keras yang Membuahkan Kebanggaan

Ada kepuasan tersendiri di benak Endang Sri Suharti sebagai pemilik Habibah Collection saat melihat anak-anak dan ABG saat ini terlihat bangga dalam busana muslimnya. Terlebih saat melihat anak-anak yang terlihat begitu ceria saat mengenakan busana muslim yang kini mulai beraneka model itu.

Jika dibadingkan dulu, baju muslim anak dewasa ini mencapai perkembangan yang sungguh jauh berbeda sekali. Baju muslim anak sekarang lebih variatif dan mengikuti zaman. Atas dasar pertimbangan ingin anak-anak suka dan bangga berbusana muslim inilah yang mendasari istri dari Achmad Basuki ini mendirikan Habibah Collection.
’’Idenya awalnya saya mendirikan Habibah ini karena saya ingin berguna buat orang lain sekalian ingin bersyiar dalam Islam. Bukannya usaha di luar bisnis baju muslim nggak bernilai ibadah ya, tapi saya merasa kalau saya membuat baju muslim anak-anak dan baju itu kemudian mereka sukai kan lebih bernilai dakwah lagi. Banyak kan anak-anak ataupun ABG yang ingin berbusana muslim yang bagus serta nggak ketinggalan zaman begitu? Itu sebabnya saya membuat Habibah Collection,’’ tutur ibu dua anak ini.
Sekalipun termotivasi mendirikan Habibah Collectio karena ingin membuat anak-anak Indonesia berbusana muslim dengan bangga namun itu bukan berarti ia punya modal yang besar untuk mendirikan usaha konveksi ini. Bisa dibilang modal awal ia mendirikan usaha ini adalah modal bonek alias bondo nekat saja. Maklum ia sendiri tidak punya latar belakang di bidang jahit menjahit. Endang baru mendalami kegiatan jahit menjahit dengan kursus menjahit disebuah lembaga busana kenamaan di Surabaya ditahun kelima berdirinya perusahaannya ini. Selain itu dari segi keuangan pun sangat tidak mendukung pula.
’’Suami saya seorang ustadz. Dia bilang gini ke saya: Kalau kamu mengharapkan dapat materi yang banyak dari saya sebagai kepala keluarga jujur saya tidak bisa memenuhi harapanmu itu. Tapi, kalau kamu mau kaya saya doakan kamu supaya kaya. Silakan kamu mengembangkan bakatmu di bidang bisnis. Asalkan kamu tidak lupa, kalau sudah kaya menyedekahkan harta yang kamu miliki itu untuk orang yang tidak mampu,’ Makanya untuk urusan zakat dan sedekah selalu suami saya yang mengurusi semuanya. Saya tidak tahu soal itu,’’ ungkap wanita kelahiran Medan 4 Juni 1970 ini memberi pemaparan panjang lebar.
Masih terekam dengan jelas dalam benak wanita yang tadinya bekerja sebagai pengajar ngaji privat anak-anak ini kalau awal ia bisa memotong baju baju anak-anak ini lantaran ia menjiplak model baju yang sudah jadi untuk mendapatkan desain dasarnya.
’’Saya beli baju anak-anak terus saya dedel baju itu. Terus saya tempelkan dedelan tadi di kain baru. Terus saya gunting kain tadi mengikuti pola tadi. Sampai saya lupa nurunin bagian lehernya, jadi waktu baju itu dijahit bagian lehernya sampai nekek gitu,’’ kenang Endang seraya tersenyum.
Tak hanya itu saja kenekatan Endang. Ketika mendirikan usaha ini pun karyawannya baru dua orang saja. Yakni, dia sendiri dan salah seorang temannya yang pernah kerja di toko busana Alib Surabaya. Usai menikah di tahun 1989, Endang yang berkuliah di fakultas ekonomi itu memang sempat bekerja sebagai guru ngaji. Tak lama kemudian temannya ada yang mengenalkannya pada ibu Nadhifah Jufri pemilik toko busana Alib. Selama 6 tahun bekerja di Alib, Endang diserahi tugas sebagai kepala toko di tempat tersebut. Hanya sesekali saja ia berinteraksi dengan bagian penjahitan kalau kebetulan ada jahitan yang tidak rapidan ia diminta mendedel dan mengantarkannya ke bagian menjahit oleh Nadhifah.
’’Alib kan toko busana. Usahanya jenis retail gitu. Jadi tidak semua barang diproduksi sendiri. Sebagian ada yang diambil dari luar, bukan konveksi. Makanya saya pun tidak bekerja di tempat itu sebagai penjahit tapi kepala toko,’’ ujar ibu dari Habibah Asma’ul Husna (17) dan Zulfikri Ilmiawan (5) ini mengisahkan.
Setelah usaha itu oleh Bu Nadhifah Jufri ditutup lantaran beliau sudah cukup umur dan diantara anak-anaknya tidak ada yang tertarik untuk meneruskan usaha tokonya itulah akhirnya Endang mencoba untuk mandiri. Pelan-pelan ilmu yang pernah diberikan oleh wanita yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri itu ia praktekkan.
’’Dulu ibu itu sering sekali mengikutkan saya pelatihan-pelatihan kewirausahaan gitu. Beliau juga berpesan supaya saya kelak bisa mendirikan usaha sendiri. Beliau selalu berpesan agar wanita itu juga belajar untuk mandiri karena kadang wanita juga sering dihadapkan pada masalah mengatasi kesulitan perekonomian keluarga, karena itulah kemandirian seorang wanita itu juga diperlukan sekali,’’ jelasnya.

Perjuangan Berat
Itu sebabnya pula yang menjadikan Nadhifah Jufri percaya dan berpesan kepada Endang kelak jika ia sudah bisa mendirikan usaha sendiri jangan lupa untuk memperkerjakan bekas karyawannya yang terpaksa berhenti kerja setelah Alib tutup. Permintaan itu dipenuhi Endang. Sejak didirikan tahun 2000 lalu, sekarang ini para karyawan Alib dulu sudah ada yang bekerja di tempat usaha Endang tersebut.
Namun, siapa yang menyangka juga kalau mendirikan Habibah Collection ini juga bukan dilalui Endang dengan jalan yang mudah. Wanita ini justru memakai istilah berdarah-darah untuk mengambarkan betapa sulitnya mendirikan usaha ini.
’’Saya dulu kalau kulakan kain itu pinjam motor tetangga gitu. Pulang dari kulakan tetangganya pada bilang, katanya pengusaha kok nggak punya kendaraan sendiri sih? Belum lagi soal kontrakan rumah. Dulunya salah satu dari dua tempat yang kami tempati untuk konveksi saat ini adalah rumah tua yang nggak laku untuk dikontrakkan gitu karena saking angkernya. Yang punya rumah menyuruh saya untuk menempati aja dulu, supaya orang tahu kalau tempat itu nggak angker buktinya ada yang mau nempati. Ya sudah, saya bersihkan tempat itu dan kami pakai untuk kegiatan jahit menjahit. Eh, setelah keliatan ada hasilnya yang punya segera menyuruh saya bayar karena alasannya nggak nyangka aja kalau rumahnya itu dijadikan tempat konveksi. Ya sudah saya bayar ajalah daripada ribut. Rumah itu saya kontrak sekalian sampai 10 tahun ke depan. Saya renovasi juga biar nggak keliatan angker,’’ papar Endang lebih jauh.
Tak berhenti sampai disitu tekanan batin yang dialami Endang, saat ia mencari penjahit pun terkadang ia pun harus belajar menahan diri agar tak marah karena kalimat bernada sumbang kembali ia dengar dari para tetangganya itu.
“Saya kan nggak pernah membajak pegawai konveksi lain. Saya itu mencari penjahitnya satu persatu. Nanyain tetangga kiri kanan ini mereka punya nggak anak atau saudara yang bisa menjahit untuk bekerja pada saya. Kalau nggak ada yang bisa menjahit nggak papa nanti akan diajari menjahit. Eh begitu dapet, penjahitnya itu bilang gini ke saya,'Mbak sampean sanggup nggak membayar gaji saya kalau saya kerja di konveksi mbak nanti?”ungkap Endang menirukan ucapan penjahitnya itu dengan nada sedih.
Beruntunglah suaminya, Ahmad Basuki tak bosan-bosannya mensupportnya untuk terus maju dan tak menyerah. Sang suami meyakinkannya kalau kemudahan itu selalu ada dibalik kesulitan. Seiring berjalannya waktu permintaan terhadap busana desainnya juga bertambah. Alhasil, karyawannya pun bertambah.Sebulan setelah konveksinya berdiri ia mulai merekrut satu persatu karyawan hingga sekarang berjumlah 120 orang.
’’Saya alhamdulilah juga banyak dapat kemudahan. Misalnya saja saat mau beli mesin jahit dan obras. Waktu itu saya belum punya uang untuk beli mesin, saya nekat ke Pasar Turi untuk bertemu penjual mesin jahit. Begitu ketemu saya bilang ke pedagangnya itu, boleh nggak saya beli mesin jahit dan obrasnya itu tapi bayarnya nanti kalau saya sudah dapet uang tagihan dari pembeli baju saya. Pedagangnya tanya rumah saya dimana, saya bilang rumah saya di Wonorejo I, setelah itu saya diizinkan membawa pulang satu mesin jahit dan satu mesin obrasnya. Begitu saja terus. Tiap bulan saya beli mesin jahit dan obras dari bapak itu dengan pembayaran kalau sudah dapat uang tagihan saya akan segera bayar mesinnya,”imbuh Endang.
Cercaan demi cercaan ia lalui dengan sabar. Bahkan ketika ibunya menyindir agar dirinya segera punya aset sendiri pun ia hadapi dengan senyuman.
’’Pokoknya cercaan para tetangga ini baru selesai ketika saya sanggup membeli rumah yang saya jadikan kantor sekarang ini. Harganya 450 juta yang saya bayar dengan mencicil. Kalau dipikir-pikir mana ada ya rumah diluar perumahan yang mau dibayar pakai cicilan? Tapi ya itulah yang terjadi. Habis ibu saya waktu itu bilang gini,'Setahuku yang namanya konveksi itu selalu ramai kok konveksimu ini sepi kayak nggak ada kegiatan gini sih? Ya karena itulah saya beli rumah ini untuk dijadikan kantor. Supaya keliatan ramai dan ada kegiatan,’’ lanjutnya.

Menjual Sendiri
Awal busana anak desainnya jadi Endang pun berjalan sendiri sebagai tenaga pemasarannya. Ia nekat membawa dua tas besar berisi 20 potong baju untuk ia edarkan ke toko-toko. Malah pernah dalam satu hari itu ia keliling di tiga kota untuk menawarkan barang daganganya tersebut usai salat subuh.
’’Saya berangkat sendiri tuh sambil bawa dua tas besar gitu. Pertama kali saya pergi ke daerah Kediri, ke toko Noro di jalan Raden Saleh. Begitu sampai sana, yang jaga toko bilang pemiliknya sedang tidur, nggak bisa menerima saya. Makanya saya disuruh pulang. Saya kembali ke Bungurasih. Di Bungurasih saya jadi berpikir unttuk pergi ke Bangil saja, mendatangi sebuah toko untuk saya titipi barang dagangan saya itu. Begitu sampai toko tersebut dagangan saya ditolak. Ya sudah saya akhirnya nekat pergi ke Madiun, ke toko Al Barkah. Sampai sana sudah sore, tokonya malah sudah mau tutup. Sampai di sana saya bilang sama yang punya, saya titip aja dulu deh, laku nggak laku nggak masalah, yang penting untuk saat ini barang ini bisa dititipkan dulu. Saya kasih kartu nama saya. Yang punya kasian sama saya karena saya bilang saya sudah keliling tiga kota tapi dagangan nggak laku juga, makanya dagangan saya boleh dititipkan di tokonya itu,’’ tutur Endang mengingat masa-masa susah ia menawarkan barang dagangannya itu dulu.
Tak disangka-sangka, barang yang dititipkannya itu laku keras hanya dalam hitungan hari. Si pemilik toko meneleponnya dan minta dibuatkan lagi. Bahkan pemilik toko Noro yang ternyata kakak dari si pemilik toko al Barkah pun sekarang ini jadi ikutan mengambil barang dari Endang. Melihat respon itu Endang pun akhirnya berani menawarkan dagangannya ke toko Sakinah yang ada di daerah Gunung Sari.
Toko itu pun akhirnya mengiklankan tokonya di sebuah tabloid dan majalah. Dan salah satu produk yang dijadikan materi iklan itu adalah baju desain Endang itu. Ternyata disinilah titik awal bisnis Endang menampakkan hasil. Sejak diiklankan di tabloid itu permintaan barang dari konveksinya mulai meningkat. Bahkan Endang langsung menerima orderan seribu potong baju muslim anak dari sebuah label busana terkenal dari Jogja sana. Sejak saat itu ia pun mulai memikirkan kelangsungan bisnisnya tersebut untuk ia beri label nama sendiri.
Ia bukan jasa pengesub barang. Ia memberi label dagangannya sesuai nama anak pertamanya. Kini, setelah delapan tahun beroperasi Endang mulai menikmati hasilnya. Kesulitan demi kesulitan yang ia hadapi dulu rasanya sudah terbayarkan dengan melihat Habibah Collection yang didirikannya dengan berdarah-darah dulu menampakkan hasil perkembangan yang positif.
’’Salah satu kunci sukses bisnis itu adalah sabar dan fokus. Setelah Habibah Collection berdiri saya itu juga berkali-kali ditipu orang. Sudah berkali-kali pekerja saya dibajak orang. Malah ada karyawan yang tadinya sebelum bekerja pada saya hanya seorang istri sopir tapi sekarang sudah punya mobil pribadi dengan cara merugikan perusahaan saya.
Sedangkan saya saja bisa beli mobilnya karena kredit dan belum lunas sampai tahun depan. Tapi ya saya hadapi semua itu dengan sabar saja. Sebagai manusia jelas saya pernah dihinggapi stres, tapi saya kembalikan semuanya pada Allah Yang Maha Mengatur Hidup kita semua. Dengan begitu saya jadi bisa fokus bekerja untuk mengembangkan Habibah Collection lagi ke depannya,’’ katanya seraya tersenyum optimis. [niken anggraini]


Nama : Habibah, Busana Muslim Anak
Alamat : Jln Wonorejo I no 86 Surabaya
Telepon : 031-5340304/031-5477682/flexy: 031-72421102/Hp:0818319479
Email:info@habibahcollection.com
Website:www.habibahcollection.com

Wulan Guritno: Buka Salon Pencabut Bulu

Sekian waktu sukses malang-melintang di dunia hiburan, kini ibunda dari Shalom Syach Razadee ini juga mulai tertarik untuk menerjuni dunia bisnis. Dunia bisnis yang diterjuninya pertama kali adalah bisnis masakan Jepang. Bersama artis Krisdayanti dan Ami Gumelar, Wulan mendirikan rumah makan Takigawa. Setidaknya kini sudah ada dua outlet Takigawa Resto yang sudah didirikan oleh perempuan blasteran Jawa–Inggris ini. Satu di Cilandak Town Square lantai 1 dan di Senayan City lantai 5, Jakarta.

Wulan menerangkan bahwa Takigawa Resto ini merupakan perusahaan franchisee. Meski memiliki nama berbau Jepang, sebenarnya Takigawa adalah brand franchise lokal dari PT. Chala Boga Indonesia. Konsep Resto Takigawa sendiri sangat modern dan bernuansa Fusion Cuisine. Menu-menu yang ditawarkan pun tidak sekedar makanan tradisional seperti kamameshi (nasi bakar Jepang), tapi ada juga fusion food seperti takigawa roll, dino lovers, dan hot & sexy. Tidak ketinggalan juga ramen dan kushiyaki (sate khas Jepang) yang tersedia dalam berbagai jenis.

Tampaknya bisnis franchise resto Jepang semakin mantap saja dijalankan Wulan. Pasalnya resto Jepang saat ini begitu digemari masyarakat Indonesia meskipun restoran serupa jumlahnya kian banyak saja di Jakarta ini. Ditanya alasanya mengapa tertarik menerjuni bisnis ini salah satu pemain film Naga Bonar Jadi 2 ini mengungkapkan alasanya secara gambalng.

’’Restoran Jepang itu menurut riset dan analisa kita selama ini, sangat digemari. Terutama di Jakarta. Itu merupakan lifestyle yang sangat dominan sekali,’’ terang Wulan.

Wulan optimis kedua outlet Takigawa yang dijalankan bareng dua rekannya itu akan semakin berkembang lagi. Ini terbukti dari penghargaan yang diterimanya dari manajemen Citos yang memberikan penghargaan pada Resto Takigawanya itu sebagai Best Restaurant Tenant.

Bisnis Salon Waxing

Sukses menjalankan bisnis restoran masakan Jepang membuat pemain pendukung film Gie ini jadi ketagihan berbisnis lagi. Kali ini ia melirik bisnis kecantikan perempuan yang mengkhususkan diri pada waxing alias salon mencabut bulu halus di tubuh. Ditemani empat temannya, yakni Amanda, Janna Soekasah, Adriana Taurisia, dan Hayu Pangastuti, janda satu anak dari Attila Syah ini membuka salon wax pertama yang diberi nama Studio Waxing Poetre, di Jalan Ampera Raya, tepatnya di depan Pengadian Negeri Jakarta Selatan. Saat ditanya mengapa ia tertarik menerjuni dunia bisnis lebih jauh lagi, kekasih Adila Dimitri ini mengungkapkan kalau itu merupakan caranya untuk menyibukkan diri serta memperoleh keuntungan.

’’Saya menabung jika dapat honor. Nah, daripada uangnya habis nggak keliatan bentuknya, mending uangnya diputar lewat bisnis seperti ini,’’ tandasnya.

Ide pendirian dari salon khusus wax ini bermula dari pemikiran ia dan empat temannya untuk mencari bisnis baru khusus perempuan.

’’Kalau salon kan banyak, dan kita pengen yang lebih spesifik dan kepikiran kenapa nggak wax aja kan belum ada, makanya kita ambil bisnis ini,’’ jelasnya.

Wulan berharap salon wax ini berkembang dan bisa membuka cabang-cabang lain di Jakarta atau bahkan di luar Jakarta, mengingat salon wax sangat jarang ditemui di Indonesia, khususnya di Jakarta.

’’Yah, mudah-mudahan sih bisa berkembang. Namun, saya yakin selama perempuan masih ingin tampil cantik, bisnis salon akan terus berkembang,’’ katanya dengan nada optimis.

Berbeda dengan restoran yang membutuhkan perhatian khusus, menurut Wulan bisnis salon waxnya ini tidak terlalu ribet. Malah mulai dekorasi ruangan, tempat, sampai mencari karyawan bisa dikerjakannya sendiri ditemani keempat rekannya itu. [niken dari berbagai sumber]

Kamis, 01 Januari 2009

Bukan Sulap Bukan Sihir: Tletong Sapi Jadi Listrik


Suatu saat Dian Lili Hartati, BMI-HK yang asal Banyuwangai (ditulis sesuai ucapan orang etnis Osing) bercerita bahwa ia punya beberapa ekor sapi di kampung halamannya. Ely Hambaulina yang asal Ponorogo juga begitu. Ia percayakan sapi-sapinya untuk dipelihara adiknya, di sebuah kampung di Kecamatan Sumoroto, Ponorogo. Bersama rombongan, Peduli bahkan sempat melihatnya, sampai-sampai tak bisa pulang sesuai jadwal yang direncanakan karena dirintangi hujan angin yang sangat lebat.


Ini cerita tentang beternak sapi dengan segala rentetannya. Sampai saat ini masih sangat banyak orang beternak sapi hanya karena kepincut daging (penggemukan), susu (perah), dan dari perkembangbiakannya. Hasil sampingan berupa kotoran yang bisa dijadikan pupuk pun oleh para peternak tradisional sering diabaikan, karena pupuk sapi dinilai kurang baik, atau tidak sebaik kotoran unggas, kambing, dan lain-lain.

Lalu, datanglah teknologi pembuatan biogas untuk skala rumah tangga (selengkapnya baca: 12 – 16) yang dapat dibangun dengan bahan baku kotoran ternak maupun kotoran manusia. Ada pondok pesantren di Jawa Timur yang telah mengembangkan teknologi ramah lingkungan ini. Juga, perorangan/keluarga yang semula tidak tertarik menjadi tertarik, begitu melihat tetangganya tak lagi pusing membeli minyak tanah atau gas, bahkan bisa ’’terus terang’’ (tidak pernah bergelap-gelap) walau ada pemadaman listrik, karena biogas bisa dipakai sebagai sumber energi untuk menyalakan lampu. Bukan sulap bukan sihir, tlethong (kotoran) sapi bisa jadi (biogas) sumber energi listrik, kompor, dan lain-lain.

Inilah saatnya para petani/peternak menekuni usaha peternakan bukan hanya berhenti di peternakannya itu, tetapi juga melakukan upaya agar hasil yang dicapai bisa lebih optimal, membuka peluang untuk memperkokoh perekonomian keluarga di tengah-tengah krisis global seperti sekarang ini. Ini benar-benar bukan sulap bukan sihir. Biar harga BBM naik, biar mitan dan elpiji susah di dapat, biar listrik byar-pet, asal sapi masih bisa nlethong (buang kotoran), kita tidak perlu nyengir, alias tetap bisa tersenyum.

Ketika sebuah keluarga memiliki dua ekor sapi, lalu butuh uang mendesak, biasanya dengan gampang salah seekor atau kedua ekor sapi itu dituntun ke pasar. Tetapi, ketika keberadaan mereka terkait dengan instalasi biogas, ada pertimbangan memberatkan, ini: kalau sapi dijual, apalagi semuanya, dan untuk memasak mesti beli minyak tanah atau gas, apakah tidak semakin susah? Apalagi minyak tanah dan gas itu sering menyerupai siluman, cat katon cat ilang alias sering menjadi barang langka.

Wahai para pemilik sapi. Menjadikan tlethong sapi sebagai bahan baku untuk sumber energi alternatif sangatlah tepat. Yang belum punya sapi? Beli dong! Atau, bisa juga membuat biogas dengan ngising sendiri! [peduli-jan-09]