Deretan warung soto di sepanjang jalan Desa Branggahan, Kec. Ngadiluwih, sekitar 12 arah selatan kota Kediri, mengandung pelajaran yang menarik: bagaimana hal yang kita duga adalah kompetitor, pesaing, ternyata justru kawan, jaringan, yang saling mendukung dan sangat potensial melahirkan kerjasama saling menguntungkan!
Warung-warung itu secara alamiah tumbuh. Bukan di tengah kota yang padat, melainkan di tepi jalan raya. Karena warung pertama tampak laris, maka disusullah warung kedua, lalu warung ketiga, keempat, dan seterusnya, hingga jumlahnya mencapai ratusan. Kok ya laku, ya? Kok tetap laris, ya? Itulah pertanyaan pertama kita.
Fenomena seperti itu, terjadi pula di tempat lain. Di Ponorogo, kira-kira 10-an km arah tenggara kota, persisnya di daerah Jabung, ada sekumpulan warung dawet yang dikenal dengan dawet Jabung. Ini memang khas, artinya walau namanya dawet, berbeda sekali dengan dawet ayu Banjarnegara atau dawet ayu Kudus. Berbeda dengan dawet yang lainlah pokoknya. Cara menyajikannya juga terbilang khas, karena penjualnya akan mengangsurkan mangkok bersama lepek (alas) yang tidak boleh diambil oleh pembeli. Jadi ketika mangkok dengan alasnya diangsurkan, pembeli hanya boleh mengambil mangkuknya yang berisi dawet. Jika belum berpengalaman, biasanya pembeli akan memegang alasnya saat menerima dan akan terjkadi tarik-menarik dengan sang penjual. Lucu, lho! Para penjual dawet Jabung itu juga buka warung di sebuah kawasan perempatan jalan, di Jabung, Ponorogo.
Ketika penjual dengan mata dagangan sejenis ’’buka praktik’’ di sebuah kawasan secara berkelompok, ternyata justru lebih gampang menarik perhatian. Ketika musim ramai, pada hari libur, misalnya, kawasan seperti itu benar-benar berubah menjadai kawasan wisata kuliner. Orang-orang berdatangan untuk menikmati dawet dengan berbagai jajanan seperti tempe,kacang, tahu, dan tape goreng, dan tak ketinggalan pula ote-ote-nya, sekaligus untuk berekreasi. Itulah yang terjadi di Ponorogo (Jabung) dan Kediri (Ngadiluwih).
Antarpengusaha warung itu, karenanya, tidak ada sedikit pun alasan untuk saling memandang sebagai kompetitor. Bahkan sebuah kerjasama saling menguntungkan bisa terjadi. Jika salah satu warung kebetulan masih menyisakan banyak stok beberapa saat menjelang jam tutup, ia bisa pemiliknya bisa menyetor ke warung lain yang sudah kehabisan. Begitulah, kerjasama lain yang saling menguntungkan, solidaritas, dan hal-hal positif lain bisa mereka bangun bersama-sama. Bila perlu, mereka juga bisa mendirikan semacam koperasi, atau bahkan asosiasi. Asosiasi Penjual Soto atau Asosiasi Pedagang Dawet! Keren, kan?
Jaringan, kerumunan usaha di bidang yang sama itu, baik usaha di bidang jasa maupun produksi barang, bisa pula terjadi. Hal yang semula kita duga potensial menimbulkan persaingan, ternyata bisa jadi kekuatan baru yang sangat kuat. Ambil contoh usaha rumahan produksi barang. Ketika baru satu-dua atau beberapa orang yang menekuni, hasilnya tak akan seberapa, memenuhi kebutuhan lokal pun bisa kewalahan. Apalagi kalau harus mengekspor barang-barang hasil produksinya. Ketika hampir seluruh warga kampong menekuni usaha produksi barang yang laku di pasar luar negeri itu, barulah ekspor bisa dijalankan. Satu hal yang tak boleh kita lupakan adalah, ketika ekspor sudah berjalan, para usahawan itu bisa mendapatkan penghasilan lebih, bahkan berlipat, dibandingkan jika hanya memasuk kebutuhan domestik.
Kesimpulannya, buka usaha sejenis secara keroyokan, mengapa tidak! [b]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar