Senin, 19 Januari 2009

Sugih, Edaaaan... edan...!

Nah, ini cerita tentang salah seorang adikku, si Bungsu, Da. Bukan tentang kegemarannya nonton film kartun, karena dua adikku sama-sama demen kartun. Juga bukan tentang rajinnya ke masjid, ngajar TPA, atau aktivitas kerohanian lainnya, karena keduanya hampir tiada beda. Misalnya, waktu lebaran kemarin, ketika kami berlebaran hari Kamis dan kampung menetapkan lebaran hari Jumat, mereka juga tetep bantu pasang pembatas shaf, membantu takbir keliling untuk anak-anak dan beres-beres sisa shalat id, dan sebagainya


Nah, selain kesamaan antara dua adik itu, aku melihat ada perbedaan yang sangat menarik diamati. Terutama si Bungsu, Da itu. Mungkin karena bungsu itulah dia jadi awet sifat kanak-kanaknya. Keluarga besar mengkonstruksikan dia sebagai anak kecil, secara terus-menerus tanpa menyadari bahwa sekarang dia sudah dewasa, sudah 25 tahun umurnya.

Dulu, kalau ada sesuatu yang menjengkelkan, dia bandel, nuntut apa gitu, pasti ada saja yang membela, Ya, karang anak ragil. Nah mungkin ini salah satu yang menyebabkan dia masih tetap kekanakan. Oh ya, secara umum kayaknya orang tua memang sering nggak sadar kalau anaknya sudah besar, tumbuh dewasa. Aku ingat ibu dulu mbelikan kami sikat gigi kecil sampai aku SMA. Ya gitu, jadinya sampai sekarang aku lebih nyaman dengan sikat gigi kecil. Barangkali gitu juga dengan Da, dia telanjur nyaman dengan sikap orang dan keadaan yang sekarang dirasakannya.

Tapi justru itu yang jadi menarik, setidak-tidaknya buatku. Karenanya aku kadang jadi suka ngamati perilakunya.
Aku ini sayang dan dekat sama semua orang di rumah (kecuali terhadap bapak, nggak dekat, nggak benci, ya biasa aja gitu). Cium pas mau pergi agak lama gitu dulu biasa (sebelum aku kawin). Dan dia dengan caranya sendiri dia juga menyayangi aku, menyayangi anakku. Waktu Adi masih bayi dia banyak bantu aku. Ya ngganti popok, nggendong. Kan punya bayi tuh cuapek banget. Pas baru satu dua bulan gitu, malamnya kan bangun terus. Jadi pas pagi teler deh. Nah, biasanya dia yang menjaga.

Terus waktu Adi umur empat bulan, kami (aku dan suami) pernah sama-sama pergi sampai seminggu. Ya adik berdua itu yang memandikan, ndandanin, momong (yang ngasuh Adi datang siangan). Tapi memang Da tuh tlaten banget. Lebih tlaten dari kakaknya. Jadi, rasanya beruntung gitu punya adik macam mereka.
Ya begitu. Nggak terasa tahun demi tahun berjalan. Adi makin besar. Da sekolahnya juga udah kelar. Sebelum berangkat ke luar negri akuih dengar, eh dia sendiri, Da maksudku, bilang kalau aplikasi ke sebuah kontraktor di B. Sebenarnya sehari sebelum aku berangkat, ada sebuah lembaga yang menghubungi dia ngajak bergabung (sebelumnya kan dia udah ikut training segala di lembaga ini). Tapi ditolaknya. Ketika kutanya kenapa ditolak? Dia jawab, ’’Ya jual mahal sithik lah.’’

Dalam hati aku agak tertawa-tawa. Untung si penelepon yang koordinator di lembaga itu nggak tahu kalau Da ini adikku. Kebetulan kan kami (aku dan orang lembaga itu) pernah lama kenal. Kalau tahu kan bisa nggak enak.

Waktu aku udah di luar negri, aku dapat SMAS kalau Da jadi ke B. Ya nggak berdampak apa-apalah, karena aku kan jauh. Nggak mersa kayak apa dampaknya orang di rumah yang ditinggalnya. Ternyata setelah di rumah baru aku sadar, Adi tuh kehilangan. Dia suka nanyain, Pak Da ke mana. Kalau ada pesawat (karena dikasih tau Da pergi naik pesawat), dia teriak-teriak, ’’Pak Da, tunggu. Adi ndherek…!’’ Begitu. Oh, ternyata dia kehilangan. Dan aku juga ngerasa kehilangan. Rumah lebih sepi, yang njaga Adi berkurang. Dalam hati aku berharap dia bisa dapat kerja di J aja, tetapi aku juga senang sih dia bisa pergi, melihat negri lain gitu, nggak cuma di negrinya sendiri.

Selama tiga bulan di B, dia banyak cerita. Hampir tiap hari SMS atau teleponan ke kami, kalau nggak aku ya Ben yang paling sering. Ada juga kirim surat 3 kali, cerita tentang yang dilakukan, yang dilihat gitu.

Waktu dia cerita air susah karena PAM mati, kami juga nggak panik. Kami justru ngolok-olok dia, dikirimin air apa priye? Ternyata dia sendiri yang nggak krasan. Dan suatu sore tibalah dia di rumah. Kami menyambut dengan senang. Banyak oleh-oleh, terutama kesenangan dia sendiri, permen dan kue coklat.

Nggak lama, cuma tiga hari di rumah, dia sudah dapat kerja lagi. Nggak penuh hari memang, tapi nggak nganggurlah. Baru bulan depannya dia masuk seharian, jadi pengawas pelaksanaan proyek. Di situ dia sering terlihat gamang. Kalau pulang, sambil setengah menerawang dia ngudarasa. Pekerjaan kotorlah, sarang korupsilah, dan sebagainya. Maka, dia kemudian ajak sepupu atau teman-temannya jajan setiap habis dapat uang sangon hari Sabtu gitu. (kegamangan ini tampak benar sampai suatu hari beli bukunya Ahmad Tohari, Orang-orang Proyek)

Nah, suatu hari dia diajak nggambar rancang bangun proyek oleh perusahaan lain. Di sini dia agak terhibur. Tidak selalu melihat pelaksana proyek yang menyusutkan material atau memanipulasi hitungan. Mulailah dia bisa menikmati kerjanya. Nggak terlalu berat beban pikiran dengan segala manipulasi proyek.

Dan kemarin, begitu sampai di rumah, sejak dari depan dia sudah buka dompetnya, memperlihatkan duitnya sambil bilang kalau dia kaya. Ah, lucunya. Sampai di belakang, ada aku, dia pun pamer kalau banyak uangnya. Katanya, waktu aku baru mulai kerja nggak akan dapat duit sebanyak yang dia dapat ini. Ah, dasar anak lucu!

Terus dia nyandar di pintu. Sambil tetap merentang lembaran ratusan ribu yang ditepuk-tepuk pelan di tangan satunya, dia bilang, ’’Edan, edan, sugih tenan aku...’’

Sebetulnya aku mau ketawa, tapi nggak tega. Oh, kanak-kanak benar anak ini, batinku. Aku pun bilang ke dia, mbok sesekali ibu dikasih, biar seneng. Toh, dia (Da) nggak mikir soal listrik, telepon, sabun, karena semua sudah kutanggung. Itu bedanya mbarep sama ragil, kataku.

Beberapa saat kemudian ketika aku ke ibu, dibilang bahwa Da memberinya uang. Tapi dia pesan supaya jangan dibilang terutama ke Bu Lik, karena dia agen MLM dan suka banget nawarin barang ke orang-orang.

Ah, Da! Pancen edan, edan....!

0 komentar: