Orang Jawa memiliki pedoman untuk mengukur kualitas kehidupannya yang meliputi kepemilikan: curiga, garwa, wisma, turangga, kukila.
Curiga, arti harfiahnya adalah keris atau pusaka. Ia juga bisa dimaknai sebagai senjata, walau di zaman modern ini fungsi keris sebagai senjata sudah amat jarang ditemui. Kini, keris adalah simbol, bahkan sering lebih dinilai sebagai benda seni warisan leluhur. Keris adalah ketajaman. Sebagai simbol, ia dapat berupa ketajaman wawasan, ketajaman berpikir, ketajaman intuisi untuk menjalani hidup ini dan dengan tingkat ketajaman tertentu, seiring capaian usia tertentu, seseorang layak, pantas, dan bahkan ’harus’ mendapatkan garwa: suami atau istri. Garwa bisa dimaknai sebagai sigaraning nyawa, belahan jiwa, gantilaning ati. Nah, kalau garwa sudah dimiliki, kebutuhan berikut yang menjadi primer adalah wisma: rumah. Begitu jika digagas secara alamiah. Seperti burung, mendapatkan jodohnya dahulu baru mempersiapkan sarangnya untuk bertelur, mengeraminya, dan kemudian membesarkan anak-anak mereka. Walau, dalam kenyataannya, banyak pula bujangan yang sudah mempersiapkan rumah, atau kandang yang megah.
Ketika anak-anak beranjak besar, sudah memerlukan kamar belajarnya masing-masing, memerlukan kamar tidurnya masing-masing, sedang keadaan masih belum memungkinkan memiliki rumah, dan masih saja menempel di ’’pondok mertua indah’’ itu dapat menjadi salah satu alasan untuk memilih mencari pekerjaan di luar negri.
Nah, ketika uang mulai didapat, dan sudah mencapai jumlah yang diperlukan untuk membangun sebuah rumah yang layak, sedangkan bekerja di luar negri masih perlu dilanjutkan, pilihan yang sering diambil adalah: mengirimkan sejumlah uang itu ke kampung halaman agar pembangunan rumah cepat selesai. Apakah itu pilihan yang bijak? Tulisan ini dibuat tidak untuk mengatakan bahwa pilihan itu tidak atau kurang bijak, melainkan hanya sekadar memaparkan beberapa risiko yang mungkin timbul.
Dahulu, ketika orang membangun rumah berbahan dasar kayu (dinding, rangka, pilar, kusen, pintu, jendela), rumah boleh dipandang sebagai aset bergerak. Maksudnya, ia bisa dipindahkan ke tempat lain, bisa dijual, tanpa harus sekalian tanahnya. Rumah itu bisa dibongkar dan kemudian diusung ke tempat yang diinginkan oleh pembelinya. Sekarang, orang membangun rumah rata-rata berbahan dasar semen dan batako/batu bata. Bahkan, rangkanya pun sering dibuat dari beton. Maka, jadilah rumah itu sebagai aset diam atau aset tak bergerak. Ia tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dijual kecuali berikut tanah tempat bangunan rumah itu didirikan.
Karena itu rumah mesti dibangun dengan wawasan jauh ke depan, karena rumah yang baik bisa bertahan layak pakai sampai 25, 30, bahkan 50 tahun. Rumah bukanlah barang yang bisa dengan cepat kita utak-atik kalau sewaktu-waktu bosan dengan desain atau arsitekturnya. Membangun rumah harus dimulai dengan pertimbangan yang benar-benar matang. Bahkan, sebuah gambar/desain dengan harga jutaan rupiah pun dibeli orang untuk dapat mewujudkan rumah idamannya.
Faktor pertama yang memengaruhi seseorang untuk menjatuhkan pilihan terhadap salah satu model rumah tentunya adalah selera. Repotnya, tak jarang selera suami berbeda, bahkan bertentangan dengan selera istri. Jika terjadi hal demikian, jalan tengah mesti ditemukan. Satu hal yang tak boleh dilupakan yakni bahwa yang menentukan selera kita adalah pengetahuan atau wawasan kita mengenai sesuatu, dalam hal ini mengenai arsitektur, termasuk kalau mau percaya: fengsui. Seperti yang diisyaratkan namanya, fengsui itu berbasis budaya China. Sebenarnya, walau kalah populer, orang Jawa juga memiliki perhitungan serupa.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan atau wawasan kita, selera kita terhadap model rumah juga berkembang atau berubah. Bagaimana kalau sebentar-sebentar selera kita berubah, dan kemudian kita selalu tidak puas walau berkali-kali rumah kita dipermak setelah puluhan bahkan ratusan juta rupiah kita habiskan untuk membangunnya? Kalau kita selalu punya uang untuk merenovasinya, satu persoalan teratasi. Tetapi di Jawa, terutama di pedesaan, kelewat rajin memperbaiki rumah juga akan memancing rasan para tetangga, dikira kita punya pesugihan ’’kandhang bubrah.’’
Maka, cara mengatasi persioalan akibat perkembangan selera ini adalah dengan mempersiapka diri sebaik-baiknya dengan menambah wawasan, dengan melihat dan membaca buku atau majalah-majalah khusus property yang sekarang banyak beredar.
Ada lagi potensi konflik akibat komunikasi jarak jauh. Walau teknologi memungkinkan kita bisa bercakap-cakap via telepon berjam-jam saban hari, jarak tetap potensial menimbulkan problema. Setelah seorang suami atau istri mengirimkan sejumlah uang kepada pasangannya di kampung, apakah rumah yang diinginkan benar akan segera dibangun dan diselesaikan? Apakah kelak rumah itu akan jadi sesuai dengan pesanan? Bukankah guyon yang sering kita dengar adalah: suami yang ’kreatif’ akan membangun dua buah rumah dari sejumlah uang yang dikirim --untuk membangun sebuah rumah—istrinya: sebuah untuk diri dan istrinya, dan sebuah lagi untuk perempuan yang lain! Nah, celaka tigabelas bukan, jika guyon getir itu jadi kenyataan?
Dan masih ada kemungkinan yang lebih pahit lagi, yakni jika uang yang dikirim ternyata tidak menjadi apa-apa, habis untuk berfoya-foya suami, kalah judi, atau membiayai kehidupan perempuan lain yang bukan sanak-bukan saudara. Ingatlah, uang itu sendiri sering jadi sumber persoalan.
Maka, jika pembangunan rumah itu masih bisa ditunda, menyimpan uang lebih dahulu di bank, dalam bentuk tabungan atau deposito berjangka agaknya bisa jadi pilihan yang lebih aman. [Bonari Nabonenar, bonarine@yahoo.com]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar