Terutama yang berekonomi lemah, apalagi jobless, pergi ke luar negeri jadi TKI sering jadi jawaban jitu. Begitu pula bagi Solikin (31), buruh tani asal perbatasan Lampung Tengah dan Lampung Utara. Penghasilannya di kampong sangat mepet untuk hidup dengan istrinya, Widiyati (28). Maka, pergilah ia ke Malaysia.
Hasilnya? Rumah permanen telah ia dirikan, lebih layak huni dibandingkan rumah masa kecilnya yang cuma berdinding geribig. Kebutuhan lain pun terpenuhi.
Minggu (29/10), warga Desa Gunungbatin, Kecamatan Terusan Unyai, Kabupaten Lampung Tengah, itu berkisah panjang kepada Peduli. Bapak satu anak yang kini sudah TK itu, menemui Peduli didampingi orangtuanya, Maryono dan Klumpuk. Solikin jadi TKI di Mayalsia selama 2 tahun, pulang tahun 2001. ’’Jadi, sudah 5 tahun yang lalu,’’ ungkap lelaki sederhana ini.
Kesulitan ekonomi jadi alasan utama Solikin jadi TKI. Solikin mengaku dirinya berasal dari keluarga pas-pasan. Orangtuanya seorang buruh tani. Sudah begitu, saudaranya banyak pula. Solikin anak bungsu dari 6 bersaudara.
Setelah dewasa, Solikin buruh tani seperti bapaknya. Namun, itu dirasakannya semakin tak dapat diandalkan, terlebih setelah tanggungjawab dan kebutuhan hidup semakin keras mendesak sejak ia menikahi Widiyati tahun 1998. Tambah pusing lagi kala istrinya hamil. Solikin yang berijazah SLTA itu mau kerja lain, tapi tak tahu kerja apa.
Diusir Malaysia
Saat demikian, sama sekali tak terpikir oleh Solikin untuk jadi TKI. Wawasan itu baru terbuka setelah seorang temannya mengajak ke Malaysia. Sang teman disuruh ke Malaysia oleh istrinya yang berada di negeri jiran itu sebagai TKW.
Tanpa berpikir panjang, Solikin setuju. Akhirnya, berangkat berdua ke Dumai, Riau, kemudian menyeberang ke Malaysia lewat jalur laut, dengan surat dari istri sang teman sebagai panduan.
Diarahkan dalam surat, kalau mau kerja di Malaysia, suruh masuk sebagai pelancong, sampai ke Malaysia terus mengurus visa dan cari kerja, dan setelah dapat pekerjaan, balik ke Indonesia untuk mengurus secara resmi, lalu kembali lagi ke Malaysia. ’’Tapi kami baru mau masuk, sudah nggak boleh oleh imigrasi Malaysia,’’ kata Solikin.
Ia dan temannya tak boleh masuk karena dalam surat jalan hanya diterangkan, berangkat ke Malaysia untuk kunjungan keluarga, bukan untuk kerja. ’’Dan ndilalah, istri Singgih (kawan Solikin itu—red.) terlambat menjemput. Istri Singgih baru datang setelah paspor kami dicap pulang. Pulanglah kami,’’ ujar Solikin tertawa mengenang kejadian itu.
Namun, tiga bulan kemudian ia kembali ke Malaysia setelah dokumen lengkap dan di sana ia bekerja di sebuah pabrik baja di Kawasan Malaka, dengan pendapatan bulat 40-50 ringgit/hari atau 1200-1500/bulan.
Giliran Istri ke Malaysia
Ketika ditanya tentang bisnis, Solikin mengaku tak terpikir untuk bisnis. Hal itu karena dirinya bingung mau usaha apa. Karena itu, setelah kembali ke Indonesia, ia justru melamar kerja ke PT Humas Jaya dan masih memendam keinginan untuk kembali ke Malaysia.
Namun, keinginan kembali jadi TKI dipendam karena ia akhirnya dapat kerja di PT Humas Jaya hingga sekarang. Itu perusahaan pengalengan nenas untuk diekspor ke luar negeri. Malah, kemudian giliran istrinya yang berangkat ke Malaysia. ’’Istri saya sudah 1 tahun ini kerja di Malaysia. Dia berangkat habis lebaran tahun 2005 lalu,’’ ungkap Solikin.
Bagaimana dengan sang anak? Untuk mengurus anaknya, Solikin menggaji seorang pekerja rumahtangga. Sementara itu, hubungan dengan sang istri dibangun lewat telepon dan surat. “Tapi yang paling sering, ya lewat telepon, karena ini hampir setiap saat,’’ ujarnya. [WIS/8-1]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar