Kamis, 10 Januari 2008

Mantan TKI HK Buka Warung Kopi Sederhana

Dapat Untung Bersih Rp 2,5 Juta/Bulan


Setinggi-tinggi bangau terbang hinggapnya di pelimbahan juga. Sejauh-jauh burung merantau, kelak akan pulang juga pulang juga ke sarangnya. Pulang dari Hong Kong [atau dari negara lain tempat bekerja] lalu apa setelah kembali berada di Indonesia? Mengongkosi hidup sehari-hari dengan uang tabungan, atau membuka usaha/bisnis untuk mengembangkan modal yang dipunya?

Tampaknya banyak yang punya pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Juga Marwiyah [29] perempuan asal Desa Andongsari, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Single parent dengan seorang anak berusia 10 tahun ini telah bekerja di Hong Kong untuk dua periode. Periode pertama di Chung Kwan O selama 4 tahun. Ketika habis kontrak [kedua] pulang ke Indonesia untuk menyelesaikan urusan keluarga. Lalu balik lagi ke Hong Kong, dan bekerja di kawasan Jordan. Karena sesuatu hal terpaksa ia putus kontrak dan pulang [September 2005] dan berencana menetap di tanah air.

Selama sekitar 2 tahun [sejak 2005] Marwiyah terus bergelut dengan pertanyaan, ’’Apa ya bisnis yang bisa saya lakukan?’’

Ternyata, pertanyaan itu mendapatkan jawaban dari seorang sahabat yang didapatnya di sanggar senam. ’’Mbak, bukalah café saja. Aku sudah melakukannya, dan lumayan lho, penghasilannya,’’ Marwiyah menirukan anjuran sahabatnya itu.

Maka, mulailah Marwiyah membuka usaha café [warung kopi] di tepi jalan raya dengan menyewa sebuah rumah [jadi, bukan warung tenda] pada 25 Maret 2005. Belum genap 3 bulan. Bahkan, ketika Peduli mengunjungi warungnya [awal Mei 2007] terhitung belum genap 2 bulan.

Tetapi, Marwiyah sudah menampakkan optimismenya. Apalagi, mengingat bahwa menu yang ia sediakan belum lengkap seperti yang diangan-angankan. Selain kopi, the, wedang jahe, susu, susu-jahe, kopi susu, kopi jahe, dan berbagai soft-drink, baru bisa menyediakan mie rebus dan mie goreng. Jajanannya pun baru beberapa jenis, antara lain kacang goreng, krupuk, dan marning.

’’Ya, lumayan Mas, kemarin saya itung, saya dapat dua juta setengah [Rp 2,5 juta, Red] bersih,’’ tutur Marwiyah. ’’Padahal, ini belum lengkap. Maunya sih, banyak jenis minuman lagi yang kami sediakan. Tetapi masih nunggu modal bertambah,’’ imbuhnya.

Memang terlihat lumintu [pengunjungnya datang dan pergi] walau tidak ramai-ramai amat. ’’Ini memang lagi sepi Mas, lebih sepi ketimbang biasanya, soalnya di selatan itu ada kompetisi bola voli. Jadi orang-orang pada ke sana,’’ Marwiyah menjelaskan.

Masalah Nonteknis

Rumah untuk café itu disewa Marwiyah Rp 4,5 juta untuk 3 tahun. Selain untuk kulakan bahan pokok, termasuk kulak jajanan, secara rutin [setiap bulan] Marwiyah harus mengeluarkan dana untuk menggaji 2 orang pembantunya, sekaligus menemaninya membuka cafenya [yang saat Peduli berkunjung belum diberi nama] dari pukul 09:00 hingga pukul 24:00.

Di luar soal kekurangan modal untukpengembangan usahanya, Marwiyah mengakui ada hal-hal nonteknis yang mengganggu perasaannya, yakni suara-suara orang di sekitar yang kadang sebegitu sumbang. ’’Ya begitulah, di kampung, buka usaha warung sedangkan status saya janda, orang-orang ngomongnya sering nggak enak di telinga. Mereka hanya rasan-rasan [tidak berbicara langsung di hadapan yang bersangkutan, Red] tetapi kan akhirnya kedengaran juga,’’ keluh Marwiyah.
’’Tetapi, biar saja, wong kami buka usaha baik-baik, niatnya baik, dan apa yang kita lakukan juga tidak seperti yang ada di pikiran orang-orang yang berkomentar miring itu kok,’’ tambahnya. [NAB]

0 komentar: